Berharap Tuah Selebritas

| dilihat 3214

LIRIKNYA sederhana. Pesannya pun bermakna. Aransemen musik yang mengiringi lagu berlogat Jawa Timur bercampur Indonesia itu juga terdengar nyaman di telinga. Judulnya: Kabeh Sedulur, Kabeh Makmur.

Begini liriknya:

Kabeh sedulur, sak Jawa Timur. Kabeh sedulur, kabeh makmur. Iki jaman milenial, dudu kolonial. Kabeh wis digital, sing meleng bakal tertinggal. Adu domba dilawan dengan adu karya. Walau gak sama, kita maju sama-sama.

Kabeh sedulur, sak Jawa Timur. Kabeh sedulur, kabeh makmur.

Tanah kita subur, siapa saja bisa makmur. Asal rakyat makmur, pemimpine podo jujur. Ayo sedulur maju terus pantang kendur. Marang Gusti Allah, berdoa dan bersyukur.

Kabeh sedulur, sak Jawa Timur. Kabeh sedulur, kabeh makmur (tiga kali).

Lagu yang dilantunkan penyanyi dangdut Via Vallen itu, menjadi lagu sederhana (jingle) kampanye pasangan Syaifullah Yusuf-Puti Soekarno di pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jawa Timur.

Meski begitu, liriknya tidak begitu dominan pesan politiknya. Pesannya lebih menyerukan masyarakat Jawa Timur untuk menjaga persaudaraan. Menurut Via Vallen, lagu yang dilantunkannya itu pesannya netral. Dia menyukai liriknya karena menyerukan kebersamaan untuk kemajuan bersama.

"Maknanya, meskipun kita berbeda-beda, tetapi semuanya seduluran (bersaudara). Kita bisa maju bersama," kata perempuan kelahiran Surabaya, 1 Oktober 1991, yang namanya melambung lewat lagu berjudul Sayang itu.

Via Vallen bersama penyanyi dangdut lainnya, Nella Kharisma, dikontrak Syaifullah Yusuf, untuk meramainkan kampanye. Tentu, tak sekadar itu. Syaifullah Yusuf, yang karib disapa Gus Ipul berharap, keterlibatan dua penyanyi dangdut itu, dapat mendompleng elektabilitasnya. Via Vallen dan Nella Kharisma yang punya banyak penggemar, diharap dapat menjadi pendulang suara (vote getter).

Via Vallen dan Nella Kharisma memang tengah meroket saat ini. Itu karena lagunya disukai pencinta musik dangdut. Di Youtube, lagu Sayang, dinikmati penikmat musik dangdut hingga mencapai lebih dari 127 juta views. Demikian pula lagu Jaran Goyang yang dipopulerkan Nella Kharisma. Sebanyak lebih dari 132 juta views yang menikmati lagu itu.

Rival politik Gus Ipul, Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Emil Dardak, tak mau kalah. Pasangan itu juga akan merilis jingle dan mengerahkan sejumlah selebritas untuk meramaikan kampanyenya.

Jingle kampanye Khofifah-Emil tengah diracik musisi yang juga merangkap anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) asal Jember, Jawa Timur, Anang Hermansyah. "Saya sebagai kader PAN, harus turut menyukseskannya," katanya usai bertemu Khofifah di Posko Relawan 889, Surabaya, Jawa Timur, Minggu, 28 Januari lalu.

Suami Ashanti itu juga menegaskan, pembuatan jingle untuk pemenangan pasangan Khofifah-Emil, tidak dibayar. "Saya tidak minta bayaran sepeser pun dalam pembuatan lagu ini," katanya. Dia memastikan, sebelum masa kampanye tanggal 15 Februari, jingle tersebut sudah selesai direkam. Anang juga ingin Khofifah dan Emil ikut menyanyikan jingle itu. "Mas Emil ini penyanyi, suaranya bagus. Andai tidak jadi politisi, sudah saya ajak rekaman dari dulu," katanya berkelakar.

Pasha, vokalis grup musik Ungu yang tengah menjabat sebagai Wakil Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah juga bakal menghentak panggung kampanye Khofifah-Emil. Selebritas yang nyambi sebagai anggota DPR seperti Eko Patrio (PAN) dan Vena Melinda (politisi Partai Demokrat) juga akan meramaikan kampanye pasangan itu.

"Kami siapkan selebriti atau publik figur yang menjadi kader partai politik untuk diturunkan membantu di Pilkada Jawa Timur," ujar Sekretaris Tim Kampanye Khofifah-Emil Dardak, Renville Antonio kepada wartawan di Surabaya, Jawa Timur, Jum'at lalu.

Keterlibatan sejumlah selebritas menjadi fenomena biasa di setiap musim suksesi. Para politisi sengaja menggunakan jasa selebritas, untuk mencuri perhatian khalayak agar meramaikan kampanyenya. Jingle yang nantinya dipromosikan juga diharapkan dapat menjadi medium komunikasi politik yang menghubungkan pesan para kandidat kepada masyarakat sebagai calon pemilih.

Tak bisa dipungkiri, popularitas selebritas mampu menjadi magnet yang menyedot banyak massa untuk meramaikan kampanye. Para politisi pun menyakini, popularitas para selebritas dapat menjadi tuah untuk mendongkrak elektabilitasnya.

Karenanya, sebelum Pilkada dimulai, beberapa politisi yang namanya disebut-sebut bakal menjadi kandidat, telah mengerahkan selebritas untuk mempromosikan diri. Pasangan Arinal Djunaidi-Chusnunia Chalim (Nunik), calon gubernur dan calon wakil gubernur Propinsi Lampung misalnya. Mendatangkan artis dangdut yang juga bintang sinetron, Dewi Perssik, untuk meramaikan sosialisasi pencalonannya.

Kedatangan sang bintang yang akrab disapa Depe itu, terbukti mampu menyedot ribuan massa untuk mengikuti kegiatan jalan sehat di Pesisir Barat, 24 Desember 2017 lalu. Kegiatan itu dimanfaatkan Arinal-Nunik untuk meminta restu dari masyarakat terkait pencalonannya.

Sebelumnya, 17 Desember 2017, Arinal juga mengajak Dewi Perssik, menyambangi warga Talang Padang, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Dewi Perssik dan Tata Agatha, didatangkan untuk meramaikan kegiatan jalan sehat.

Bagi sebagian masyarakat, apalagi mereka yang menjadi penggemar fanatis, kehadiran selebritas sangat dinantikan. Mereka akan antusias mengikuti keriuhan kegiatan massal yang disponsori kandidat karena ingin melihat langsung suguhan idolanya. Selama ini, mereka hanya bisa menyaksikan pujaannya di layar kaca.

Selebritas laksana magnet yang penampilan dan gayanya di ruang-ruang publik, cenderung diikuti penggemarnya. Pesona yang melekat dalam setiap penampilannya, menjadikan mereka kerap menjadi perhatian dan rujukan khalayak. Daya magnet itu yang dimanfaatkan politisi untuk mempermudah penetrasi.

Sebagai pendukung (endorser), apalagi dibayar, selebritas dituntut mampu mempengarui pilihan politik penggemarnya. Mereka tidak hanya menjadi penghibur yang piawai memperlihatkan atraksinya di atas panggung.

Namun juga berperan sebagai juru kampanye yang cakap mengkomunikasikan pesan-pesan politik yang dapat mendongkrak elektabilitas kandidat. Mereka dituntut mampu mempromosikan kelebihan sang kandidat, baik dari sisi kompetensi, rekam jejak, integritas, dan sebagainya.

Permasalahannya, apakah selebritas yang dikerahkan memahami peran tersebut? Atau tugas mereka hanya penghibur? Sebagai aktor yang terlibat dalam kampanye, selebritas juga bertanggungjawab untuk melakukan sosialisasi, termasuk pendidikan politik kepada masyarakat.

Dan, akan merugikan kandidat jika keterlibatan selebritas sebatas sebagai penghibur. Bisa-bisa, kehadiran massa yang memadati kampanye, karena ingin menyimak suguhan idolanya di atas panggung, bukan menyimak pesan-pesan politik sang kandidat. Sementara bagi Selebritas, kehadiran mereka di atas panggung kampanye justru akan mengukuhkan popularitasnya di masyarakat. 

Daya ungkit selebritas juga sulit jika kandidat yang dipromosikannya, memiliki rekam jejak yang kurang baik. Rekam jejak yang baik, kompetensi, integritas kandidat merupakan modal yang tak kalah penting dibandingkan popularitas. Karena, pilihan politik masyarakat sangat dipengarui loyalitas kepada kandidat. Loyalitas itu akan terbentuk jika kandidat terbukti mampu merealisasikan janji-janjinya saat diberikan kepercayaan menjadi pemimpin.

Keterlibatan selebritas juga sulit mempengarui perilaku pemilih ideologis dan rasional. Pemilih ideologis cenderung memilih calon pemimpin atau partai politik yang memiliki ideologi yang sama dengannya. Pun halnya pemilih rasional, yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan rasionalitas. Pemilih rasional menentukan pilihan politik atas dasar program yang ditawarkan, isu yang berkembang, dan orientasi kandidat. Mereka bukan objek yang tidak memiliki kapasitas dalam menentukan pilihan. Namun, mereka merupakan subyek yang bebas menentukan pilihan politik sesuai referensi yang dimilikinya. 

Namun, sebagian politisi menyakini, fanatisme para penggemar, menjadi celah untuk melakukan penetrasi agar dapat mengarahkan pilihan politiknya dengan cara memanfaatkan selebritas. Karena, ada kecenderungan, seseorang yang belum menentukan pilihan politik karena kurangnya informasi, kemungkinan menentukan pilihan politik berdasarkan seruan idolanya, termasuk dari kelompok-kelompok kepentingan, maupun iklan politik dan pemberitaan media.

Karena itu pula selebritas yang bermodal popularitas, sangat diuntungkan jika merambah ke dunia politik. Mereka memanfaatkan popularitas untuk mendompleng elektabilitasnya. Dan, itu berhasil. Tak sedikit selebritas yang “banting setir” menjadi politisi, sukses menduduki jabatan politik.

Sebut saja Dede Yusuf Macan Effendi dan Rano Karno. Dede Yusuf yang dikenal sebagai aktor laga dan bintang iklan Bodrek, pernah menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat (2008-2013). Kini, Dede menjadi anggota DPR dari Partai Demokrat.

Rano Karno, pemeran film Si Doel yang merupakan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga sukses menjadi Gubernur Banten (2014-2017). Artis lainnya yang sukses adalah Deddy Mizwar, yang tengah menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat (2013-2018). Kini, aktor senior berjuluk Naga Bonar itu maju sebagai calon gubernur Jawa Barat.

Namun, tidak sedikit pula selebritas yang gagal merambah ke ranah politik. Helmi Yahya, presenter terkemuka misalnya. Dia kalah bertarung sebagai calon wakil gubernur dalam Pilkada Sumatera Selatan tahun 2008 lalu. Impian Helmi kandas karena kalah tipis dengan lawannya, Alex Noerdin-Eddy Yusuf.

Helmi kala itu mendampingi calon gubenur Syahrial Oesman. Helmi juga kalah dalam Pilkada Kabupaten Ogan Ilir 2010. Kala itu, Helmi maju sebagai calon bupati Ogan Ilir, berpasangan dengan Muchendi Mahzareki.

Adanya korelasi antara popularitas dengan keterpilihan politik juga terekam dalam survei yang pernah dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI), September 2008 lalu. Hasil survei itu menunjukan, pamor selebritas lebih mempengarui pilihan politik masyarakat daripada politisi kawakan.

Dari survei itu, komedian Eko Patrio, berhasil meraih dukungan responden sebanyak 5,6 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan pentolan partai politik seperti Muhaimin Iskandar, Pramono Anung, Tifatul Sembiring, Malam Sambat Kaban, Zulkifli Hasan, Priyo Budi Santoso, dan sebagainya. Hasil survei itu memperlihatkan, popularitas lebih besar mempengarui pilihan politik masyarakat dari daripada kompetensi.

Kini, Eko Patrio menjadi anggota DPR dari PAN. Eko adalah salah satu selebritas yang direkrut PAN. Partai besutan Amien Rais itu paling banyak merekrut artis. Di Pemilihan Legislatif 2009 lalu, ada sekitar 20 artis yang dijadikan calon legislatif dari PAN. Sampai-sampai PAN pun di-plesetkan sebagai "Partai Artis Nasional".

Karena terbukti mampu memobilisasi dukungan, jejak PAN pun diikuti partai lain. Pentolan partai politik kian gencar membidik selebritas untuk dipertaruhkan di ajang suksesi. Namun, kian banyaknya selebritas yang direkrut partai politik secara instan, memperlihatkan gagalnya partai politik melaksanakan fungsi kaderisasi. Meski demikian, dalam demokrasi, siapapun berhak mencalonkan dan dicalonkan untuk menduduki jabatan politik. Termasuk, para selebritas. Toh, ada juga selebritas yang mampu membuktikan perannya dengan baik di ranah politik.

Kian banyak dan dilibatkannya selebritas di ranah politik, tidak terlepas dari penerapan sistem Pemilu proporsional terbuka yang mengadopsi suara terbanyak. Dalam Pemilu Legislatif, penentuan kursi anggota legislatif, tidak dinilai dari kapasitas dan kompetensi. Namun, berapa banyak perolehan suara yang diraih. Mekanisme itu lebih menguntungkan calon legislatif yang populer.

Sejumlah selebritas yang terjun ke ranah politik, pasti mengklaim memahami politik praktis. Pengalaman dan kesuksesannya di dunia hiburan, dijadikan dijadikan bekal untuk merambah ke ranah politik. Alasan itu bisa dibenarkan. Karena, kecakapan politik tidak semata-mata pintar berorasi atau memperdebatkan isu-isu politik. Politik juga bisa dipahami kecakapan dalam mempengarui orang lain dan kemampuan memimpin di bidang masing-masing.

Namun, tanpa kaderisasi dan pengalaman yang mumpuni, cara-cara partai politik merekrut selebritas secara instan, akan menurunkan kualitas kinerja institusi politik. Seorang pemimpin politik, tentu tidak sekadar populer. Namun, dia harus memiliki dan mampu merealisasikan visi, misi dan strategi serta latar belakang ideologi sebagai alat dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.

Mendompleng Elektabilitas

Kesuksesan sejumlah selebritas di ranah politik menunjukan jika popularitas sangat berpengaruh terhadap elektabilitas. Namun, apakah popularitas selebritas itu dapat mendompleng elektabilitas kandidat yang didukung?

Sulit dipastikan. Apalagi, kandidat yang didukung itu terasing di benak masyarakat. Bisa saja, massa yang datang berkampanye, sekadar ingin menyaksikan hiburan, bukan untuk mendengarkan pesan-pesan politik yang disampaikan sang kandidat. 

Yang pasti, keterlibatan para selebritas terbukti ampuh menyedot massa dan membuat kampanye lebih semarak. Dengan mendompleng selebritas, kandidat dapat lebih mudah melakukan promosi dan penetrasi guna mempengarui pilihan politik masyarakat yang menjadi fans selebritas.

Meski demikian, tak bisa dipungkiri, keterlibatan selebritas dapat berpengaruh terhadap kemenangan kandidat yang didukungnya. Asalkan, kandidat itu juga populer dan  memiliki rekam jejak yang baik.

Kesuksesan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) di ajang Pemilihan Presiden 2014 lalu, harus diakui, selain karena popularitasnya yang melambung, kemenangan Jokowi tidak terlepas dari kontribusi sederet selebritas. Mereka berbondong-bondong memberikan dukungan karena menyakini sosok Jokowi dapat memberikan perubahan yang diharapkan.

Deretan selebritas yang berada dalam barisan pendukung Jokowi antara lain: Slank, Rif, Yukie "Pas Band", Giring "Nidji" Ganesha, Roy Jeconiah (mantan vokalis Boomerang), gitaris Ian Antono, Ahmad Albar, Oppie Andaresta, Kla Project, Yuni Shara, Krisdayanti, Glenn Fredly, Tompi, Sandy Sandoro, JFlow, Ello, Erwin Gutawa, Gita Gutawa, Barry Likumahua, Kikan Namara, Marsha Timothy, dan Vino G Bastian. Sejumlah seniman dan budaya ternama juga turut andil memenangkan Jokowi seperti Butet Kartaradjasa, Eros Djarot, Slamet Rahardjo, dan lainnya.

Tipikal Jokowi yang terkesan merakyat, tak hanya mampu mencuri perhatian selebritas domestik. Sejumlah musisi internasional juga terang-terangan mendukung Jokowi. Di antaranya Sting, Jason Mraz, dan grup musik Arkarna. Lewat akun twitternya, mereka menyerukan agar masyarakat Indonesia memilih Jokowi.

Kala kampanye Jokowi digelar di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 5 Juli 2014, para selebritas papan atas itu turut memeriahkan. Suguhan mereka mampu memukau jutaan massa yang memadati stadion. Mereka bersama massa pendukung, menyanyikan jingle kampanye Jokowi-JK berjudul: Salam Dua Jari.

Lagu yang diracik grup musik Slank dan musisi lainnya itu berhasil menancap di benak khalayak luas karena liriknya sederhana. Pesannya juga sangat kuat untuk mengingatkan masyarakat agar menghormati perbedaan dalam berdemokrasi. Kontestasi politik kala itu memang kelewat keras. Sampai-sampai, masyarakat terbelah menjadi dua kubu: pendukung Jokowi-JK versus pendukung Prabowo-Hatta.

Kampanye pamungkas yang mendapatkan sorotan media itu, memompa dukungan khalayak luas untuk memenangkan Jokowi. Tanpa keterlibatan para pekerja seni itu, bisa jadi Jokowi-JK dikalahkan rival politiknya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Karena, jelang pencoblosan suara, elektabilitas Prabowo-Hatta, terus merangkak naik.

Salah satu motor penggerak yang berkontribusi besar bagi kemenangan Jokowi adalah Slank yang memiliki jutaan fans fanatik. Dukungan Slank itu tentu sangat menguntungkan Jokowi. Setidaknya, dukungan Slank akan mengerahkan jutaan Slankers untuk memilih Jokowi.

Grup musik yang dikomandoi Bimo Setiawan Almachzum (Bim-bim) dan Akhadi Wira Satriaji (Kaka) itu, memang memiliki jutaan fans fanatik. Sebagian besar fans Slank terdiri dari remaja dan orang dewasa yang sejak era 1990-an, mengenal lagu-lagunya. Wajar jika banyak politisi pada merapat ke markas Slank tatkala ingin berlaga di ajang suksesi.

Saat Pilpres 2004 lalu, Amien Rais, mantan Ketua Umum PAN yang menjadi calon presiden, bertandang ke Gang Potlot untuk mengajak Slank terlibat dalam kampanyenya. Gita Wirjawan juga pernah merapat ke markas Slank saat menjadi peserta konvensi calon presiden 2014 dari Partai Demokrat.

Namun, kala itu, tidak ada pernyataan keberpihakan politik yang disampaikan Slank. Baru di Pilpres 2014, Slank menyatakan dukungan kepada Jokowi. Dan, Slank pun terlibat memobilisasi dukungan masyarakat untuk Jokowi.

Setelah Jokowi menjadi presiden, Slank kembali ke titahnya. Slank memilih berada di luar kekuasaan agar tetap merdeka dalam berkarya. Slank tetap gencar mengkampanyekan anti-korupsi, melawan narkoba dan pengerusakan lingkungan serta kritis dalam menyikapi masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat.

Dukungan selebritas kepada Jokowi yang begitu besar di Pilpres 2014, menjadi fenomena baru dalam perpolitikan di Indonesia. Di suksesi sebelumnya, sejumlah selebritas yang terlibat dalam kampanye tidak begitu besar dibandingkan dukungan kepada Jokowi.

Keterlibatan mereka pun tidak dibayar. Sulit menghitung berapa banyak biaya yang akan dikeluarkan Jokowi jika sederet selebritas domestik maupun luar negeri itu dibayar. Kian terkenal artis tersebut, kian mahal pula bayarannya.

Fenomena itu nyaris serupa kala Barack Obama maju sebagai kandidat di Pemilihan Presiden 2012 lalu. Obama berhasil menjadi Presiden AS untuk kedua kalinya karena dukungan sederet selebritas.

Sekitar 194 selebritas ternama mendukung kampanyenya. Mereka antara lain: Jay Z, Beyonce Knowles, George Clooney, Oprah Winfrey, Robert De Niro, Scarlett Johansson, Halle Berry, dan Tom Hanks.

Tak hanya menggalang dukungan masyarakat AS, mereka juga terlibat dalam penggalangan dana publik untuk kepentingan kampanye Obama. Itu dilakukan oleh penyanyi, Jay Z dan isterinya, Beyonce Knowles. Keduanya berhasil mengumpulkan dana sebesar US$4 juta untuk mendukung kampanye Obama.

George Clooney, presenter terkemuka juga berhasil mengantongi US$15 juta dana publik untuk Obama. Bahkan, ada selebritas yang rela menggelontorkan uangnya untuk menopang kampanye Obama. Di Pemilihan Presiden 2008, Oprah Winfrey, pembawa acara reality show terlaris di dunia, Oprah Winfrey Show, rela menyumbang jutaan dollar AS dari kantong pribadinya untuk Obama.

Winfrey juga memanfaatkan acara yang dipandunya untuk mengkampanyekan Obama. Dukungan Winfrey itu sangat besar bagi kemenangan Obama karena namanya sangat populer. Majalah Forbes menempatkan Winfrey sebagai selebritas yang paling berpengaruh di tahun 2007.

Sederet musisi lainnya seperti Bruce Springsteen, Bob Dylan, Chris Rock, Russel Crowe, Eva Longoria, Lady Gaga, Sarah Jessica Parker, hingga bintang film The Avengers, Scarlet Johansson, juga terlibat memenangkan Obama.

Tradisi kampanye Pilpres AS sebelumnya juga selalu diramaikan selebritas. Kesuksesan Warren Harding menjadi Presiden AS (1921-1923), tidak terlepas dukungan sejumlah bintang film seperti Al Jolson, Lillian Russell, Douglas Fairbanks dan Mary Pickford.

Di tahun 1960, John Fitzgerald Kennedy menjadi Presiden AS karena mendapatkan dukungan dari anggota Rat Pack seperti Sammy Davis dan Dean Martin. Ronald Reagan juga mendapat dukungan dari selebritas, di antaranya Frank Sinatra.

Medium Suara Publik

Selebritas bersama karyanya terbukti ampuh menjadi media komunikasi politik. Musik dangdut misalnya. Genre musik yang sangat populer di telinga masyarakat Indonesia itu, senantiasa meramaikan ajang kampanye. Para penggila musik dangdut yang jumlahnya sangat besar juga bisa menjadi basis massa yang bisa dikapitalisasi secara politik.

Itulah yang dilakukan Rhoma Irama. Siapa yang tak kenal dengan Rhoma Irama? Lewat dangdut, popularitasnya melambung tinggi hingga kini. Dia memiliki jutaan penggemar. Wajar jika Rhoma Irama menjadi rebutan partai politik.

Dia pernah direkrut menjadi kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namanya juga sempat digadang-gadang sebagai calon presiden potensial oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sadar jika popularitasnya dimanfaatkan elit partai politik, Rhoma Irama pun mendirikan Partai Idaman dan menjadi pemimpinnya. 

Idealnya, sebagai publik figur, selebritas berada di luar kekuasaan dan konsisten menjadi bagian dari masyarakat. Kalaupun terlibat dalam politik, tidak harus berorientasi kekuasaan. Mereka dapat memanfaatkan karyanya sebagai medium untuk mengekspresikan ekspektasi dan pesan-pesan publik kepada penguasa.

Ekspektasi dan pesan-pesan itu umumnya mudah menancap di memori masyarakat karena mengulas realitas sosial, politik, lingkungan, atau isu-isu lainnya. Karya mereka juga dapat merepresentasikan wacana publik, menstimulan respon dan dukungan publik, untuk mendukung kekuasaan atau bisa juga mewakili oposisi, kaum marginal maupun gerakan rakyat yang menuntut perubahan.

Mereka dapat mengekspresikan kegelisahan masyarakat lewat karyanya sehingga diharapkan direspon penguasa. Itu yang dilakukan John Lennon, vokalis grup musik legendaris, The Beatles. Dia tak hanya dikenang sebagai musisi, namun aktivis kemanusiaan yang menentang peperangan. Lagunya yang melegenda, "Imagine", menjadi himne perdamaian dunia karena liriknya begitu menyengat naluri kemanusiaan.

Kala perang berkecamuk, Lennon mengekspresikan sikapnya dengan merilis Revolution. Lagu yang diracik tahun 1968 itu memperlihatkan sikap Lennon dan personil The Beatles yang menentang Perang Vietnam.

Lennon bersama isterinya, Yoko Ono, juga mengekspresikan kebencian terhadap Perang Vietnam dengan menggalang gerakan Bed in for Peace. Keduanya tak beranjak dari tempat tidur selama tujuh hari, dari tanggal 25-31 Maret 1969 sebagai bentuk protes. Aksi itu dilakukan di sebuah hotel di Kota Amsterdam, Belanda.

Di Chile, ada Victor Jara. Musisi ini berseberangan dengan penguasa diktator, Augusto Pinochet. Jara pernah dijebloskan ke penjara pada 11 September 1973 karena dituduh memprovokasi rakyat agar melawan Pinochet. Namun, penjara tak membuat Jara jera. Dia tetap lantang menyanyikan lagu-lagu bernada perlawanan yang terdengar bising di telinga rezim penguasa. Karyanya berjudul Venceremos (Kita Pasti Menang), menjadi penyulut perjuangan para demonstran anti-pemerintah.

Jara juga cakap melakoni peran di atas panggung. Dia juga menjadi sutradara sejumlah pementasan teater yang ceritanya mengulas permasalahan rakyat. Jara juga menghabiskan waktunya dalam aktivitas politik. 16 september 1973, saat berusia 40 tahun, Jara tewas dengan kondisi menggenaskan. Jenazahnya membusuk, tergeletak di pinggiran Kota Santiago.

Di Kuba, ada Silvio Rodriguez. Lagu-lagunya yang bernada revolusioner, mampu menyadarkan rakyat untuk melawan imprealisme. Dia juga terlibat aktif dalam Revolusi Kuba. Ada lagi Jacek Kaczmarski, musisi nasionalis dari Polandia. Di tahun 1980-an, Kaczmarski terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Polandia, memisahkan diri dari Uni Soviet. Lewat lagu, dia membangkitkan perlawanan patriotik rakyat Polandia menghadapi Uni Soviet.

Lagu-lagunya juga banyak mengulas soal gerakan buruh. Kaczmarski mengawali debutnya pada tahun 1977 di Song Festival Mahasiswa, dengan meraih penghargaan Ob?awa. Selain sebagai penyanyi, Kaczmarski juga jurnalis. Di tahun 1982, dia bekerja sebagai editor dan wartawan Radio Free Europe dan host program radionya sendiri, Kwadrans Jacka Kaczmarskiego (15 Menit Bersama Jacek Kaczmarski).

Di Afrika, nama Bob Marley tak hanya mendunia karena musik reggae-nya. Namun, lagu-lagu reggae yang diciptakan dan dinyanyikannya menginsiprasi rakyat Afrika untuk melawan imprealisme. Reggae dikenal sebagai musik perjuangan yang perkembangannya sangat dipengarui perjuangan melawan kolonialisme di Afrika tahun 1960-an dan perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan.

Di Indonesia, musisi yang perannya sangat besar di era revolusi adalah Wage Rudolf (WR) Supratman. Dia adalah pencipta lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Jauh sebelum Indonesia Merdeka (17 Agustus 1945), Indonesia Raya telah berkumandang saat digelar Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Sejak kali pertama dikumandangkan, Indonesia Raya menjadi lagu wajib bagi para aktivis pergerakan nasional. Lagu itu menjadi ruh perjuangan kaum pergerakan karena nadanya yang membangkitkan persatuan, nasionalisme, dan kesadaran untuk menjadi bangsa merdeka dan berdaulat.

Karena karyanya, WR Supratman diburu pemerintah kolonial Belanda. Saat menyiarkan lagunya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, dia ditangkap di Jalan Embong, Malang, dan dijebloskan ke Penjara Kalisosok, Surabaya, Jawa Timur.

Di era Orde Baru, kebebasan musisi dan seniman lainnya juga dikekang dengan dalih menjaga stabilitas politik. Karya mereka disensor, bahkan dilarang untuk disuguhkan ke publik. Apalagi, jika karyanya menyentil kekuasaan. Tekanan penguaa itu menyebabkan eksistensi mereka terancam. Mereka pun memilih apolitis dan mengabaikan peran kontrol sosial.

Karyanya seakan kehilangan ruh akibat pembatasan dalam berekspresi sebagai esensi dari proses berkesenian. Namun, ada pula beberapa seniman yang konsisten dengan perjuangannya. Meski taruhannya penjara, bahkan kehilangan nyawa.

Penyair berjuluk "Si Burung Merak", Willibrordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra) misalnya. Dia sering berhadapan dengan aparat keamanan karena puisi dan pementasan teaternya, mengkritisi kekuasaan. Rendra pernah mencicipi pengapnya penjara di zaman Orde Baru tahun 1978.

Puisi-puisinya merepresentasikan masalah yang diekspresikan orang-orang di sekitarnya. Itu tercermin dalam puisinya berjudul:  Sajak Sebatang Lisong, Sajak Pertemuan Mahasiswa, Orang-Orang Miskin, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia, dan masih banyak lagi. Meski pernah dipenjara, Rendra tak luluh berkarya. Penjara tak membuatnya tumpul dalam memproduksi puisi-puisi kritis.

Penyair lain yang hingga kini tak jelas keberadaannya adalah Widji Widodo alias Widji Thukul. Dia dikabarkan diculik oleh kaki tangan rezim Orde Baru karena menebar bait-bait puisi yang bernada menyerang kekuasaan. Puisinya juga mengorbarkan semangat perlawanan.

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan? Maka, hanya ada satu kata: lawan!” demikian bunyi bait terakhir puisi berjudul Peringatan karya Thukul (1986). Bait puisi itu menjadi yel-yel saat demontrasi massa.

Ancaman dan intimidasi yang dilayangkan rezim penguasa, menyebabkan sebagian dari seniman memilih apolitis. Tak sedikit pula di antara mereka yang berkarya demi keuntungan ekonomi semata. Adanya jarak antara mereka dengan masyarakat turut menyebabkan karya-karyanya miskin imajinasi. Mereka seakan berada di ruang hampa. Sementara realitas adalah samudera inspirasi bagi mereka.

Tumbangnya rezim Orde Baru, pada Mei 1998 lalu, membuka ruang bagi siapapun, termasuk para selebritas, untuk menyatakan hak-hak politiknya. Selain bebas berkarya, mereka dapat terlibat, baik sebagai pendukung maupun aktor yang bergelut di ajang kontestasi politik.

Dalam demokrasi, keterlibatan mereka sah-sah saja. Namun, selebritas jangan sekadar mengkapitalisasikan popularitasnya untuk mengeruk keuntungan semata. Jangan pula keterlibatan mereka justru memperburuk demokrasi. Misalnya, mengubah kampanye sebagai pendidikan politik, menjadi pesta politik yang diramaikan hiburan semata. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 714
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 871
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 822
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 502
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1584
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1372
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya