MALAYSIA

Cabaran Rasisme Bukan Melayu di Malaysia

| dilihat 1620

Karim Labai

Ini bukan soal Partai UMNO, PAS, Amanah dan Bersatu yang kini menjadi representasi kaum Melayu dalam dinamika kehidupan politik Malaysia. Ini, pasal ketuanan Melayu dan sikap rasis bukan Melayu.

Belakangan hari, Malaysia terusik oleh isu sikap Dong Zong, persatuan gabungan jawatankuasa Sekolah Cina - Malaysia, yang menolak kebijakan pemberlakuan mata pelajaran tulisan jawi di seluruh sekolah se Malaysia.

Sikap Dong Zong ditularkan oleh sejumlah kalangan dari Partai Aksi Demokratik , melalui beberapa anggota DUN (Dewan Undangan Negeri) atau DPRD di Indonesia yang melecehkan mata pelajaran khat itu. Bahkan dengan tudingan, mata pelajaran itu bagian dari upaya islamisasi sejak dulu.

Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr. Mahathir Mohamad, 12 Agustus lalu, bereaksi di Padang Matsirat - Langkawi, selepas meninjau program kurban di halaman masjid Al Huda.

Terus terang, Tun menyatakan, Dong Zong ini rasis. Ketika Tun menjalankan amanah sebagai Perdana Menteri di masa lalu, Dong Zong tak henti melakukan pembangkangan atas kebijakan pemerintah. Terutama, terkait dengan kebijakan tentang Sekolah Wawasan yang menggabungkan Sekolah Kebangsaan (SK), Sekolah Jenis Kebangsaan Cina (SJKC) dan Sekolah Jenis Kebangsaan Tamil (SJKT).

Dong Zong, kata Tun, tidak pernah menyukai orang Melayu, kerana bimbang anak-anak mereka bercampur. “Dong Zong ini rasis, kita buat Sekolah Wawasan letak SK, SJKC dan SJKT dalam satu kampus mereka tak mahu, takut anak-anak dia konon bercampur dengan orang Melayu," ujar Tun, tegas.

Pendiri Partai Pribumi Bersatu Malaysia (Bersatu) yang merupakan partai terkecil dalam koalisi Pakatan Harapan yang kini memerintah, itu juga menyindir anggota parlemen dari (distrik) Klang, Charles Santiago, yang juga pimpinan DAP.

Santiago melontar tuduhan, Tun sejak menjabat Perdana Menteri Malaysia (9 Mei 2019), banyak mengambil keputusan sendiri, tanpa membincangkan lebih awal dengan PKR (Partai Keadilan Rakyat), Partai Aksi Demokratik (DAP), dan Partai Amanah Nasional (Amanah). Padahal, Tun datang dari partai Bersatu yang kecil.

Tun mengulas sekeping sejarah perjuangan kaum Melayu, sebelum Malaysia merdeka, 31 Agustus 1957. Dikatakannya, sebelum negara mencapai kemerdekaan, pemerintah mendapati penduduk bukan Melayu mengalami kesulitan saat belajar dalam bahasa Jawi sebelum memperkenalkan tulisan roman. Karenanya, pemerintah kala itu mengambil keputusan, penduduk yang bukan Melayu boleh menggunakan tulisan roman untuk memudahkan mereka.

Pemerintah, kata Tun, sudah memberikan pertimbangan khas kepada penduduk bukan Melayu, manakala Melayu masih terus belajar Jawi kerana hendak membaca al-Quran.

Rasisme kaum bukan Melayu, memang tak pernah reda. Mereka mempersoalkan kekhasan bagi kaum Melayu dalam konstitusi. Mereka memasukkan ke dalam minda anak keturunan mereka tentang Malaysia Satu atau Malaysia-Malaysian (bukan Satu Malaysia yang menjadi semboyan Barisan Nasional), walaupun sudah mendapatkan hak dan dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Khasnya dalam konsep politik berbilang kaum.

Sikap rasisme itu terus mengemuka dalam berbagai sikap, termasuk mengabaikan penggunaan Bahasa Melayu, kecuali dalam forum resmi. Untuk komunikasi sehari-hari dengan kaum Melayu, mereka lebih suka menggunakan bahasa Inggris, katimbang Bahasa Melayu.

Belakangan hari, bahkan mereka menganggap, bahwa kaum Melayu merupakan pendatang dari Indonesia. Walaupun faktanya adalah mereka yang didatangkan penjajah Belanda dan Inggris ketika menjajah Semenanjung Melayu. Hanya sedikit saja dari kalangan bukan Melayu yang berjuang melawan penjajah.

Sejak sebelum Malaysia merdeka, kaum bukan Melayu menguasai sektor-sektor ekonomi, sehingga terjadi ketimpangan ekonomi antara kaum Bukan Melayu dengan kaum Melayu. Untuk mengatasi kesenjangan itu, pemerintah memberlakukan Dasar Ekonomi Baru (DEB) yang memungkinkan terjadinya kompetisi wajar antara kaum Melayu dengan bukan Melayu, termasuk di sektor ekonomi. Termasuk mencegah terjadinya kecemburuan sosial antar kaum.

Kecemburuan akan mendorong sensitivitas kaum Melayu yang dapat mengganggu stabilitas negara. Terutama karena kaum non Melayu yang minoritas, sering menampakkan sosoknya yang pongah. Khasnya, setelah Singapura memisahkan diri dari Malaysia. Mereka tak mengambil contoh dari sikap dan pandangan mendiang Lee Kwan Yew yang berusaha mempertahankan keseimbangan peran antara Melayu dan bukan Melayu. Bahkan, Lee Kwan Yew dan Lee Hsien Loong sangat fasih dalam berbahasa Melayu, yang memberi gambaran kesadaran tentang asal-usulnya.

Orang Melayu dan masyarakat adat lainnya adalah mayoritas populasi yang hanya menguasai sekitar tiga persen dari kekayaan negara. Dengan alasan ini juga, kebijakan tentang DEB diperlukan. Peristiwa 13 Mei 1969 yang membakar Kuala Lumpur dan menewaskan begitu banyak korban.

Sesungguhnya, Kaum Melayu sudah memberikan ruang yang adil dan proporsional kepada kaum bukan Melayu sebagai manifestasi dari kesadaran politik berbilang kaum (pluralisme dan multikukturalisme). Hal itu dapat dilihat dari berlangsungnya  perayaan hari-hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri, Idul Adha, Imlek, dan Dipawali dirayakan bersama-sama antara kaum Melayu dan bukan Melayu.

Sejak Pakatan Harapan berkuasa, percikan-percikan rasisme pun mengemuka. Belum pernah terjadi sebelumnya di Malaysia, ada kalangan bukan Melayu mempersoalkan hari-hari besar dan peribadatan Islam.

Tun Mahathir selaku Perdana Menteri Malaysia, nampaknya sadar akan adanya cabaran (tantangan) rasisme dari kaum bukan Melayu. Karenanya, bersamaan dengan berkembangnya pemikiran tentang global nationalism untuk mengganti minda ihwal narrow nationalisme, termasuk ketika belum lama berselang, Tun mengisyaratkan, bahwa Malaysia akan meratifikasi berbagai instrumen ini TBB yang tersisa terkait dengan perlindungan hak asasi manusia. Termasuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD), yang kini kerap disuarakan kalangan bukan Melayu di parlemen.

Rasisme bukan Melayu mengabaikan hakekat keadilan proporsional dan ini yang menjadi bom waktu pertikaian di Malaysia. Konstitusi negara harus diletakkan pada posisi tepat. |

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 431
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1502
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1321
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya