Calo Dibenci, Calo Dicari

| dilihat 1771

AKARPADINEWS.COM | PRAKTIK pencaloan kerap ditemukan di berbagai lini kehidupan. Mulai calo kelas teri, hingga calo kelas kakap. Tergantung berapa banyak keuntungan yang didapat dan resiko yang ditanggung si calo.

Di terminal maupun stasiun, calo kelas teri, biasanya bertebaran menawarkan karcis transportasi yang harganya jauh lebih tinggi dari harga resmi. Mereka biasanya masif bergerak tatkala arus mudik berdenyut. Pengguna jasa transportasi yang tak ingin berlelah-lelah antri tentu akan memanfaatkan jasa para calo, meski harus mengeluarkan uang untuk membayar jasa calo.

Demikian pula saat perhelatan konser musik akbar yang dipentaskan artis terkenal atau saat perhelatan laga olahraga bergengsi seperti sepakbola. Calo-calo karcis bergerak menawarkan karcis ke penonton yang kesulitan mendapatkan karcis.

Para calo juga mudah ditemukan saat masyarakat mengurusi surat izin mengemudi (SIM). Mereka menawarkan berbagai jasa yang memastikan kliennya tidak perlu ribet mengurusi segala keperluan. Klien tinggal menunggu hasil kerja si calo. Semua bakal  beres, jika pengguna jasa membayar sesuai yang diinginkan si calo.

Ada lagi calo tanah dan calo pajak yang mendapatkan keuntungan dari jasa yang dilakukannya. Mereka umumnya bisa dengan mudah menyusup ke birokrasi karena memiliki akses atau jaringan yang melibatkan oknum di birokrasi.  

Sampai-sampai, praktik percaloan juga ditemukan saat mengurus kematian seseorang. Mereka sering ditemukan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) dan menarik pungutan liar kepada pihak keluarga almarhum.

Karena sudah meresahkan, Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta tahun ini mulai menerapkan larangan pungutan liar yang dilakukan calo dan meminta kepada pihak keluarga janazah untuk membayar langsung uang administrasi kepada petugas resmi TPU.

Calo juga dapat ditemukan di berbagai insitusi atau lembaga pemerintah, dari tingkat yang paling bawah, hingga tingkat yang paling tinggi. Di tingkat yang paling bawah seperti di kelurahan, biasa ditemukan calo pembuatan atau perpanjangan kartu tanda penduduk (KTP).

Calo juga banyak gentayangan saat rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS). Mereka menjanjikan akan meloloskan para calon PNS. Selain uang pelicin, untuk menjadi PNS juga dibutuhkan koneksi di birokrasi. Karena menjadi PNS dengan cara-cara yang tidak benar, pelayanan yang diberikan sangat buruk.

Pelayanan maksimal baru dirasakan masyarakat jika disertai uang pelicin, tips, hadiah, atau imbalan jasa sebagai bagian dari pengurusan layanan. Masyarakat sebagai pengguna layanan pun akhirnya toleran terhadap suap. Mereka menganggap pemberian imbalan merupakan hal yang wajar dalam pengurusan. Apalagi, masyarakat yang amat tergantung dengan pelayanan birokrasi.

Sementara di tingkat yang paling tinggi, calo membidik proyek bernilai besar yang dibiayai negara. Praktik percaloan di birokrasi itu bisa dilakoni pihak ketiga (makelar), pejabat atau kepala daerah, termasuk politisi yang punya akses mempengarui pejabat atau kepala daerah. Praktik percaloan di birokrasi itu biasanya terkait dengan kejahatan korupsi.

Dwiyanto (2011) menyebut fenomena di birokrasi itu merupakan "pasar korupsi" yang tidak hanya di tingkat pejabat birokrasi atau politisi. Namun, transaksi juga terjadi dalam birokrasi pada level rendah (street level of bureaucrats). Disebut pasar korupsi karena birokrasi menjadi ajang pertemuan dan transaksi antara aktor pemburu rente, para calo proyek, dan anggota masyarakat yang menginginkan pelayanan dengan mudah dan cepat, asalkan memberikan setoran kepada pejabat atau aparatur birokrasi.

Karenanya, meski pemerintah sudah mengumumkan agar masyarakat tidak menggunakan jasa calo, tetap saja praktik percaloan ditemukan. Hal itu karena oknum di pemerintahan sendiri yang membuka peluang praktik percaloan, bahkan menjadi calo untuk mendapatkan seseran.

Sampai-sampai, calo pun masuk ke wilayah yang sakral seperti saat musim haji. Mereka menyusup saat pendaftaran hingga proses pemberangkatan jamaah haji. Praktik percaloan ibadah haji sebenarnya telah berlangsung sejak abad 18 pada masa kolonial. Dalam laporan yang dikutip Dien Majid, disebutkan pengalaman buruk seorang Residen Cirebon bernama Adiningrat saat menunaikan ibadah haji tahun 1893. Ketika membeli tiket saat musim haji, Adiningrat dilayani WH Herklots, adik JGM Herklots.

Adiningrat membayar f.150 ditambah premi f.7,50 per kepala. Harga tersebut lebih mahal dari tarif pemerintah sebesar f.110. Tapi, tak dinyana, Herklost kabur ke Jeddah dengan identitas palsu. Adiningrat bersama jamaah haji lain yang telah membayar mahal itu menjadi terlantar dan menunggu, tanpa kepastian kapan kapal carteran Herklots dari Batavia datang, hingga akhirnya membuat konsulat Belanda geram.

Praktik calo dan penipuan itu masih berulang dan dialami jemaah haji di Indonesia. Resiko menggunakan jasa calo adalah ketidakjelasan proses pemberangkatan karena mereka cenderung hanya berusaha mengambil untung dari pelanggannya, memberi harga dengan tarif yang lebih mahal. Mereka dengan mudah menipu jamaah karena keterbatasan pengetahuan jamaah.

Lalu, ada juga calo kelas kakap, yang biasanya berurusan dengan anggaran atau proyek-proyek pemerintahan yang bernilai besar. Mereka biasanya punya kekuasaan atau akses mempengarui kekuasaan. Calo anggaran misalnya. Dari beberapa kasus korupsi yang menyeret politisi, diketahui jika anggota DPR melakoni praktik pencaloan.

Kasus korupsi anggaran Dana Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID) tahun 2011, menunjukan secara gamblang adanya praktik percaloan anggaran. Dalam kasus itu terungkap anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati, diketahui menerima imbalan dalam pengalokasian anggaran DPID untuk wilayah Aceh. Politisi Partai Golkar Haris Andi Surahman yang divonis dua tahun penjara juga diketahui memberikan suap Rp6,250 miliar kepada Wa Ode terkait pengurusan penetapan daerah penerima alokasi DPID.

Saat proses persidangan, Haris mengaku, banyak calo-calo di DPR, termasuk dalam kasus yang dialaminya. Haris bersama-sama terpidana lainnya, Fahd El Fouz, Abram Noah Mambu, Paul Nelwan, dan Wa Ode, agar empat kabupaten, Aceh Besar, Pidie Jaya, Bener Meriah dan Minahasa mendapatkan alokasi DPID tahun 2011 sebesar Rp7,7 triliun.

Anggota DPR yang merangkap calo juga biasanya memanfaatkan kunjungan ke daerah untuk melobi atau menjanjikan kepada kepala daerah atau pejabat pemerintahan daerah terkait proyek negara maupun pencairan anggaran untuk daerahnya. Inisiatif pengajuan proposal juga bisa datang dari pihak di luar DPR seperti pemerintah daerah, kementerian, atau pihak lain yang memiliki kepentingan.

Ada juga oknum anggota DPR yang menjadi calo dalam pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU), khususnya yang menyangkut kepentingan pihak tertentu. Oknum DPR itu bermain dalam urusan jual beli pasal sesuai keinginan pihak-pihak yang berkepentingan. Praktik pencaloan juga menyusup saat uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Di beberapa jabatan yang sangat strategis, oknum DPR bergerak mencari sumber-sumber pemasukan dari para calon.

Misalnya, saat pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang menyeret sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Selaku Deputi Gubernur Senior BI terpilih pada tahun 2004, Miranda Goeltom, diketahui turut serta dalam tindak pidana suap yang dilakukan Nunun Nurbaeti. Nunun terbukti menyuap anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dalam bentuk cek perjalanan senilai Rp24 miliar. Calo juga dilakukan pihak dari luar, yang memiliki hubungan dengan politisi yang memangku jabatan strategis. Misalnya, perselingkuhan antara Ahmad Fathanah dengan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Dalam kasus itu, keduanya melakukan persengkongkolan demi kepentingan pribadi. Fathanah menjadi calo yang menghubungkan swasta dengan Lutfhi, untuk menggarap proyek-proyek di pemerintahan.

Sementara Luthfi memperdagangkan pengaruhnya dengan memanfaatkan kekuasaannya sebagai Presiden PKS untuk menekan politisi yang duduk di pemerintahan agar mengabulkan swasta yang dekat dengannya untuk menggarap proyek pemerintahan.

Persengkongkolan antara politisi, calo, dan pengusaha, merupakan modus korupsi berjamaah. Pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan besar dengan cara menggarap proyek pemerintahan, tentu membutuhkan akses kekuasaan. Salah satu cara membuka akses tersebut adalah menggunakan jasa calo yang dekat dengan politisi. Dengan kekuatan uang, swasta pun bisa menunggangi politisi untuk melakukan intervensi guna merealisasikan kepentingan bisnisnya.

Hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara politisi dengan pengusaha mengakibatkan kewenangannya digunakan untuk melakukan intervensi kebijakan demi kepentingan pengusaha yang menjadi rekan bisnisnya. Hubungan patron klien yang bermotif pemburuan rente (rent seeking) itu pada akhirnya mendistorsi kebijakan-kebijakan publik sehingga menciptakan ketidakadilan, merusak tatanan hukum, ekonomi, dan politik yang demokratis, serta merugikan rakyat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), calo adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah, perantara, dan makelar. Para calo ini menjual jasa sebagai perantara dengan modal fasilitas, koneksitas dan keterampilan komunikasi.

Motif ekonomi menjadi salah satu tujuan utama pada percaloan. Dalam kajian sosial, praktik percaloan semakin marak dan tidak pernah surut lantaran matinya sektor produksi pada tingkat ekonomi berkembang. Ketika pengangguran semakin meningkat dan terbatasnya lapangan kerja, maka berkembanglah para calo yang bekerja di sektor jasa sebagai perantara untuk mencari nafkah.

Percaloan timbul karena faktor ketimpangan ekonomi. Tanpa pekerjaan yang tetap, masyarakat beralih profesi menjadi pekerja musiman dengan menawarkan jasa. Dengan kata lain, calo tidak menjadi pekerjaan tetap, namun dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Terkecuali, calo-calo atau mafia yang memiliki ikatan dengan korporat besar karena penghasilan yang didapatkan nilainya fantastis.

Biasanya, motif mereka tidak hanya ekonomi. Namun, karena faktor keserakahan individu itu sendiri. Mereka yang serakah biasanya memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan upeti dalam jumlah yang sangat besar. Mereka disebut para para pemburu rente. Mereka adalah orang-orang pintar dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, termasuk paham tentang pengetahuan agama, nilai, dan moral.

Memang, rendahnya gaji seorang pegawai bisa menjadi penyebab pegawai itu mencari-cari cara untuk memenuhi kebutuhannya, salah satunya dengan menjadi calo. Namun, menaikan gaji tidak berarti praktik percaloan, korupsi, dan kolusi dapat lenyap. Menaikan gaji hanya jurus konvensional. Suap, pungutan liar, percaloan, korupsi, dan sebagainya, akan tetap merajalela jika tidak disertai konsistensi dalam penegakan hukum, aturan, pengawasan yang ketat, serta perbaikan sistem birokasi yang menutup celah bagi oknum untuk mencari seseran yang tak halal. Kebijakan pemerintah menerapkan remunerasi misalnya. Remunerasi yang dilaksanakan dalam rangka reformasi birokrasi, nyatanya tidak menjamin berkurangnya tindakan penyelewengan yang merugikan keuangan negara.

Inilah yang menurut Edwin Sutherland dalam pidatonya di depan American Sociological Society tahun 1939, yang menyatakan, korupsi dan suap sebagai kejahatan yang dilakukan oleh "orang-orang terhormat” dan memiliki status yang tinggi dalam kaitan dengan jabatannya. Istilah yang populer disebut kejahatan kerah putih (white collar crime). Mereka yang terjebak dalam kubangan suap dan korupsi adalah para elit, orang kuat, orang berpendidikan, pengusaha, pejabat negara, bahkan mereka yang dianggap publik memiliki tingkat pemahaman agama yang baik sehingga mampu membedakan antara dosa dan pahala.

Tesis Sutherland itu mempreteli anggapan jika suap dan korupsi didasari faktor kemiskinan. Jenis korupsi ini biasanya disebut korupsi kecil-kecilan (petty corruption). Sementara politisi dan pejabat melakukan korupsi besar-besaran dengan menyalahgunakan kekuasaannya (corruption of power).

Praktik percaloan kelas teri juga beranak pinak karena masyarakat ingin cara-cara yang serba instan. Mental masyarakat cenderung tidak mau repot ketika mengurusi administrasi atau bercampur baur mengantri berjam-jam untuk mengurus STNK, SIM, tiket kereta hingga tiket menonton konser. Dengan kata lain, praktik percaloan menjadi marak karena lemahnya budaya disiplin, kemandirian, dan kejujuran masyarakat.

Sementara praktik percaloan kelas kakap, selain karena keserakahan individu, percaloan yang dekat dengan laku korupsi, berkembang biak lantaran buruknya sistem di birokrasi. Seperti dijelaskan Girling (1997), korupsi amat terkait masalah sistem. Dengan kata lain, korupsi adalah produk sistem yang bermasalah, yang timpang, baik dalam sistem politik, sistem ekonomi dan pembangunan, lemahnya kontrol terhadap perilaku birokrat, dan sebagainya. Dalam kondisi tertentu, suap, kolusi, dan korupsi di birokrasi dianggap resep, atau menjadi "pelumas” untuk memperlancar kekakuan prosedur birokrasi.

Ratu Selvi Agnesia/M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 497
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1580
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1371
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya