Bukan Pidato Biasa Gubernur Anies Baswedan

| dilihat 3808

USAI serahterima jabatan Gubernur DKI Jakarta dari Sekretaris Daerah Saifullah (karena bekas Gubernur Djarot tidak datang) di Balaikota DKI Jakarta, Senin (16/10), Anies Baswedan (yang beberapa waktu sebelumnya, bersama Sandiaga Uno dilantik Presiden Jokowi)  memang keren.

Saya menyebut pidato lengkap pertama Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta, itu sebagai pidato tangkas. Reaksi pro kontra khalayak seputar penggunaan istilah ‘pribumi’ di masa kolonial yang ilustratif dalam pidato itu, menunjukkan, Anies tak sekadar cerdas. Dia juga bernas dan tangkas menuangkan gagasannya sebagai ekspresi komitmen untuk bagaimana kelak membangun Jakarta.

Kata ‘pribumi’ yang dipergunakan Anies muncul dalam 133.000 cuitan, hingga Selasa (17/10). Ketika petinggi negeri lain menggunakan istilah yang sama dalam pidato dan wawancaranya, tak ada reaksi sebesar itu.

Sejumlah orang di seluruh strata, bereaksi dan mengomentari satu istilah itu. Boleh diduga, ada juga kelompok khalayak yang ‘memanfaatkan’-nya untuk tujuan politik.

Reaksi spontan sebagian terbesar khalayak mengisyaratkan, memang ada persoalan dikotomis yang tajam, akibat kesenjangan yang lebar di negeri ini.

Reaksi itu, tentu menjadi modal penting bagi Anies – Sandi, dan siapapun pemimpin di negeri ini – yang sungguh berpihak kepada rakyat, dalam melakukan proses policy design, yang bermuara kepada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Reaksi itu juga menegaskan – sekaligus memandu – kita memahami, memang ada kalangan yang berencana menghadang kepemimpinan Anies – Sandi sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Dengan menggunakan tradisi akademik yang menyertai kehidupannya sejak kecil, reaksi sebagian terbesar khalayak, itu dapat memudahkan Anies – Sandi melakukan pemetaaan persoalan yang dihadapi Jakarta. Termasuk pemetaan jalan untuk memenuhi janji kampanyenya.

Di sisi lain, reaksi yang muncul akibat pemberitaan beberapa media yang terbingkai (melalui taktik media framing) dan sistemik (antara lain, karena pemiliknya memang tak mendukung Anies – Sandi), memberi daya yang kuat. Khasnya, untuk mengaktualisasi keyakinan membuka satu lembar baru perjalanan panjang Jakarta.

Dalam konteks itu, maka bagian pidato Anies : “Warga Jakarta telah bersuara dan terpaut dengan satu rasa yang sama: Keadilan bagi semua,” menjadi penting.

Hal itu relevan dengan pernyataan berikutnya: “Hari ini sebuah amanat besar telah diletakkan di pundak kami berdua. Sebuah amanat yang harus dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Hari ini adalah penanda awal perjuangan dalam menghadirkan kebaikan dan keadilan yang diharapkan seluruh Rakyat Jakarta, yaitu kemajuan ibukota tercinta dan kebahagiaan seluruh warganya.”

Reaksi atas pidato pertamanya itu, juga akan memperkuat diksi : “Hari ini, saya dan bang Sandi, dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur bukan bagi para pemilih kami saja, tapi bagi seluruh warga Jakarta. Kini saatnya bergandengan sebagai sesama saudara dalam satu rumah untuk memajukan kota Jakarta.”

Apalagi diksi itu diucapkan Anies secara aksentuatif.

Dalam konteks itu, pepatah Batak yang dikutip Anies, menjadi sangat relevan : “Holong manjalak holong, holong manjalak domu,” demikian sebuah pepatah Batak mengungkapkan. Kasih sayang akan mencari kasih sayang, kasih sayang akan menciptakan persatuan.
Ikatan yang sempat tercerai, mari kita ikat kembali. Energi yang sempat terbelah, mari kita satukan kembali.

Dalam konteks perjuangan mewujudkan “Keadilan untuk Semua,” sinergi menjadi penting, soliditas menjadi sangat bermakna. Terkait dengan itu, solidaritas seluruh lapisan warga DKI Jakarta dan kalangan, terutama penyelenggara negara menjadi keperluan kolektif.

Keadilan proporsional akan mendorong kondisi: berlomba-lomba dalam kebajikan. Dan yang terpenting adalah memahami hakekat demokrasi sebagai cara mencapai harmoni. Bukan semata-mata untuk merebut kekuasaan.

Anies piawai menggunakan retorikas model Cicero dan mengemasnya dengan bahasa yang bermakna dalam, sekaligus multi-dimensi.

Itu yang saya tangkap dan serap, ketika menyimak bagian pidatonya, yang seperti ini :

Jakarta adalah tempat yang dipenuhi oleh sejarah. Setiap titik Jakarta menyimpan lapisan kisah sejarah yang dilalui selama ribuan tahun.

Jakarta tidak dibangun baru- baru saja dari lahan hampa. Sejak era Sunda Kalapa, Jayakarta, Batavia hingga kini.

Jakarta adalah kisah pergerakan peradaban manusia. Jakarta sebagai melting pot telah menjadi tradisi sejak lama. Di sini tempat berkumpulnya manusia dari penjuru Nusantara, dan penjuru dunia. Jakarta tumbuh dan hidup dari interaksi antar manusia.

Dalam sejarah panjang Jakarta, banyak kemajuan diraih dan pemimpin pun datang silih berganti. Masing-masing meletakkan legasinya, membuat kebaikan dan perubahan demi kota dan warganya.

Untuk itu kami sampaikan apresiasi dan rasa terima kasih kepada para Gubernur dan Wakil Gubernur sebelumnya, yang turut membentuk dan mewarnai wujud kota hingga saat ini.

Jakarta juga memiliki makna pentingnya dalam kehidupan berbangsa. Di kota ini, tekad satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa persatuan ditegakkan oleh para pemuda. Di kota ini pula bendera pusaka dikibartinggikan. Tekad menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat diproklamirkan ke seluruh dunia.

Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari, selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri.

Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura, “Itik se atellor, ajam se ngeremme.” Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain.

Kini kami datang untuk melanjutkan segala dasar kebaikan yang telah diletakkan para pemimpin sebelumnya. Sembari memperjuangkan keberpihakan yang tegas kepada mereka yang selama ini terlewat dalam merasakan keadilan sosial, membantu mengangkat mereka yang terhambat dalam perjuangan mengangkat diri sendiri, serta membela mereka yang terugikan dan tak mampu membela diri.

Jakarta adalah ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka selayaknya ia menjadi cermin dan etalase dari semangat NKRI, semangat Pancasila, dan semangat tegaknya konstitusi. Di kota ini lah Pancasila harus mengejawantah, setiap silanya harus mewujud menjadi kenyataan.

Yang menarik dari Pidato Anies keseluruhan adalah kecerdasannya menangkap persoalan asasi dari realitas pertama kehidupan sosial, dan menghadirkan pilihan jalan kebijakan yang bakal ditempuhnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, bersama wakilnya, Sandiaga Uno.

Pidato itu jernih. Gagasannya jelas. Artikulasinya pas. Termasuk, ketika Anies mengulang ucap pernyataan Bung Karno, seperti ini :

Bung Karno dahulu berucap, “Kita hendak membangun satu negara untuk semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tapi semua untuk semua.” Maka segala pengambilan kebijakan di kota ini haruslah didasarkan pada kepentingan publik luas. Pengelolaan tanah, air, teluk dan pulau, tidaklah boleh diletakkan atas dasar kepentingan suatu individu, kepentingan suatu golongan, kepentingan suatu perhimpunan, ataupun kepentingan suatu korporasi. Semua untuk semua, Jakarta untuk semua. Inilah semangat pembangunan yang akan kita letakkan untuk Jakarta.

Pidato Anies memang tidak biasa. Berbeda dari pidato kebanyakan petinggi negeri yang penuh eufemisme. Pidato demikian hanya lahir dari kecerdasan dan ketangkasan pemimpin yang juga tidak biasa.| Bang Sem

Editor : sem haesy | Sumber : Antara Foto dan Humas Setkab
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 238
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 408
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 256
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 522
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1612
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1393
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya