Mengeja Komitmen Visioner Agus & Sylvi

Inspirasi Luar Batang Memacu Semangat Perubahan

| dilihat 1981

Catatan Bang Sem

LELAKI berpostur tegap dengan sorot mata tajam, itu melangkah memasuki panggung di ball room Djakarta Theatre – Jakarta, Minggu : 30 Oktober 2016, jelang petang. Tak kurang dari seribu orang simpatisan dan pendukung fanatiknya, menunggu di situ.

Agus Harimurti Yudhoyono, lelaki berusia 38 tahun itu, kandidat Gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Ia berpasangan dengan Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, SH, Msi. Agus yang berlatar belakang militer adalah seorang master dalam tiga bidang ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari Nanyang Technology University – Singapura, Harvard University dan Western University Amerika Serikat.

Jelang petang itu, Agus menyampaikan Pidato Politik mengawali kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017, yang dikemas dalam format yang jarang dilakukan di Indonesia.

Dan Agus pun bicara tentang berbagai hal. Agus mengawali pidatonya dengan nada rendah, retorika a la Aristopanes yang mengulik naluri dan perasaan.

“Pada hari Jumat pagi, sepuluh hari yang lalu, saya mengunjungi kawasan Luar Batang di kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. Dulu, tempat ini adalah salah satu titik perlawanan terhadap penjajah Belanda. Kini, sebagian masyarakat menempatkan Luar Batang sebagai salah satu titik perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesenjangan sosial,” ujarnya.

Spontan khalayak menyambut kalimat itu dengan gempita.

“Ketika saya turun ke lapangan, berjalan menuju Masjid Luar Batang untuk menunaikan Shalat Jum’at, dan melintasi pemukiman padat penduduk, tiba-tiba, seorang ibu separuh baya meraih, lalu menggenggam tangan saya erat-erat,” lanjut Agus.

Intonansi dan aksentuasi dengan nada turun mengantar kalimat itu sebagai getar batin seorang pemimpin dan menjentik resonansi. Dan khalayak menyimak lanjutan cerita:

Ibu ini menatap saya lekat-lekat. Sambil agak bergetar suaranya, dia mengatakan, “Saya tidak menyangka, ada calon gubernur yang datang kesini. Tolong kami pak, kami butuh keadilan. Jangan lupakan kami.”

Terasa ada getar batin yang dalam. Agus sampai pada cerita, “Ibu ini adalah bagian dari warga setempat yang cemas pemukimannya akan digusur dengan alasan penataan lingkungan.”

Khalayak merasakan transfer simpati dan empati Agus,  lalu terseret ke dalam cerita kontemplatifnya:

Malam harinya, tatapan dan amanat ibu ini terus bergetar dalam ingatan saya. Lantas Saya duduk tafakur. Memori ke detik-detik peristiwa pengambilan keputusan untuk ikut dalam Pilkada DKI ini hadir kembali. Tanggal 22 September 2016, usai salat istikharah saya berdialog dengan Tuhan Yang Maha Besar; “Ya Allah, apakah ini sebuah godaan akan kekuasaan ataukah sebuah panggilan tugas yang suci?”

“Sebuah kalimat Robert Frost yang muncul sebagai screen saver di layar laptop saya usai istikarah adalah: Two roads diverged in a wood, and I took the one less travelled by, and that has made all the difference... memandu saya untuk meyakini bahwa ini adalah sebuah petunjuk dari Tuhan,”

Seketika saya tersentak. Ungkapan Robert Frost banyak menginspirasi para pendaki dan penjelajah. Menghadapi jalan bercabang, yang berbeda satu dengan lainnya, yang harus dipilih salah satunya. Tapi harus diyakini akan sampai ke puncak tujuan.

Bagi mereka yang mengenal Agus cukup lama dan mengikuti perkembangan kiprah kehidupannya, kalimat itu tak hanya menawarkan diksi dalam satu frasa penting pilihan kehidupan. Lebih dari itu, memberi gambaran, betapa Agus sebagai sesosok pribadi, sangat matang.

Dia adalah pendaki dan penjelajah yang akan terus bergerak ke puncak, tahu bagaimana cara menempuk puncak, tahu dan mampu menentukan berapa lama akan berada di puncak, dan kapan akan turun. Dia juga tahu cara turun.

Ungkapan Agus itu semakin terasa dimensi kedalamannya ketika ia melanjutkan pidatonya:

“Mengambil jalan yang lebih jarang dilalui, dimana hampir sulit ditemukan seorang Mayor dengan masa dinas 16 tahun, keluar dari zona nyaman dengan mengakhiri ikatan dinas di TNI dan ikut dalam pemilihan Gubernur, menjadi sebuah keputusan besar dan tidak mudah dalam perjalanan hidup saya.”

Dan, ini point-nya: “Pertemuan dengan Ibu warga Luar Batang sebagaimana yang saya ceritakan tadi memperteguh keyakinan diri dengan keputusan yang telah saya ambil. Bismillahirrahmanirrahiim, keputusan saya untuk mengakhiri ikatan dinas di TNI dan maju sebagai Calon Gubernur DKI, saya yakini sebagai sebuah panggilan tugas suci untuk membela hak-hak warga yang tertindas dan diperlakukan tidak adil seperti yang dialami warga Luar Batang, serta untuk pembangunan kemashlahatan seluruh umat yang lebih besar, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan antar golongan.”

Khalayak berdiri dan bertempik menyambut kalimat itu. Agus berhasil masuk ke ruang nalar, naluri, rasa, dan indria khalayaknya pada menit-menit awal pidatonya.

Perlahan dan tak terasa Agus mengubah gaya retorika Cicero. Ia langsung masuk ke dalam substansi Jakarta dalam kapasitasnya sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta 2017-2022.

“Tidak boleh lagi ada warga Jakarta yang takut terhadap pemerintahnya sendiri atau khawatir diperlakukan tidak adil. Pembangunan Jakarta haruslah untuk Rakyat, bukan untuk segelintir golongan,” ungkapnya aksentuatif dan beroleh respon khalayak.

Agus tak memberi jeda, dia menjaga momen rising speech:  “Untuk itu, saya hadir disini untuk mengawali kerja lapangan, memenangkan pemilihan Gubernur DKI Jakarta, agar kelak tidak ada lagi warga Jakarta yang termajinalkan... Saya akan gunakan semua ilmu dan pengalaman, penugasan, serta pendidikan bahkan network internasional saya, untuk membangun Jakarta yang berkelas dunia.” (Baca: Yoi.. Pidato Politik Agus Memompa Militansi Relawan)

Agus menegaskan kesiapannya. Intonansinya mentransfer pesan jelas secara hipodermis:  “Saya hadir disini, sekali lagi, untuk memimpin perubahan itu ke arah yang lebih baik dan untuk menjawab panggilan tugas ...”

Agus berhasil melakukan interaksi nalar, naluri, dan rasa kolektif. Dan dia ‘mengikat’ dengan simpul diksi yang kuat, “Alhamdulillah, Alhamdulillah... hari ini kita bersatu dalam do'a, harapan dan cita-cita, untuk menyongsong hari esok yang lebih baik... Ya, kita hadir di sini, karena kita ingin bersama-sama melakukan perubahan. Perubahan menuju Jakarta yang lebih baik.”

Agus masuk ke dalam ruang nalar, naluri, rasa, indria lebih dalam, ketika dia menjelaskan, mengapa perubahan untuk Jakarta menjadi kehendak kolektif.

Ia menjelaskan, disamping banyak kemajuan dan hal-hal yang sudah dicapai, tetapi, tidak sedikit keadaan dan hal-hal yang belum baik, tidak sedikit pula masalah yang tidak diselesaikan sebagaimana mestinya.

Khalayak menyambut gemuruh ketika Agus mengatakan, “Saya melihat banyak "Bom Waktu", yang kalau dibiarkan akan berbahaya. Bberbahaya bagi kehidupan masyarakat Jakarta  yang kita cintai bersama ini.”

Oleh karena itu, katanya, keadaan dan masalah yang bisa membikin Jakarta makin buruk itu,  bahkan "bom-bom waktu itu," tidak boleh kita biarkan, dan harus kita atasi, dan carikan jalan keluarnya.

Apa yang selama ini saya dan banyak orang rasakan tentang ‘bom waktu,’ itu segera terbayang. Mulai dari bagaimana ibukota menghadapi banyak persoalan. Mulai dari perekonomian yang tidak stabil, infrastruktur yang tak berdampak kenyamanan dan kebahagiaan, demokrasi yang ditafsirkan sepihak, pengabaian hak-hak asasi manusia, dan ketercerabutan tata kehidupan Jakarta dari identitas, seni  budaya dan akar tradisinya.

Agus mengusik nalar, ketika dia mengatakan, Jakarta adalah milik semua, milik rakyat, sehingga harus diberlakukan sebagai sebuah “ruang kehidupan”. Ruang yang harus menjamin, semua orang punya hak untuk hidup secara layak, tenteram, bermartabat, bahagia, dan tidak boleh meninggalkan luka dan rasa kalah bagi sebagian penghuninya.

Inilah yang menurut Agus, melatari sesanti : Jakarta untuk rakyat, Jakarta untuk kita.. yang dicanangnya bersama Sylviana Murni.

Agus terus memelihara model retorika Cicero menyampaikan gagasan, visi, misi, dan rencana program aksinya kelak sebagai pemimpin. Luar biasa.

Di Jakarta, tak boleh lagi hanya segelintir orang dan golongan tertentu saja yang menikmati hidup bahagia. Tak boleh lagi, hanya mereka yang kuat menentukan hukum & memaksakan kehendaknya.

“Mereka yang lemahpun harus didengar  serta dihormati hak dan martabatnya. Mereka berhak hidup layak dan tenteram di kota ini. Janganlah dengan sengaja mereka dipinggirkan bahkan dilempar dari ruang  kehidupan yang besar ini,”ungkap Agus mengekspresikan keberpihakannya kepada keadilan sosial.

Lantas tegas Agus menyatakan, “Jakarta masa depan, harus anti terhadap semua bentuk penindasan dan kekerasan. Jakarta harus menjadi kota yang berciri keadilan, kebebasan dan kesetaraan. Jakarta harus menjadi kota yang penuh toleransi dan harmoni.”

Maknanya, semua yang tinggal, bekerja dan berekreasi di kota ini harus merasa aman dan tenteram. Apapun agama, etnis, suku dan asal daerahnya. Siapapun dia,  yang kaya atau yang miskin, yang berpangkat ataupun yang tidak.

“Jakarta juga harus memancarkan semangat dan keberanian hidup kaum muda di dalamnya,”ungkap Agus.

Agus mengulang ingat semua khalayak yang menyimak pidatonya, betapa dua tahun terakhir, terjadi paradoks. “Pertumbuhan meningkat, kemiskinan meningkat, daya beli rakyat menurun !”tegasnya, disambut tempik khalayak. Apa yang terjadi di pasar tradisional adalah potret nyata keadaan itu.

Pasalnya? Rakyat sulit mendapatkan lapangan kerja dan penghasilan. Saudara-saudara kita yg tak beruntung itu banyak yang mulai putus asa dan kehilangan harapan. Di sisi lain, kesejahteraan rakyat Jakarta, utamanya pendidikan dan kesehatan masih menghadapi tantangan.

Agus mengungkap, sepuluh tahun terakhir ini, baik pemerintah pusat maupun pemerintah Jakarta, telah bekerja keras untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Namun, bagi keluarga tidak mampu masih tetap saja mengalami kesulitan.

Kasus kekurangan gizi dan nutrisi, utamanya anak balita, juga masih dialami banyak keluarga. Kondisi ini tentu sangat mengganggu perkembangan anak untuk tumbuh menjadi manusia yang sehat, cerdas dan berkualitas.

Jakarta juga menghadapi permasalahan sosial yang serius. Kerasnya kehidupan, kemiskinan di masyarakat bawah perkotaan, migrasi dari luar Jakarta yang terus berlangsung, serta ketimpangan yang lebar antara yang kaya dengan yang miskin membikin hawa sosial Jakarta panas yang setiap saat bisa menjadi benturan sosial.

“Keamanan di Jakarta juga tergolong buruk,”tegas Agus. “Dari 50 kota di dunia, Jakarta dinilai sebagai kota yang paling tidak aman. Jakarta bukan hanya dihantui oleh kejahatan jalanan, kekerasan horizontal, serta kejahatan narkoba, tetapi juga, masih rawan terhadap aksi-aksi terorisme.”

Agus mengungkap paradoks. Masyarakat Jakarta merasakan hukum dan keadilan belum tegak benar. Kepada mereka, sering dipertontonkan penegakan hukum yang tebang pilih. Tajam ke bawah ~ tumpul ke atas. Banyak juga yang bertanya, siapa yang paling kuat atau paling kuasa di negeri ini. Siapa yang menjadi panglima, hukum atau politik?

Banyak realitas pertama diungkap Agus dalam pidatonya. Dia menegaskan, Rakyat Jakarta ingin pemimpin dan pemerintah daerahnya transparan, adil dan bertanggung jawab. Rakyat bertanya apakah pemimpinnya amanah? Apakah pemimpinnya taat hukum dan undang-undang? Apakah negara dan rakyat tidak dirugikan? Bagaimana keuangan dikelola dan dari mana uang itu berasal?

Kalimat ini saya tangkap sebagai salah satu ‘bom waktu’ yang sumbunya sedang menyala. Begitu juga ketika Agus menyampaikan kalimat aksentuatif: “... ketika terjadi gesekan atau aksi-aksi paksa terhadap warga, seperti penggusuran, masyarakat juga bertanya: kepada siapa pemimpin danpemerintahan di Jakarta berpihak?”

Itulah yang diperoleh Agus selama sebulan berkunjung ke berbagai pelosok Jakarta menjumpai rakyat.  Dan Agus menyatakan, jika rakyat memberi mandat kepadanya dia dan Sylvi – sesuai Visi dan Misi-nya – akan mengambil kebijakan yang tepat dan tajam. Juga, mengubah paradigma pembangunan Jakarta sebagai ruang kehidupan yang bermartabat, dimana pembangunan dilaksanakan secara adil, berimbang dan inklusif.

Agus dan Sylvi telah merancang model kepemimpinan yang tegas, berenergi tinggi, mau bekerja keras, adil dan mengayomi. “Juga kepemimpinan yang melibatkan dan memberdayakan para pemimpin bawahannya utamanya para walikota yang juga memiliki peran yang penting,” tegasnya.

Lantas dia menyampaikan 10 program aksi yang telah dirancangnya. Pada beberapa bagian aksentuasi pidatonya, hasrat khalayak bertemu dengan pemikirannya.

Sampai penghujung pidatonya, Agus berhasil meyakinkan khalayak, bahwa dia adalah pemimpin masa depan yang diharapkan oleh rakyat Jakarta. Visioner, Tegas, cerdas, pekerja keras, dan berpihak kepada rakyat.

Berada di antara khalayak, menyimak pidato Agus, saya memandang, Agus – dari sudut pandang imagineering – berhasil mengolah intuitive reason untuk mempertemukan harapan rakyat dengan rencana aksi kepemimpinannya. Saya mengeja paduan suara hati dan jalan visioneering Agus & Sylvi.

Bersama Agus & Sylvi saya berkomitmen menjadi bagian dari gerakan pembaruan, mengembalikan Jakarta sebagai ibukota perjuangan. Malu pada Mohammad Husni Thamrin, bila membiarkan Jakarta menjadi kota asing bagi rakyat yang dilahirkan, dibesarkan, dan bercita-cita bahagia di kota ini.

Inspirasi dari ibu tua di Luar Batang memacu spirit Agus & Sylvi untuk memenangkan Pilkada Jakarta 2017. |  

Editor : sem haesy
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 937
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1168
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1429
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1577
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 523
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1045
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 264
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 737
Momentum Cinta
Selanjutnya