Dilema Partai Baru

| dilihat 2350

Ade Cahyadi Setyawan 

Tidak dipungkiri bahwa beberapa partai baru namanya cukup terdengar di media. Baik media sosial maupun media massa. Sebutlah dua partai tersebut yaitu Partai Perindo dan Partai Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kedua partai tersebut dalam pembentukannya menggunakan jaringan anak muda Muhammadiyah.

Tak mengherankan dikarenakan kedua Sekjen dari partai tersebut adalah mantan ketua umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan ketua umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

Dalam konteks analisis media, yang cukup menarik bahwa pendekatan kedua marketing politik kedua partai tersebut cukup berbeda. Jika Partai Perindo menggunakan pendekatan media massa, maka Partai PSI menggunakan pendekatan media sosial. Jika dilihat secara jangkauannya, maka Partai PSI secara tegas bahwa sasaran pemilih mereka adalah generasi millennial.

Survei yang dilakukan Alvara Research Center tahun 2014 menunjukkan pemilih muda Indonesia didominasi oleh swing voters atau pemilih galau, dan apathetic voters atau pemilih cuek. Artinya pilihan dengan sasaran pemilih muda tersebut bukan tanpa risiko terhadap keterpilihan.

PSI memang sering melakukan viral di media sosial, membuat viral di media sosial cukup ‘mbeo’ kata orang Jawa. Artinya seperti burung beo yang hanya mengikuti suara tuannya. PSI tidak salah jika sasarannya generasi millennial yang memang tidak dapat terpisahkan dengan gadget.

Berdasarkan survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 26 September – 8 Oktober 2017. Diketahui bahwa jika pemilu legislatif dilakukan saat ini, maka Partai Perindo hanya mendapatkan 1,4% sedangkan Partai PSI hanya mendapatkan 0,1%.

Jika disimulasikan dengan hasil perolehan suara seluruh partai pada Pemilu Legislatif 2014 yang berjumlah 124.972.491 suara. Maka Partai Perindo akan memperoleh 1.749.615 suara, sedangkan Partai PSI akan memperoleh 124.972 suara.

Hal tersebut membuktikan bahwa menggunakan sarana media massa dan media sosial tidak terlalu optimal untuk memperkenalkan partai baru.

***

Kedua partai tersebut jika dilihat dari pandangan Gerakan Sosial Baru/New Social Movements. Maka, Partai Perindo lebih dekat pada teori the Resource Mobilization Theory/RMT. RMT lahir dan berkembang di Amerika memandang bahwa dinamika terjadinya gerakan sosial cenderung melibatkan dimensi-dimensi rasionalitas (bersifat rasional).

Sehingga tidak mengherankan isu-isu yang diangkat oleh Partai Perindo lebih dekat pada isu-isu ekonomi.

Sedangkan Partai PSI lebih dekat pada teori the Identity-Oriented Theory (IOT). IOT lahir dan berkembang di Eropa yang memandang bahwa dinamika terjadinya gerakan sosial cenderung melibatkan dimensi-dimensi emosionalitas atau dengan kata lain yang bersifat emotif.

Sehingga tidak mengherankan jika isu-isu yang diangkat terkait dengan partisipasi perempuan dalam politik, isu terkait dengan toleransi. 

Namun, Singh (2010) melihat ada 8 faktor penting dalam Gerakan Sosial Baru/New Social Movements, yakni; 1) Organisasi gerakan sosial, 2) Pemimpin dan kepemimpinan, 3) Sumberdaya dan mobilisasi sumberdaya, 4) Jaringan dan partisipasi, dan 5) Peluang dan kapasitas masyarakat dalam melakukan gerakan sosial; 6) Identitas kolektif; 7) Solidaritas; dan 8) Komitmen.

Partai Perindo dan Partai PSI akan kesulitan dalam hal memobilisasi sumberdaya serta jaringan. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa lawan politiknya seperti; PDIP, PKS, PAN, PKB, Gerindra, Partai Demokrat dan Partai Golkar yang telah memiliki basis sumberdaya yang jelas. Menjelang pertarungan politik mendatang, partai ini akan ‘mengunci’ basis jaringannya. 

Munculnya fenomena banyak komunitas hari ini juga harus dicermati sebagai peluang untuk dapat melakukan mobilisasi sumberdaya. Banyak komunitas seperti pecinta alam, komunitas motor, komunitas mancing, komunitas kicau burung, komunitas baca, komunitas fotografi, komunitas film, serta komunitas lainnya.

Namun, kenyataannya bahwa komunitas-komunitas tersebut umumnya enggan bersentuhan dengan Partai Politik. Wajar saja jika banyak partai yang melakukan pendekatannya sangat hati-hati, karena kalau tidak, maka komunitas tersebut akan menjauh. Lazimnya partai-partai akan mengutus kadernya setelah ‘berganti baju’ dengan bendera komunitas juga.

Iming-iming pembiayaan kegiatan komunitas oleh ‘partai’pun belum tentu diterima karena memang komunitas sudah biasa melakukan pembiayaan secara mandiri atau swadaya. Justru dengan pendekatan yang tepat seperti kesamaan isu atau tujuan yang akan dicapai maka komunitas yang akan mendekat kepada partai politik. |

Editor : sem haesy | Sumber : alvara-strategic.com / litbang kompas – Rajendra Singh (Social Movements, Old and New: A Post-Mode
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 246
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 425
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 318
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 274
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya