Jiwa Obama dalam Pidato Perpisahannya

| dilihat 1755

AKARPADINEWS.COM | PRESIDEN Barack Obama melangkah, berjalan di atas panggung sederhana, menuju The Blue Goose podium khas untuk pidato Presiden Amerika Serikat,  dengan backdrop yang megah. Seketika, McCommick Place – Chicago, tempat podium itu diletakkan di atas panggung, terdengar pekik gempita dan tepuk tangan bergemuruh.

Selasa, 10 Januari 2017 waktu setempat, Presiden Obama dengan rambutnya yang mulai keperakan, menggunakan panggung itu untuk menyampaikan pidato terakhirnya sebagai Presiden Amerika Serikat. Farewell address.

Dengan suara bariton maskulinnya, penguasaan ritme dengan vokal khas, dan komposisi retorika yang mengartikulasikan setiap kalimat dengan tepat, Obama tampil mempertemukan ekspresi batinnya dengan impresi emosi khalayak.

Di awal, karena gempita dan tempik sorak tak henti, Obama sempat mengalami stuttered speech. Ia mengambil jeda dan menahan diri sejenak menanti suasana tenang untuk melanjutkan pidatonya.

Bagi Presiden Obama, Chicago adalah kota awal keberangkatan karir politiknya, sehingga dia terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pertama berdarah Afrika selama dua periode (8 tahun, 2009 – 2017).

Di Chicago, persisnya di Chicago Grant Park, tulis Susan Page wartawan USA TODAY, penghujung 2008, Obama merayakan kemenangannya dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat yang sangat mengukir sejarah bangsa itu. Obama tampil di hadapan lautan manusia yang mengelu-elukannya, kala itu.

Tim Gedung Putih, secara khas memilih kota ini untuk Obama menyampaikan pidato perpisahannya, sebelum dia kembali menjadi warga negara biasa, dan menyandang julukan sosial sebagai ‘negarawan senior,’ dalam usianya yang 55 tahun.

Dalam pidato perpisahannya, Obama mengusik ‘kenangan,’ bagaimana proses perjuangan menjadi Presiden dalam proses pemilihan mulai dari bawah, sesuai dengan proses yang berlangsung di negeri itu. Termasuk bagaimana dia memenangkan konvensi Partai Demokrat untuk menjadi kandidat Presiden Amerika Serikat yang diusung partai.

Kala itu, Amerika Serikat berada dalam situasi ketidakadilan ekonomi, rasisme, dan beragam pemikiran yang merusak cindai demokrasi.

Kenangan ini membuncah, ketika Obama menyebut akan mengakhiri amanah sebagai Presiden sepuluh hari lagi.

“Empat tahun lagi.. Empat tahun lagi.. Empat tahun lagi,”seru khalayak yang menyimak pidatonya.

“Saya tidak bisa melakukan itu,”cetus Obama di balik mimbar, spontan.

Sepuluh hari ke depan, Obama akan menyertai Presiden terpilih Donald Trump di dalam limusin kepresidenan menuju Capitol, tempat pengambilan sumpah dan pelantikan Presiden, khalayak riuh.

Obama membuka pidatonya dengan menunjukkan kekariban antara dirinya dengan rakyat Amerika Serikat. Dia katakan, sebagai sesama orang Amerika, Michelle (isterinya) dan dia sangat tersentuh oleh semua hasrat baik yang diberikan rakyat kepadanya. “Tapi, malam ini giliran saya mengucapkan terima kasih,”katanya.

Tempik sorak segera bergemuruh, ketika dia mengatakan, rakyat Amerika Serikat telah membuat dirinya menjadi Presiden lebih baik dan orang lebih baik. Hal itu dirasakannya pada setiap percakapan antara dirinya dengan rakyat Amerika secara eye contact, di ruang keluarga, di sekolah-sekolah, di peternakan, di lantai pabrik, di tempat-tempat umum dan di pos-pos militer yang jauh.

“Percakapan itu telah membuat saya jujur, dan terinspirasi, dan membuat saya bergerak. Dan setiap hari, saya telah belajar dari Anda,”ujarnya secara aksentuatif, disambut tepuk tangan.

Obama meyakinkan khalayak, transisi dari dirinya kepada Presiden Terpilih Donald Trump akan berlangsung mulus. Dia berjanji, akan mendukung penggantinya. Secara halus, Obama menyinggung berbagai hal yang menjadi substansi isu sentral kampanye Donald Trump yang menyerang beberapa kebijakannya. Antara lain, ihwal perubahan iklim, undang-undang jaminan sosial kesehatan yang monumental (Obama Care). Dia juga menyinggung isu yang kerap dilontar Trump, ihwal pembatasan kaum Muslim memasuki negara itu.

Pada hari yang sama dengan hari dia menyampaikan pidato perpisahannya itu,  Universitas Quinnic merilis hasil poling, yang mengisyaratkan program Obama Care akan memberatkan pemerintahan Donald Trump empat tahun ke depan.

Obama memberi aksentuasi mendalam tentang anak-anak dan masa depan, yang akan terganjal oleh kebijakan bernafas rasis. “Jika kita menolak untuk berinvestasi pada anak-anak imigran, hanya karena mereka tidak terlihat seperti kita, kita mengurangi prospek anak-anak kita sendiri. Karena anak-anak berwarna coklat akan mewakili bagian yang lebih besar dari tenaga kerja Amerika," ujarnya. Terkesan menyindir halus Trump.

Dalam pidatonya, Obama menghadirkan kesan, selama kepemimpinannya, Amerika Serikat berhasil melewati badai resesi ekonomi dan pengangguran. Tentu, dia juga menyebut keberhasilan program jaminan sosial kesehatan rakyat yang monumental. Kebijakan ini disoroti kalangan Partai Republik, termasuk Trump, sebagai program yang memberatkan pemerintah.

Karena itu, politisi Partai Republik mendesak Trump untuk menghentikan program yang terkenal sebagai Obama Care, itu.

Dalam pidatonya, Obama mengatakan, “Kalau ada yang bisa menyusun rencana yang terbukti lebih baik daripada sistem perawatan kesehatan rakyat yang kami buat, yang mencakup begitu banyak orang dengan biaya yang kurang, saya akan mendukungnya,”seru Obama yakin.

Program itu sudah melayani lebih dari 20 juta rakyat Amerika Serikat.  

Obama yang melangkah ke Gedung Putih dengan iringan nyanyian dan yel ikoniknya, “Yess, We Can,” pada tahun 2008, malam itu mengatakan, selama delapan tahun, yel ikonik itu sudah dibuktikannya. “Ya. Kita bisa,” katanya. “Kita sudah melakukannya,” tegas Obama, diiringi tepuk tangan dan standing occation khalayak.

Obama juga mengatakan, selama dua periode mengemban amanat rakyat Amerika, dia beserta seluruh kalangan dalam pemerintahannya telah melayani rakyat. “Ini merupakan kehormatan hidup saya untuk melayani Anda,” kata Obama.

Dia melanjutkan, “Saya tidak akan berhenti (melayani); pada kenyataannya, saya akan bersama Anda, sebagai warga negara, untuk semua hari saya yang tersisa.”

Di hadapan 18.000 khalayak yang menghidari acara pidato perpisahannya, itu Obama menyinggung, kendati tingkat partisipasi politik rakyat menurun dalam pemungutan suara pemilihan Presiden beberapa waktu berselang, hal itu tidak merampas demokrasi Amerika.

Dan, ia mendorong rakyat Amerika berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi itu pada penyelenggaraan pemerintahan berikutnya.  “Amerika Serikat bukan sesuatu yang rapuh,”ujar Presiden Obama malam itu.

Dalam pidatonya, itu Obama mengemukakan, bahwa semasa pemerintahannya telah berlangsung berbagai perubahan. Termasuk pemulihan hubungan diplomatik dengan Kuba (yang selama puluhan tahun membeku), kesepakatan nuklir dengan Iran, tertumpasnya Osama ben Laden, dan penutupan penjara Guantanamo.

“Itulah (antara lain) yang kita lakukan. Kalian adalah perubahan. Amerika kuat, tempat untuk memulai sesuatu yang lebih baik (lagi),”serunya.

Susan Page, menulis untuk USA TODAY, dan menjelaskan, kendati Trump mempersoalkan dirinya, asal usulnya, ketika kampanye, tapi malam itu dalam pidatonya, Obama justru menyampaikan ‘pembelaan’ atas legitimasi Trump dalam menjalankan kepresidenannya.

Obama terkesan mencairkan kecamuk sebagian masyarakat Amerika Serikat yang meragukan kredibilitas Trump. Apalagi, kini tengah berkembang isu seputar kontroversi baru terkait Trump yang bakal meledak kelak, seputar tuduhan yang belum terverifikasi (hoax) terkait dengan keterlibatan Rusia dan keuangan Trump dalam proses pemilihan Presiden 2016.

Sangat terkesan, Gedung Putih sangat cermat merencanakan acara pidato perpisahan ini. Mulai dari menentukan lokasi, ritme (nada dan irama) retorika Presiden Obama untuk mencapai standar kenangan yang panjang bagi rakyat, sehingga isi pidato itu menjadi ingatan terbaik rakyat.

Cody Keenan, yang mengepalai tim penulisan pidato Obama mengemukakan, sampai Selasa sore (beberapa saat sebelum tiba waktu untuk berpidato), Presiden Obama masih mengedit draft naskah (keempat) pidatonya. Ini yang membuat salah seorang ajudan Obama agak terlambat menulis ulang di teleprompter.

Tim penulisan draft pidato yang dipimpin Cody Keenan, itu juga bekerja keras untuk merunut referensi, agar Pidato Perpisahan Obama mencerminkan sustainabilitas kepemimpinan Amerika yang bernilai historis.

Antara lain tentang sikap Presiden George Washington yang konsisten pada konstitusi dan tidak tergoda untuk mengubahnya dan mencukupkan masa kepresidenannya hanya dua periode. Terutama untuk menghindari keterlibatan asing di Eropa.

Demikian juga tentang peringatan ihwal pengaruh ‘industri militer’ yang kompleks yang ditegaskan oleh Presiden Dwight D. Eisenhower.

Tentu tak terlupakan puncak-puncak pesan dalam rangkaian pidato Obama selama memimpin Amerika Serikat, sampai pidato Obama di Springfield, Illinois. Juga pidatonya di Universitas Howard dan Rutgers University; serta pernyataan-pernyataannya selama Konvensi Nasional Partai Demokrat, yang menjadi rangkaian panjang perjalanannya menjadi Presiden Amerika Serikat.

Dalam pidatonya yang memadu pola retorika ritmik dan melodius, itu Obama sampai pada satu momen, selama beberapa detik yang membuat dia tampak terharu. Terutama, ketika dia harus berterima kasih kepada isterinya Michelle dan puteri sulungnya Malia.

Obama memuji Michelle tak hanya sebagai isteri dan ibu anak-anaknya, melainkan juga sahabat terdekatnya. Ia juga memuji puterinya Malia, yang cantik dan cerdas. Ia memuji Wakil Presiden Joseph R. Biden Jr dan isterinya, Jill yang menyimak pidato itu dengan tekun.

Obama menyebut Biden bukan hanya Wakil Presiden yang terbaik baginya, melainkan sahabat yang luar biasa. Biden dan isterinya,  Jill – di mata Obama sudah selayaknya saudara.

Josh Lederman dan Darlene Superville dari Associated Press, menyebut pidato perpisahan Obama, sebagai meditasi publik tentang cobaan dan kemenangan, dan tentang pelaksanaan janji-janji kampanye selama delapan tahun di Gedung Putih. Juga ekspresi keyakinan Obama tentang kebesaran Amerika.

Michael D. Shear, seorang wartawan menulis, banyak khalayak yang bersedih menyimak pidato perpisahan itu. Terutama, karena kekecewaan dan kekuatiran program-program legasi Obama akan dihentikan oleh Trump.

Hasil pemilihan Presiden 2016 tak memungkinkan Obama “menyerahkan” Gedung Putih kepada Hillary Clinton. Dan harus menyerahkannya kepada Trump.

 “Beers and tears,”cetus Ben Labolt, sekretaris pers nasional untuk masa kampanye Obama pada periode kedua kepemimpinannya.

James McGee, seorang guru sekolah dasar di pinggiran mengatakan pada Shear, bersedia menunggu Obama berjam-jam dalam pelukan dingin. Dia ingin menunjukkan kepada murid-muridnya, “Pidato Obama layak ditunggu.” 

McGee mengatakan, “Lebih baik menunggu antrean untuk menyimak pidato Obama daripada antre membeli sepatu olahraga dan berbelanja di Black Friday.” Isterinya, Ms McGee merasa sangat terganggu oleh akan dilantiknya Trump.

Trump, kata Ms McGee akan merusak warisan Obama. "Ada begitu banyak orang yang mengatakan hal itu. Dia (Trump) mempertahankan kelas. Jujur, saya tidak ingin Obama pergi, tapi saya yakin, hal itu akan menjadi beban dari pundaknya.”

Alvin Love, seorang pendeta, sambil menuntun cucunya, Bayleigh Love, berada dalam antrean kerumunan orang yang lumayan lama untuk masuk ke dalam gedung. 

Love mengatakan, dia akan menyambut Obama kembali, dan beraktivitas seperti 30 tahun lalu, ketika mengelola komunitas muda di selatan Chicago.

Ia menyebut, suasana yang mengalir pada dirinya menyimak pidato Obama, campuran haru, bangga, dan sangat emosional. “Saya sedih melihat dia berakhir, tapi saya bangga dan senang melihat apa yang dia lakukan selama ini.”

Love yakin, legasi Obama akan tetap berjalan dan akan mewujud, cepat atau lambat.

Obama dan pidatonya adalah dua hal tak terpisahkan. Mengekspresikan watak, kecerdasan, kearifan, visi dan kepribadian Obama. Termasuk kepiawaian para stafnya. Pidato itu mencerminkan Obama, karena jiwa Obama ada di dalamnya.

Obama sendiri berterima kasih kepada para stafnya yang telah menyertainya selama delapan tahun, dan kepada anak-anak muda yang telah ambil bagian mengorganisasi momen Pidato Perpisahan dia yang menggugah itu. Pidato perpisahan Obama, bukan sekadar pidato. Pesannya sangat jauh ke depan, dan tidak menyeret Amerika Serikat menjadi bangsa ambivalen.| JM Fadhillah

Editor : sem haesy | Sumber : White House Gov, NYT, USA Today, AP dan sumberlain
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1156
Rumput Tetangga
Selanjutnya