Catatan Bang Sèm
Boleh jadi karena merasa sudah 'membeli amanat rakyat' melalui mekanisme praktik politik transaksional dalam orientasi politik pragmatis, banyak penyelenggara negara - pemerintahan setelah proses demokrasi berakhir, melupakan posisi rakyat dan posiosi dirinya.
Dengan bilangan kepeng tertentu plus sembilan bahan pokok yang ditebar untuk memperoleh amanat rakyat, rakyat tak lagi menjadi subyek yang harus dilayani.
Rakyat hanya diposisikan sebagai kaum amah atawa jelata, sekadar sebagai khalayak ramai yang terpisahkan dengan kepentingan kolektif. Rakyat tak terpahami secara jernih dan fokus sebagai subyek dalam negara bangsa yang harus dilayani.
Rakyat selalu cenderung diposisikan bukan sebagai khalayak yang adanya membentuk komunitas, suku, bangsa dan lainnya. Lantas dikelompokkan secara komunal dan komunitas berdasarkan ras, etnis, profesi, latar sosial, budaya, dan politik. Bukan sebagai pemilik kedaulatan yang meminjamkan wewenang kepada penyelenggara negara dan pemerintahan.
Pada negara yang memiliki lebih banyak politisi katimbang negarawan, memiliki lebih banyak akademisi dengan sedikit intelektual, lebih banyak mempunyai petinggi dengan sedikit pemimpin, lebih banyak memiliki pemuka agama katimbang agamawan, hal sedemikian bisa terjadi.
Pada negara-negara berbentuk Republik, namun masih sibuk mengeja hakikat demokrasi dan lemah daya melakukan konsolidasi demokrasi, kita menemukan banyak kenyataan, setelah Pemilihan Umum usai, rakyat kudu tunduk, taat, dan patuh pada regulasi dan undang-undang yang dibuat sesuka hati dengan pikiran sepihak penyelenggara negara dan pemerintahan.
Lantas, kekuasaan menjadi otoritas dan kekuasaan para penyelenggara negara dan pemerintahan serta merta menjadi penguasa atas rakyat yang dikuasai.
Membisu dan Membuta Tuli
Rakyat bukan lagi pemilik kedaulatan. Karenanya institusi negara dan pemerintahan merasa boleh secaraleluasa menjalankan 'tugas'-nya membuat undang-undang, memungut pajak - cukai, dengan menyediakan sedikit layanan publik.
Mereka yang dipinjami otoritas oleh rakyat, enggan - bahkan tak mau - mengembalikan apa yang dipinjamnya untuk dikembalikan kepada rakyat.
Bila rakyat menuntut atau mengekspresikan haknya melalui aksi unjuk rasa, mereka kudu berhadapan dengan petugas yang dipersenjatai dan moncongnya ditujukan kepada rakyat.
Rakyat yang menuntut keadilan lewat ruang-ruang sidang pengadilan, hanya sedikit yang mendapatkan keadilan. Karena seringkali palu hakim berubah menjadi pali godam.
Di negara-negara maju yang mengklaim diri sebagai garda depan demokrasi, rakyat yang melakukan protes melalui berbagai kalangan (khasnya mahasiswa, akademisi, kaum buruh, dan berbagai kalangan lainnya), segera diberangus oleh petugas negara.
Apa yang terjadi di berbagai belahan dunia (Amerika, Eropa, Asia, Timur Tengah, dan lainnya) belakangan hari, menunjukkan bagaimana rakyat yang hadir dalam wujud gelombang aksi unjuk rasa solidaritas kemanusiaan untuk Palestina, menjadi sasaran pemberangusan.
Cara sedemikian juga yang lantas ditiru oleh penguasa di berbagai negara berkembang di Asia Tenggara, Asia Timur, dan lain-lain. Amat jarang tuntutan rakyat melalui parlemen jalanan (karena parlemen formal membisu dan membutatuli) ditelaah dan dipahami, lantas dijadikan cermin oleh penguasa.
Jumawa dan Songong
Tak jarang -- melalui berbagai informasi yang tular secara multi media, multi channel dan multi platform -- rakyat menyaksikan polah penyelenggara negara dan pemerintahan yang 'sak karepè dèwè' sambil menyewa para pembenar kebijakan negara - pemerintah berbayar. Menolak dan mengabaikan kebenaran, karena hanya memerlukan pembenaran.
Supaya terkesan tetap demokratis, para penyelenggara negara dan pemerintahan merekayasa cara menindak dan menekan rakyat. Untuk kepentingan pencitraan, beragam aksi protes dan unjuk rasa, diberi ruang dan ditempatkan pada lokasi-lokasi tertentu.
Padahal, mereka alergi dan tak mau peduli alias masa bodo dengan berbagai aksi rakyat. Selebihnya adalah tipu-tipu melalui berbagai pernyataan retoris yang inkonsisten dan sepenuh dusta.
Aksi unjuk rasa dan protes rakyat selalu dipandang sebagai kegaduhan dan kebisingan yang segera kudu dibungkam dengan berbagai cara. Termasuk menggalang bagian rakyat yang lain untuk melakukan aksi sejenis dengan suara lain mendukung kebijakan negara dan pemerintah. Akibatnya, berlaku devide et impera dalam format dan formulanya yang lebih kekinian.
Di jaman sungsang proses perubahan global, regional, dan lokal nampak kecenderungan penyelenggara negara - pemerintahan sebagai 'peminjam otoritas' yang pongah, congkak, takabbur, jumawa, sekaligus songong, yang bicara sesuka hati saat menanggapi aspirasi rakyat.
Di negara yang sedang merangkak mempraktikan demokrasi, dan sedang panik menghadapi aneka krisis yang dipicu oleh krisis etik dan subur dengan kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisma petinggi negara bisa ngomong, mempersilakan pemrotes yang kudu berisik, keluar dari tanah airnya sendiri.
Alih-alih dengan sukacita menerima dan merespon kritik, penguasa menganggap kritik sosial dengan protes rakyat merupakan gangguan yang membahayakan negara.
Burung dalam Sangkar
Di Indonesia, pembelajaran tentang demokrasi asli Indonesia dan kedaulatan rakyat dapat disimak dari pemikiran Mohammad Hatta (Bung Hatta), salah seorang proklamator dan Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama, yang dimuat Daulat Rakyat (1932).
Bung Hatta menulis, "Kita senantiasa suka membaca kritik-kritik, karena berkat kritik itu kita dapat memperdalam paham kita, memperkuat sendi-sendi asas kita dan memperbaiki pendirian kita." Pada bagian lain artikelnya yang tajam dan mencerahkan, itu Bung Hatta melihat relasi feodalisma dengan demokrasi.
Tradisi nilai feodalisma yang hendak dijadikan sebagai bagian nilai demokrasi yang hendak dipilih (masa itu) untuk Indonesia merdeka, akan memungkinkan terjadinya split. "Jadinya, di dalam pergaulan Indonesia yang asli, demokrasi hanya ada di bawah. Pemerintahan di atas semata-mata berdasar autokrasi. Di atas kepala autonomi Desa berdiri Daulat Tuanku yang melakukan sewenang-wenang, yang tiada dikontrol oleh rakyat," tulis Bung Hatta. "....Pendek kata Daulat Tuanku harus diganti dengan Daulat Rakyat !" Rakyat menjadi raja atas dirinya.
Pada artikelnya yang lain, Bung Hatta mengandaikan, perasaan rakyat bak 'burung dalam sangkar.' Mata lepas badan terkurung. "Betul pada lahirnya badan mereka juga merdeka, merdeka untuk berjalan ke mana-mana, asal saja sudah melunaskan utang pajak, akan tetapi pada batinnya tak dapat bergerak. Karena, bagaimanakah akan berjalan ke tempat lain, kalau saku diterbangkan angin, kalau penghidupan sudah sukar di mana-mana."
Apa yang dikemukakan Bung Hatta lebih sembilan dekade yang lampau terasa masih relevan kini. Khasnya selepas pandemi nanomonster Covid 19 yang melantakkan berbagai negara dan mengharuskan kita melihat relasi demokrasi dan kedaulatan rakyat secara dimensional. Khasnya terkait dengan perekonomian.
Terutama ketika para petinggi kita belum juga fasih memahami, memaknai, dan mempraktikan demokrasi yang sebenarnya, bertelekan budaya kita dengan merespon aktif perubahan global yang dinamis. Menghidupkan keseimbangan keterampilan mengelola negara bangsa dengan kecerdasan budaya.
Tak hanya untuk melayari singularitas yang memberi posisi strategis pada artificial intelligent (kecerdasan buatan), sekaligus melayari transhumanitas yang membawa serta artificial humanity (kemanusiaan buatan) yang tanpa daya nurani dan rasa. Pula, kesadaran untuk berfikir, bersikap, dan bertindak merdeka dalam memanifestasikan keselarasan tentang hak dan tanggung jawab.
Sebuah pantun sohor yang dikutip Bung Hatta dari Hikayat Malin Deman, terkait gagasan praktis penyelenggaraan negara dan pemerintahan, boleh kita baca lagi kini sebagai pelajaran perihal kepemimpinan :
dahulu sarung gadubang
kini menjadi sarung golok
dahulu tuanku nan tabilang
kini menjadi olok-olok !
***
Bilik Hikmah 13.06.24