Safari Anies di Aceh Utara dan Lhokseumawe

Isyarat Hamzah Fansuri untuk Renungan Anies Baswedan

| dilihat 414

nota Bang Sèm

Anies Baswedan kembali mengunjungi Nangroe Aceh Darussalam. Kali ini, dia melakukan safari mulai dari Aceh Utara dan Lhokseumawe (Rabu - 1/11/23).

Safari Anies di Aceh penting dalam kapasitasnya sebagai bakal Calon Presiden dalam Pemilihan Presiden 2024. Visi yang diperjuangan Anies dan Muhaimin (AMIN), "Indonesia Adil Makmur untuk Semua."  Muaranya adalah persatuan di tengah keberbagaian (pluralitas dan multikulturalitas). Tanpa kecuali, menempatkan konsep Bangsa Aceh dalam keseluruh konteks Bangsa Indonesia di tengah arus zaman untuk melakukan transformasi kebangsaan dari narrow nationalism menjadi global nationalism, kalau pun tak sampai menjangkau universe nationalism.

Saya memandang safari Anies ke Aceh -- kemudian terus ke Langkat dan Minangkabau -- adalah safari politik berdimensi budaya, di tengah teruknya budaya politik nasional dengan paradoks 'demokrasi feodal.' Praktik demokrasi dengan politik pragmatis yang menguburkan akal budi politik dan memberi ruang luas bagi akal-akalan politik yang sedang melenceng menuju otokrasi.

Kedudukan dan keberadaan Aceh sebagai wilayah khas dalam lingkungan Negara Republik Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi pada tahun 1959 -- selepas Mosi Integral Mohammad Natsir  (3 April 1950) di parlemen, untuk mengembalikan Indonesia menjadi negara kesatuan setelah berantakan dengan konsep negara federasi yang diprakarsai oleh Van Mook.

Pilihan Strategis

Pada kali pertama, kedudukan dan keberadaan Aceh sebagai wilayah khas tersebut seolah-olah menunjukkan keseriusan pemerintah Republik Indonesia memberikan otonomi yang luar biasa tinggi dalam urusan agama, pendidikan, dan budaya. Namun dalam praktiknya tidak demikian.

Selepas terjadi gerakan Reformasi 1998, kedudukan dan keberadaan tersebut diikhtiarkan penyempurnaannya terus menerus, kendati realitanya masih banyak persoalan yang harus diselesaikan, khasnya ihwal kesejahteraan dan keadilan. Baik karena masih tersisanya 'Dutsch disease' - negeri kaya sumber daya alam tapi masih miskin rakyatnya karena ketimpangan, pula karena beragamnya kepentingan yang menyertai.

Kali ini, Anies memilih Aceh Utara dan Lhokseumawe sebagai lokasi kunjungannya. Bagi saya, hal ini merupakan pilihan strategis.

Aceh Utara dan Lhokseumawe berada dalam Kawasan Ekonomi Khusus Arun yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2017.

KEK Arun ini fokus sektor-sektor energi (dengan arah regasifikasi LNG, LNG Hub dan Trading, Mini LNG Plant PLTG dengan pengembangan pembangkit listrik berbasis energi bersih), petrokimia, agro industri pendukung ketahanan pangan, logistik serta industri penghasil kertas kraft.

Logika dagang pemerintah yang dokoh dengan foreign direct investment (FDI) memproyeksikan KEK Arun akan menarik investasi sebesar 3,8 juta dolar AS dan dibayangkan akan menyerap tenaga kerja sebanyak 40.000 tenaga kerja hingga tahun 2027.

Sejak dikembangkan sebagai kawasan industri di masa Orde Baru, masih banyak rakyat Aceh yang merasa belum beroleh manfaat dari proyek-proyek pembangunan industri besar di sana. Peluang kerja yang tersedia lebih banyak diisi oleh tenaga kerja dari luar, terutama dari Pulau Jawa.

Pada masa itu, rakyat Aceh masih merasa belum menikmati kekayaan gas alam cair dan minyak bumi, yang didulang di sana. Masalah lain yang harus mereka hadapi kala itu adalah kebijakan transmigrasi yang ekspansif.

Meski telah mengalami perkembangan -- termasuk dalam politik dengan kekhasan partai lokal --, sejak 'Perdamaian Helsinki' (15.8.2005) Data Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, sampai Maret 2023, menunjukkan, jumlah penduduk miskin di Aceh masih 14,45 persen. Di Aceh Utara penduduk miskin masih 16,64 persen dan Lhokseumawe masih berjumlah 10,73 persen.

Delapan Misi

Safari politik (berdimensi budaya) Anies ke Aceh, adalah peluang untuk mengkomunikasikan 8 (delapan) misi pasangan AMIN. Yakni : (1) Memastikan Ketersediaan Kebutuhan Pokok dan Biaya Hidup Murah melalui Kemandirian Pangan, Ketahanan Energi, dan Kedaulatan Air; (2) Mengentaskan Kemiskinan dengan Memperluas Kesempatan Berusaha dan Menciptakan Lapangan Kerja, Mewujudkan Upah Berkeadilan, Menjamin Kemajuan Ekonomi Berbasis Kemandirian dan Pemerataan, serta Mendukung Korporasi Indonesia Berhasil di Negeri Sendiri dan Bertumbuh di Kancah Global; (3) Mewujudkan Keadilan Ekologis Berkelanjutan untuk Generasi Mendatang; (4) Membangun Kota dan Desa Berbasis Kawasan yang Manusiawi, Berkeadilan dan Saling Memajukan; (5) Mewujudkan Manusia Indonesia yang Sehat, Cerdas, Produktif, Berakhlak, serta Berbudaya; (6) Mewujudkan Keluarga Indonesia yang Sejahtera dan Bahagia sebagai Akar Kekuatan Bangsa; (7) Memperkuat Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara, serta Meningkatkan Peran dan Kepemimpinan Indonesia dalam Kancah Politik Global untuk Mewujudkan Kepentingan Nasional dan Perdamaian Dunia; (8) Memulihkan Kualitas Demokrasi, Menegakkan Hukum dan HAM, Memberantas Korupsi Tanpa Tebang Pilih, serta Menyelenggarakan Pemerintahan yang Berpihak pada Rakyat.

Delapan butir misi tersebut, bagi saya, menunjukkan dengan jelas, pasangan AMIN berkomiktmen kuat menempatkan penyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan penguatan daya masyarakat sebagai suatu gerakan budaya. Gerakan restorasi untuk kebangkitan bangsa untuk mencapai keadilan dan kesjahteraan rakyat. Secara sosiologis menempatkan keluarga sebagai basis perubahan, dan secara sosio ekonomis menempatkan desa - kota sebagai pusat dan generator pertumbuhan berdimensi sosio benefit.

Dari kunjungan ke Aceh kali ini, boleh diharap tak hanya berorientasi pada pencapaian elektoral. Lebih jauh dari itu, akan memperkuat cara pandang kebangsaan dan ke-Indonesia-an bertumpu pada manusia dengan kemerdekaan sejati, kesetaraan dan persatuan umat. Secara khas dalam konteks nafas nasionalisme religius berbasis prinsip dasar pemuliaan manusia yang dialiri oleh adab dan keadaban sebagai perangkat untuk mengembalikan kewarasan bernegara.

Isyarat Hamzah Fansuri

Terkoneksi dengan simbolisma 'kapal kebangsaan dengan layar membentang' saat mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) - Kamis (19/10/23), di Aceh, Anies perlu menyerap karya besar ulama - pujangga Hamzah Fansuri, Syair Perahu.

Di sela rehat menjelang tidur, boleh jadi Anies akan membaca dan meresap serap hakikat isyarat kepemimpinan dari Syair Perahu tersebut. Minimal pada bait-bait seperti ini :

Muaranya itu terlalu sempit / Dimanakan lalu sampan dan rakit / Jikalau ada pedoman dikapit Sempurnalah jalan terlalu ba’id //

Baiklah perahu engkau perteguh /Hasilkan pendapat dengan tali sauh / Anginnya kencang ombaknya cabuh / Pulaunya jauh tempat berlabuh //

Lengkapkan pendarat dan tali sauh / Derasmu banyak bertemu musuh / Selebu rencam ombaknya cabuh / La ilaha illallahu akan tali yang teguh //

Barangsiapa bergantung di situ / Teduhlah selebu yang rencam itu / Pedoman betuli perahumu laju / Selamat engkau ke pulau itu //

Laut Kulzum terlalu dalam / Ombaknya muhit pada sekalian alam / Banyaklah di sana rusak dan karam / Perbaiki na’am siang dan malam //

Ingati sungguh siang dan malam / Lautnya deras bertambah dalam / Anginpun keras ombaknya rencam / Ingati perahu jangan tenggelam //

Jikalau engkau ingati sungguh / Angin yang keras menjadi teduh / Tambahan selalu tempat yang cabuh / Selamat engkau ke pulau itu berlabuh //

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 248
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 474
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 466
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 438
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 248
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 344
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya