Jurnalisme Damai

| dilihat 610

Catatan Bang Sém

Prof. Azyumardi Azra - jurnalis - kolomnis di masa mahasiswa dan kemudian tampil sebagai akademisi dan cendekiawan Indonesia terkemuka - melontarkan ide baik tentang jurnalisme damai.

Sejak memangku amanah sebagai Ketua Dewan Pers (2022 - 2025) pada Rabu (18/5/22), pemikir sekaligus sejarawan berkelas ini -- beserta para anggotanya memusatkan perhatian pada isu ini.

Ketika bicara pada acara Silaturahmi Pemimpin Media yang digelar Astra Finance Group, Rabu (22/6/22) - mantan Rektor Universitas Islam Negeri - Syarif Hidayatullah - Ciputat, itu kembali mengemukakan komitmennya ihwal isu yang penting di tengah ketidak-pastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan ini.

Jurnalisme memang bukan isu baru. Secara internasional, isu ini mengemuka dan dibangkitkan lagi pada dekade 2010-an. Kemudian menjadi salah satu topik khas dalam percakapan jurnalis dunia.

Secara khas School of Media and Public Affair - The George Washington University, mengambil perhatian, lewat The Media and Peace Building Project.  Setelah itu, tak berjauhan lontaran intellectual wake up call mendiang James Martin - dari The Oxford University, tentang 17 tantangan Abad ke 21 yang akan harus dihadapi semua umat manusia, terutama generasi baru.

Johan Galtung - akademisi Norwegia secara spesifik melakukan studi, penelitian, dan menulis berbagai pemikirannya tentang jurnalisme damai ini.

Steven Youngblood, profesor komunikasi, pendiri dan Direktur Center for Global Peace Journalism pada Park University di Parkville, Missouri USA, dalam artikelnya di GW - the Media and Peacebuilding, Galtung terbilang pelopor dalam studi jurnalisme damai.

Galtung, menurut Youngblood, telah banyak menulis tentang perdamaian positif dan negatif.

Dalam konstruksi ini, menurut Galtung, perdamaian negatif hanyalah bertumpu pada ketiadaan konflik. Tak jauh dari pemahaman tradisional tentang perdamaian sebagai suatu keadaan tidak adanya konflik atau kekerasan.  Akan halnya perdamaian positif, meliputi kondisi di mana keadilan, kesetaraan, harmoni, dan sejenisnya dapat berkembang.

Beranjak dari pandangan Galtung, Youngblood menyatakan, tinjauan apa pun tentang Jurnalisme Damai harus dimulai dengan pemeriksaan (verifikasi dan konfirmasi) cepat terhadap konsep perdamaian itu sendiri.

Menurut Youngblood, untuk tujuan Jurnalisme Damai, gagasan Galtung tentang perdamaian positif khususnya mesti diterapkan, karena jurnalis damai berusaha untuk menyoroti individu dan inisiatif yang mencari kondisi harmonis ini, dan untuk memimpin dialog publik yang konstruktif tentang isu-isu yang berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan. Ekuitas dan ekualitas.

Sejumlah pemahaman valid tentang jurnalisme damai, dikutip Youngblood.

Jake Lynch dan Annabel McGoldrick, dalam buku inovatif mereka, Peace Journalisme, mendefinisikannya sebagai, “ketika editor dan reporter membuat pilihan - tentang apa yang akan dilaporkan, dan bagaimana melaporkannya - sehingga menciptakan peluang bagi masyarakat luas untuk mempertimbangkan dan menghargai respon tanpa kekerasan terhadap konflik.”

Maknanya adalah, Jurnalisme Damai menggunakan wawasan analisis tentang konflik dan transformasi untuk memperbarui konsep keseimbangan, keadilan, dan akurasi dalam pemberitaan.

Hal ini, ungkap Youngblood,  memberikan juga peta jalan baru yang menelusuri hubungan antara jurnalis, sumber mereka, peristiwa dan isu yang diliput dan konsekuensi jurnalisme mereka. Tanpa kecuali, membangun kesadaran hidup tanpa kekerasan, dan kreativitas dalam proses praktis penyuntingan dan pemberitaan sehari-hari.

Definisi Lynch dan McGoldrik menjadi rujukan dan diadaptasi oleh Pusat Jurnalisme Damai Global pada Park University di Parkville, Missouri, dan memperluas pemahamannya.

Pusat studi ini, dalam ungkapan Youngblood, memberi aksentuasi tentang Jurnalisme Damai sebagai  praktik jurnalistik dimana “editor dan reporter membuat pilihan yang meningkatkan prospek perdamaian."

Editor dan reporter melakukan pilihan-pilihan, termasuk bagaimana membingkai informasi (cerita dan berita) dan dengan hati - hati. Termasuk dalam memilih kata-kata yang digunakan, menciptakan suasana yang kondusif bagi perdamaian dan mendukung inisiatif perdamaian dan pembawa damai, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang benar dan baik.

Jurnalisme Damai memberikan suara bagi para inisiator dan pembuat perdamaian sambil mengembangkan inisiatif perdamaian, serta membuat dan solusi non-kekerasan (atas konflik) lebih terlihat dan layak.

Jurnalisme damai merupakan pelaporan yang proaktif, memanusiakan pihak lain, memberikan suara kepada orang-orang biasa, dan mendiskusikan solusi. Bukan terjebak dalam friksi dan konflik sebagai masalah.

Lynch dan McGoldrick menekankan, jurnalisme damai berfokus pada pentingnya bahasa, dan karenanya menghindari bahasa yang membuat korban (hancur, nelangsa, sansai, tidak berdaya), tidak tepat dan emosional, menjelek-jelekkan (misalnya: kejam, sadis, barbar), secara tidak tepat memberikan label (seperti: teroris, ekstremis, fanatik, fundamentalis).

Jurnalisme damai juga menerapkan berbagai prinsip, termasuk menghindari pelaporan tentang konflik seolah-olah merupakan zero-sum game (yang menghadirkan satu pemenang, satu pecundang); pelaporan tentang kesamaan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; menghindari laporan hanya tindakan kekerasan dan "horor"; serta tidak melaporkan klaim seolah-olah itu adalah fakta.

Para ahli dan praktisi di Pusat Jurnalisme Damai Global - pada Park University selama lebih satu dasawarsa sejak memusatkan perhatian pada Jurnalisme Damai, telah memperluas orientasi pelaporan sebagai praktik jurnalistik, dalam pemberitaan tentang politik dan pemilu, terorisme, kejahatan, dan hak asasi manusia.

Menurut para ahli dan praktisi tersebut, pendekatan jurnalisme damai dapat digunakan untuk memandu pemberitaan tentang semua jenis konflik (politik, etnis, sengketa sumberdaya, kerusuhan sipil, agama), dan bukan hanya yang melibatkan kekerasan atau perang.

Beranjak dari berbagai pemikiran dan prinsip-prinsip tersebut, perhatian Dewan Pers tentang Jurnalisme Damai harus menjadi perhatian kalangan pers di Indonesia.

Tak hanya dalam konteks menegakkan secara benar prinsip check and balance bagi pemerintah dan khalayak, sebagai bagian melekat dari fungsinya sebagaipilar demokrasi ke-empat.

Jauh dari itu, adalah untuk menegaskan reposisi dan orientasi praktik jurnalistik dengan paradigma baru bagi kepentingan khalayak, negara, dan bangsa.

Perlu pengendalian nalar, naluri, nurani, rasa dan dria jurnalistik dalam seluruh rangkaian proses pelaporan - penyuntingan, pemberitaan dan penyiaran sesuatu peristiwa dan informasi.

Menghidupkan kembali integralitas fungsi pers - media (informatif, edukatif, dan re-kreatif) yang berorientasi pada peningkatan akal budi, kefasihan dalam membaca sesuatu yang nampak dan tak nampak dari sesuatu peristiwa - informasi.  Sekaligus kesadaran kolektif untuk secara antusias membangun simpati, empati, apresiasi, respek dan cinta sebagai anasir kehidupan yang damai dan tenteram.

Selebihnya adalah penguatan integritas jurnalis dan semua anasir jurnalisme dalam menyikapi perubahan orientasi keberagaman media, saluran, dan platform dengan implikasi industrialnya: rating, traffic, viewer, reader, dan lain-lain.

Banyak jalan untuk mencapai target-target dan tujuan keenomian industri pers dengan terus konsisten menegakkan kode etik jurnalistik dan code of conduct profesi, tanpa harus kehilangan daya kritis.

Dalam konteks ini, kedewasaan -- yang memadukan keterampilan dan kearifan -- jurnalis - pelaku jurnalisme menjadi penting. Selaras dengan itu, uji kompetensi jurnalis mesti terkait juga dengan pematangan watak.

Jurnalisme Damai diperlukan untuk mewujudkan tanggungjawab sosiologis dan budaya jurnalis - pers, sebagai pemandu dalam memahami hakekat demokrasi (berbasis kemerdekaan hakiki - bukan hanya kebebasan) sebagai cara mencapai harmoni.

Karenanya, kepatuhan atas prinsip-prinsip dasar praktik jurnalistik (terutama verifikasi dan konfirmasi) menjadi penting, sebagai bagian tak terpisahkan dari harkat, martabat, dan marwah jurnalis. |

 

Editor : delanova | Sumber : mediapeaceproject, wire, middleeasteye, dokumentasi
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 246
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 425
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 318
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 274
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 785
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya