Anies Baswedan versus Orang Separo

| dilihat 1328

Bang Sém

Akalbudi. Inilah tolok ukur untuk melihat manusia. Akal budi mencerminkan harmoni nalar, naluri, rasa, dan indria.  Akalbudi ini juga yang akan membentuk watak pribadi manusia dan mempengaruhi adabnya dalam berinteraksi dengan sesama manusia, semesta, dan Allah.

Nilai akalbudi, merupakan tolok ukur utama untuk melihat ketaqwaan manusia kepada al Khalik, Penciptanya. Karenanya, Allah mengutus rasulullah Muhammad shalallahu walaihi wa salam, untuk mengemban tugas besar dan mulia: menyempurnakan akalbudi, titik berangkat penyempurnaan peadaban manusia.

Intelektualitas yang mestinya mencerminkan kualitas kecerdasan akal hanya akan sempurna, bila dilengkapi dengan kecerdasan spiritual dan kecerdasan budaya. Hal itu tertampak dari bagaimana cara manusia berinteraksi dengan manusia lain, semesta, Allah. Semua mewujud dalam perilaku, dan terlihat dalam bagaimana manusia berbahasa. Itu sebabnya, kita mengenal resam, 'bahasa menunjukkan bangsa.'

Ekspresi bahasa, sangat beragam. Mulai dari bahasa tekstual, bahasa tutur, bahasa visual, pun bahasa virtual. Karikatur, kartun, meme dan sejenisnya, menunjukkan kualitas pembuatnya, karena produk yang dihasilkannya sebagai bahasa visual merupakan produk akhir dari kualitas akal, spiritual, dan budaya.

Saya tak heran, kala para pecundang, pengikut, dan pengagum pemimpin yang mengabaikan etika, senang sekali bersentak-sengor (berdebat tanpa nalar), menyerang Anies dengan watak tuan mereka, mengekspresikan 'dendam orang kalah' atau 'kesumat pecundang.'

Begitu memang cara hidup yang mereka anut. Lebih mendahulukan buthun, perut, alias kepentingan personal, kelompok, dan golongan, katimbang kepentingan yang lebih luas. Saya menyebut mereka, 'orang-orang separo' alias abdul buthun. Orang-orang yang lebih suka menggunakan otak dan nafsu, sekaligus getun mengabaikan budi, adab, dan kebajikan, sebagai ekspresi abdul buthun alias hamba perut.

Anies Baswedan memimpin Jakarta ketika 'orang-orang separo' mendapat panggung politik, media yang riskan dengan tular (viralitas), dan para budak yang hanya berfikir: sikat, hantam, libas, dan 'gaspol.' Ketika ketahanan budaya sedang diuji oleh berbagai aksi komunikasi yang mereduksi kejujuran, keadilan, kebenaran, dengan memanipulasi fakta-fakta sumir sebagai alat pemukul.

Seperti peselancar akalbudi yang ada di atas gelombang anomali yang brutal, Anies relatif sendirian. Pilihannya amat sedikit: mampu melintasi gelombang dan siap menghadapi gelombang lebih besar, atau tergulung oleh gelombang ombak yang tak pernah bisa diprediksi.

Wilayah kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta, berbeda dengan wilayah kepemimpinannya ketika dia mengemban amanah sebagai rektor dan menteri. Saya optimistis, Anies bisa menjadi peselancar yang jempolan. Terutama, karena pengalamannya sebagai rektor, menteri dan aktivis pergerakan mahasiswa, dihidupkan oleh l'esprit de leadership (ruh kepemimpinan): tauhid, akalbudi, do'a ibu, dan cinta konstituennya. Nilai ini, tentu tak dikenal oleh lawan politik yang pandir beserta para pengikut dan pelindungnya.

Etos dan epos kepemimpina Anies, tidak berada di luar dirinya, karena berada dan mengalir di 'urat darah,'-nya. Mengalir bersama DNA kepejuangan dan kepahlawanan allahyarham kakeknya, AR Baswedan dan garis lurus nasabnya.

Dinamika politik yang sedang bergerak secara anomali, saya yakini merupakan bagian tak terpisahkan dari cara Allah, melatihnya sebagai pemimpin yang tangguh, dalam asuhan sosio habitus para pejuang.

Anies saya yakini akan selalu mendapatkan cara untuk menghadapi beragam persoalan yang kompleks. Bukan hanya karena dia memang mempunyai ilmu dan pengetahuan ihwal penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Melainkan, karena sangat panjang situasi dan kondisi kehidupan menempanya. Sejak masih bocah, bersama teman-temannya, merakit dan menggunakan rakit gedebong pisang mengarungi sungai di Yogyakarta.

Nilai akalbudi sebagai ukuran kualitas kepemimpinan Anies, lebih menarik perhatian saya, karena menampakkan fakta baik, prestasi memajukan Indonesia, dan sikap optimistis. Inilah yang membuat lawan politiknya -- termasuk para pencercanya -- ringsang dan kejang-kejang, lantaran, setiap membaling (melontar) kotoran ke arah Anies, kotoran itu balik ke muka mereka sendiri.|

Baca Juga : Langkah Anies Sudah Tepat dan Berprestasi

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 431
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1501
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1320
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 336
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 332
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya