Bila Golkar Merapat ke Istana

| dilihat 2383

AKARPADINEWS.COM | KEKUASAAN Partai Golkar kini berada dalam kendali Setya Novanto. Mayoritas peserta Musyawarah Luar Biasa Nasional (Munaslub) yang digelar di Nusa Dua, Bali, 14-17 Mei 2016, mengukuhkan Setnov, sapaan Setya Novanto, sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar periode 2016-2019.

Setnov menyingkirkan tujuh kandidat lainnya antara lain: Airlangga Hartarto, Aziz Syamsuddin, Ade Komarudin, Indra Bambang Utoyo, Mahyudin, Priyo Budi Santoso, dan Syahrul Yasin Limpo. Terpilihnya Setnov, menempatkan kembali politisi yang merangkap pengusaha sebagai "orang pilihan" dalam mengendalikan Golkar. Kader Golkar tak begitu tertarik memilih nakhoda yang berlatarbelakang aktivis.

Muncul pertanyaan, apakah Setnov mampu mengendalikan dan mengembalikan kejayaan partai yang paling senior di antara partai-partai lainnya di Indonesia? Apakah di bawah kepemimpinan Setnov, Golkar mampu mempertahankan kejayaannya atau justru makin sempoyongan lantaran masalah yang menerpanya?

Harus diakui, partai berlambang beringin tersebut dalam kondisi rapuh, nyaris roboh lantaran dihantam konflik internal. Elit Golkar lebih sibuk memikirkan konfliknya daripada mengurusi kepentingan kader dan konstituennya. Akibatnya, dukungan kepada Golkar anjlok. Indikasinya, di ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada), jago-jago Golkar pada berguguran.  

Novanto tentu memahami tantangan yang dihadapinya tidak mudah. Dia harus kerja keras menata masalah. Novanto pun berharap dukungan dan bantuan dari semua kader. "Kini saatnya menyatukan seluruh kekuatan demi kemenangan Partai Golkar," ucap Novanto di Nusa Dua, Bali, Selasa (17/5).

Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla yang juga kader Golkar berharap, kepemimpinan Novanto dapat mewujudkan stabilitas politik dan bersama-sama membangun bangsa. "Golkar tentu kita harapkan dapat menjadi bagian dari upaya itu," kata Wapres usai menghadiri Apel Bela Negara di Bojonegoro, Jawa Timur, Selasa (17/5).

Sementara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo berharap, Golkar dapat menjadikan proses politik yang memperkuat lembaga-lembaga kepartaian. "Pemerintah sangat menghargai kedaulatan politik setiap partai politik, termasuk kedaulatan Partai Golkar," ujar Tjahjo.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menambahkan, pemerintah mengajak seluruh pihak, khususnya Golkar, untuk bersama-sama memaksimalkan fungsi partai politik bagi negara dan rakyat, melalui rekrutmen dan pendidikan politik.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, Sabtu (14/5), berharap, Golkar bekerjasama meningkatkan kesejahteraan bangsa. "Pemerintah harus bersama-sama dengan seluruh komponen, kelompok strategis, khususnya partai politik seperti Golkar dan partai lainnya," kata Presiden.

Golkar akhirnya mengubah arah politiknya, dari kubu penyeimbang menjadi kubu pendukung pemerintah. "Golkar akan bekerjasama dengan pemerintah. Kami akan mendukung program pemerintah," kata Novanto. Keputusan Golkar meninggalkan Koalisi Merah Putih (KMP), menjadikan kekuatan kubu penyeimbang tidak lagi bertaji. Begitulah politik. Dulu lawan, sekarang menjadi kawan.

Dukungan Golkar memang sangat penting, apalagi terkait dengan kepentingan pemerintah saat berhadapan dengan parlemen. Sebagai partai pemenang kedua Pemilu Legislatif 2014 lalu, Golkar memiliki posisi tawar yang sangat kuat, yang dapat mempengarui kelancaran implementasi kebijakan dan program-program pemerintah.

Selain karena membutuhkan dukungan politik, pemerintah juga seakan ingin "menghapus dosa" lantaran dituding mengebiri Golkar. Sulit dibantah jika pemerintah tidak memanfaatkan konflik di internal Golkar lewat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang berwenang menerbitkan surat keputusan kepengurusan partai.

Akibatnya, elit Golkar alpa memperkuat konsolidasi internal sehingga gagal merebut kemenangan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015 lalu. Elit Golkar kehabisan energi lantaran terjebak dalam pusaran konflik berkepanjangan.

Tawaran Kerjasama

Soal tawaran kerjasama itu, tentu bagi Golkar yang tidak terbiasa berada di luar pemerintahan, sulit untuk mengabaikannya. Karena, bagi partai politik, menduduki kadernya di kursi kabinet dan turut menyukseskan program-program pemerintahan, akan mempengarui tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai. Dan, sudah menjadi tradisi politik di negara ini, jika kementerian menjadi incaran partai politik karena dapat menjadi instrumen bagi penggalangan investasi politik lewat program-program yang direalisasikan.

Namun, sejauh ini, Presiden belum menyebut apakah akan ada jatah kursi menteri buat kader Golkar atau tidak. Menurut Wapres, belum dibicarakan bersama Presiden soal adanya jatah kursi bagi kader Golkar. "Tidak ada membicarakan itu. Tentu, siapa saja punya peluang," katanya.

Sementara di sisi lain, Golkar seakan sudah merasa kebelet untuk bergabung di pemerintahan. Sampai-sampai, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Golkar, Idrus Marham melontarkan pernyataan yang rada bersayap.

Bunyinya, Munaslub merekomendasikan kepada Ketua Umum untuk berkomunikasi secara intensif dan dan produktif kepada Presiden Jokowi dalam rangka mempersiapkan dan mengantisipasi pelaksanaan Pemilu 2019. Pernyataan itu seakan menunjukan Golkar akan mendukung Jokowi sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden 2019.

Soal jatah kursi bagi Golkar, Presiden tentu memperhitungkan secara hati-hati karena bisa menciptakan kecemburuan di kabinet. Pimpinan partai, tentu tidak akan rela jatah kursi menterinya dipangkas untuk kepentingan Golkar. Mungkin, baru Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang lewat pernyataannya rela jika kadernya diganti oleh kader Golkar. Dan, bukan tidak mustahil, akan memicu gesekan di internal kabinet.

Kalau pun akan memasukan Golkar di pemerintahan, opsi yang paling aman bagi Presiden adalah memberikan jatah kursi yang diduduki para profesional--meski bakal memicu respons negatif dari publik yang rada alergi dengan politisi yang menjadi menteri.

Masuknya Golkar ke pemerintahan, memang rada membuat pentolan parpol ketar-ketir. Karena, tidak mustahil jatah kursi yang diduduki kadernya, beralih ke Golkar. Dan, hal itu tentu menyakitkan.  Apalagi, Golkar tidak berkeringat memenangkan Jokowi-JK saat Pemilihan Presiden 2014 lalu. Saat Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin Zulkifli Hasan merapat ke pemerintah, partai pendukung pemerintah rada ketar-ketir.

Polemik mengemuka tatkala politisi PAN Aziz Subekti menggelontorkan kabar jika partainya mendapatkan jatah dua kursi menteri. Aziz menyebut dua kader partainya: Taufik Kurniawan dan Asman Ubnur bakal jadi menteri. Aziz mengklaim, kabar itu didapat dari kalangan Istana.

Lantaran pernyataan itu dianggap mendikte Istana, Aziz pun tak lagi bersuara soal kepastian kabar itu. Sampai-sampai, Zulkifli yang kini menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menegaskan, urusan pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan hak prerogatif Presiden.

Secara lisan, politisi selalu berucap, menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden untuk mengonta-ganti menteri. Seakan-akan mereka menghormati hak prerogatif presiden.

Namun, mereka tentu ingin kadernya menjadi menteri dan tidak ingin kadernya terpental dari kabinet. Karenanya, jurus puja-puji kepada presiden pun selalu diperlihatkan. Namun, politik adalah kepentingan. Bagi politisi, hak prerogatif presiden bukan kitab suci yang tak bisa diutak-atik.

Caranya, melakoni manuver agar mendapat respons Presiden. Mereka yang kecewa lantaran jatah kekuasaannya dipangkas, biasanya mengubah lakonnya, dari lakon pemuja, menjadi rada oposan yang kelihatannya gagah mengkritisi pemerintah.

Karenanya, Jokowi pun berhitung jika ingin mengutak-atik kursi menteri. Presiden harus mempertahankan mayoritas dukungan partai politik agar dapat mengamankan kepentingan pemerintah saat berhadapan dengan parlemen, khususnya terkait kebijakan-kebijakan strategis pemerintah.

Namun, dukungan politik mayoritas di parlemen, tidak serta merta bisa meredam manuver politik partai pendukungnya. Sulit dijamin, mitra koalisi akan selalu konsisten mendukung kebijakan pemerintah, apalagi kebijakan itu dianggap tidak populis dibenak rakyat.

Meski sebenarnya, tanpa dukungan mayoritas parlemen pun, Presiden tetap bisa menjalankan kebijakan yang dibentuknya. Namun, rada kesulitan menghadapi tekanan politik jika kepentingan partai politik tidak diakomodasi. Apalagi, Jokowi, bukan pemimpin partai politik, yang bisa mengendalikan mesin partai politik agar selalu tunduk padanya. Inilah dilema Jokowi.

Presiden juga harus mencermati konflik kepentingan di kabinet yang bisa kian nyata lantaran perbedaan kepentingan politik yang diusung masing-masing parpol. Tarik menarik kepentingan dapat memaksa Presiden untuk menghitung konsekwensi politik tatkala akan mengutak-atik jajaran menteri partai politik.

Dan, pengalaman menunjukan, lantaran menteri berbeda partai, seringkali melancarkan manuver yang saling menjatuhkan. Misalnya, kemarahan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atas manuver Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi, Yuddy Crisnandy yang diusung Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), yang merilis akuntabilitas kinerja kementerian.

Politisi PKB berang lantaran dalam rilis kementerian yang dipimpin Yuddy menyebut tiga kementerian yang dipimpin kader PKB mendapat skor rendah, di antaranya Kementerian Pemuda dan Olah Raga (53,54), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (53,98), dan Kementerian Tenaga Kerja (57,79).

Para pentolan PKB juga rada sewot dengan menuver yang dilakukan politisi PDIP yang dianggap berupaya menekan Presiden agar mendepak kader PKB, Marwan Djafar dari kursi Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Kementerian yang dipimpin Marwan memang sangat strategis secara politik, khususnya dalam menggalang dukungan politik masyarakat desa. Anggaran kementerian itu pun sangat besar. Kementerian Desa diamanatkan untuk mendistribusikan dan mengelola dana desa sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 2016 tentang Desa. Dengan kewenangan itu, maka memudahkan partai politik untuk memobilisasi dukungan masyarakat desa.

Politisi PKB menduga pihak yang mengincar jabatan Menteri Desa menunggangi isu politisasi pendamping desa yang tengah menghantam Kementerian Desa. Polemik itu mengemuka ketika Forum Pendamping Profesional Desa melayangkan surat kepada Presiden beberapa waktu lalu lantaran ada ketidakberesan dalam proses rekrutmen tenaga pendamping desa. Tak hanya itu, aksi pun digelar di depan Istana Presiden, Jakarta. Demonstrasi yang dimobilisasi Aliansi Pendamping Profesional Desa itu mengecam upaya politisasi pendamping desa.

Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding memperingatkan para pihak yang mengincar kursi Menteri Desa agar tidak mengintervensi Presiden dengan menunggangi isu politisasi pendamping desa.

Dalam urusan mendapatkan kursi, Golkar jagonya. Meski jagoan yang diusungnya kalah di Pilpres 2004 lalu, Golkar tetap bisa memasukan kadernya di pemerintahan. Golkar yang mendukung calon Presiden Wiranto dan calon Wakil Presiden Sollahuddin Wahid kala itu kalah dengan pasangan SBY-JK. Namun, dua kadernya duduk di pemerintahan yakni Aburizal Bakrie dan Fahmi Idris yang menduduki jabatan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Namun, Golkar pernah merasa kurang puas mendapatkan porsi kekuasaan untuk kadernya. SBY tentu sadar jika manuver Golkar yang merupakan partai pemenangan Pemilu Legislatif 2004 tersebut dapat menghambat kinerja pemerintahan. Saat isu perombakan kabinet begitu kencang berhembus pada Novemver 2005, Golkar juga berhasil mengamankan Aburizal dari tekanan pemecatan.

Tim ekonomi KIB yang dikomandoi Aburizal dituding gagal menjaga stabilitas ekonomi. Kekecewaan rakyat memuncak setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang rata-rata 126 persen, bahkan minyak tanah naik 185,5 persen dari Rp700 per liter menjadi Rp2 ribu per liter, Oktober 2005 lalu. Kebijakan itu membuat rakyat miskin menjerit. Angka kemiskinan melonjak, rata-rata mencapai 118 persen. Jumlah rakyat miskin mencapai 4,2 juta orang pada 2006 atau naik menjadi 39,3 juta jiwa (17,75 persen) dibandingkan tahun sebelumnya.

Untuk mengamankan pemerintahan, SBY mendorong Jusuf Kalla merebut kekuasaan Partai Golkar dari Akbar Tanjung. Namun, meski Kalla kemudian berhasil memegang kendali Golkar, nyatanya tekanan Golkar makin menguat. Jusuf Kalla sendiri dihadapi beban moral ketika menghadapi desakan elit Golkar agar dirinya mempengarui keputusan SBY sehingga mengakomodir kepentingan kader Golkar.

Manuver Golkar pun menuai sukses. Ical selamat dari reshuffle. Dia hanya dirotasi menjadi menteri koordinator Kesejahteraan Rakyat. Sementara Wakil Bendahara Golkar Paskah Suzetta ditempatkan di Kementerian Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menggantikan Sri Mulyani. Sebelumnya, Paskah menjabat sebagai Ketua Komisi XI DPR bidang Anggaran. Golkar di bawah kendali Jusuf Kalla juga berhasil menjadikan Andi Mattalatta sebagai Menteri Hukum dan HAM menggantikan Hamid Awaludin.

Golkar juga berupaya menghalau beberapa kebijakan yang diterbitkan Presiden.  Misalnya, Golkar pernah menolak keras terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2006 tentang Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Kebijakan dan Reformasi (UKP3KR) yang diketuai mantan Sekretaris Kabinet di era Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), Marsilam Simanjuntak.

Padahal, UKP3KR dibentuk untuk mendorong realisasi program pemerintah. Dua tahun perjalanan pemerintahan, SBY-JK, beserta kabinetnya menyadari banyak kendala yang menghadang, baik di internal maupun eksternal sehingga sejumlah program belum maksimal direalisasikan. 

Karenanya, UKP3KR dibentuk untuk membantu Presiden dalam memantau, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan yang dilakukan menteri. Namun, Golkar paling resisten terhadap Marsilam. Pasalnya, mantan Jaksa Agung itu pernah memprakarsai pembubaran Golkar di era Gus Dur.

Lalu, di ajang Pilpres 2009, meski Jusuf Kalla dan Wiranto yang menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diudung Golkar kalah dari pasangan SBY dan Boediono, namun Golkar tetap bisa memasukan kadernya di pemerintah. Mereka antara lain: Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat. Karenanya, bukan tidak mustahil, Golkar kembali melakoni manuver serupa karena merasa memiliki bargaining position yang kuat di hadapan Presiden Jokowi. 

Koalisi atau yang oleh Presiden Jokowi disebut "kerjasama", tentu diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemerintahan. Namun, kerjasama akan rapuh jika tidak disertai dengan kesamaan komitmen maupun visi dan misi dari masing-masing partai pendukung pemerintah untuk menyukseskan program pemerintahan. Dan, itu sudah sering nampak di hadapan publik. Antar menteri saling serang lewat pernyataannya yang disampaikan via media.

Kerjasama politik sulit terbangun jika orientasinya kekuasaan. Kerjasama dapat berubah menjadi pembelotan menteri terhadap instruksi presiden. Dan, menteri lebih takut menghadapi tekanan pimpinan partainya, daripada mematuhi instruksi presiden.

Fragmentasi kepentingan di pemerintahan itu yang mempersulit terbangunnya kolektivitas antarkementerian atau lembaga dalam merealisasikan program besar pemerintah.

Dukungan mayoritas parlemen juga dikhawatirkan menghambat fungsi checks and balances yang dilakukan parlemen terhadap pemerintah. Kritik parlemen makin tumpul sehingga proses demokrasi tidak berjalan dengan baik.

Integritas Diragukan

Nama Setya Novanto sudah sering disebut-sebut terkait kasus korupsi. Novanto lengser dari jabatan Ketua DPR lantaran dugaan pencatutan nama Presiden Jokowi dalam kasus "Papa Minta Saham" PT Freeport Indonesia. Presiden Jokowi marah lantaran Novanto mencatut namanya saat membahas perpanjangan perusahaan tambang emas milik Amerika Serikat itu. Kasus itu juga menyeret pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.

Pembicaraan ketiganya sempat menyinggung nama Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Atas tuduhan pencatutan nama Presiden itu, Setya Novanto membantah.

Novanto juga pernah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap pembahasan perubahan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Dana Pengikatan Tahun Jamak untuk pembangunan venue PON XVIII di Riau.

Novanto mengaku sekadar mengklarifikasi dugaan suap tersebut. Dia membantah terkait kasus itu. Novanto pernah dimintai keterangan untuk Lukman Abbas, mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau yang juga menjabat staf ahli Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang kini dijebloskan ke penjara.

Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin juga pernah menyebut Setya Novanto terkait dugaan kasus korupsi E-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Di tahun 1998, Novanto juga disebut-sebut terkait dalam kasus cassie Bank Bali yang merugikan negara lebih dari Rp500 miliar. Di tahun 2006, Novanto juga pernah diperiksa lantaran diduga terlibat penyelundupan impor beras 60 ribu ton dari Vietnam

Dalam kasus Freeport, mantan komisioner KPK Busyro Muqqodas menilai, Setya Novanto bisa dikenakan pidana korupsi jika ada unsur menjanjikan, lalu membisniskan pengaruh (trading influence).

Trading in influence dilakukan orang yang berpengaruh dan punya hubungan dekat dengan pejabat. Novanto bisa dinyatakan melakukan trading in influence bila terbukti memanfaatkan atau dimanfaatkan pihak lain untuk mempengaruhi pejabat agar kebijakannya menguntungkan pihak yang menjadi kliennya.

Memperdagangkan pengaruh dapat juga dipahami sebagai upaya seseorang dalam memenuhi kepentingannya atau melakukan upaya berdasarkan permintaan orang lain dan yang bersangkutan menerima keuntungan atau menerima tawaran dari pihak lain yang diuntungkan sebagai balas budi karena telah mempengaruhi suatu berdasarkan kewenangannya. Praktik penyalahgunaan kewenangan itu mendistorsi kegiatan bisnis, sekaligus merusak reputasi perusahaan atau individu yang melakukan cara-cara tidak sehat dalam mengembangkan bisnisnya.

Dalam praktiknya, memperdagangkan pengaruh, melibatkan broker atau prantara, bersifat trilateral, di mana melibatkan seseorang yang memiliki pengaruh (politisi, menteri atau pejabat publik) dan pihak yang menggunakan uang untuk mempengarui kewenangan agar mendapatkan keuntungan dari proyek.

Setnov yang kini menjadi Ketua Umum Partai Golkar harus diawasi. Dia memiliki rekam jejak yang terkesan negatif di mata publik. Jangan sampai, posisinya sebagai bos partai, diarahkan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya saja. Jangan sampai Golkar sebagai partai besar, sekadar dimanfaatkannya untuk mendongkrak posisi tawar di hadapan para pihak yang berkepentingan. Apalagi, Setya Novanto, politisi yang nyambi sebagai pengusaha, sangat rawan menyalahgunakan kekuasaannya.

Dirinya bisa saja mengamankan dan meningkatkan keuntungan bisnisnya dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya. Di negara ini, memang belum ada aturan yang mengatur bisnis yang dikendalikan politisi maupun pejabat dalam menggarap proyek-proyek yang didanai negara.

Apalagi, politisi itu sadar jika penghasilannya sebagai anggota DPR atau pejabat pemerintahan, lebih kecil dibandingkan dari usaha bisnisnya. Namun, secara etis, politisi atau pejabat yang memiliki bisnis, baiknya mundur dari jabatannya. Pengusaha yang merambah ke politik juga harus meninggalkan aktivitas bisnisnya.

Pejabat atau politisi yang baik, tentu akan lebih mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan keluarga dan bisnisnya. Tapi, rada sulit berharap politisi menjadikan politik sebagai ladang pengabdian, bukan profesi mencari uang. Apalagi, ketergantungan partai politik terhadap uang masih sangat besar. Dalam kondisi demikian, peran partai politik dikerdilkan. Sebatas alat posisi tawar.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : ANTARA
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 420
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 993
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 228
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 706
Momentum Cinta
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 196
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 373
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 219
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya