Akhir Sansai Kaisar Boneka

| dilihat 1840

Délanova

Masih ingat film The Last Emperor (1987) karya sutradara Bernardo Bertolucci?

Film sepanjang 2 jam 40 menit (dari rancangan awal untuk film tv seri pendek beberapa episode), itu berkisah ihwal rontoknya imperium terakhir Tiongkok dari dinasti Qing.

The Last Emperor berkisah tentang takdir penting Pu Yi (Xuantong), kaisar terakhir Tiongkok (1908 -1924), yang naik tahta ketika dia berusia balita. Pu Yi wafat pada usia 62 tahun.

Garis nasab Pu Yi dari keluarga Manchu Aisin-Gioro yang berkuasa, Pu Yi (semula bernama Xuantong) merupakan kaisar kedua belas dari Dinasti Qing. Ia dipilih oleh permaisuri Cixi saat berada di ranjang kematiannya, pada Desember 1908 segera setelah kematian pamannya pada 14 November 1908. Kala itu, usianya masih balita.

Pu Yi tumbuh dan berkembang dalam situasi politik penuh intrik, karena para pamannya yang menjalankan pemerintahan, melakukan berbagai aksi politik yang tidak konsisten dengan garis perjuangan para pendahulunya.

Revolusi rakyat yang dikenal dengan Revolusi Xinhai, mendorong Permaisuri Longyu menanda-tangani keputusan "tindakan turun tahta Kaisar Besar Qing" pada 12 Februari 1912, untuk atas nama Pu Yi.

Selama Revolusi Xinhai berlangsung, terjadi negosiasi antara pengadilan kekaisaran yang dipimpin oleh Yuan Shikai di Beijing dan Partai Republik di Tiongkok Selatan.

Hasil negosiasi, itu antara lain, tetap memberikan Pu Yi gelar kekaisarannya dan diperlakukan baik secara protokoler pemerintah RRT sebagai seorang raja. luar negeri. Mirip dengan hukum jaminan Italia (1870) yang memberikan kehormatan dan hak istimewa kepada Paus Katholik dengan keistimewaan yang serupa dengan yang dihargai oleh Raja Italia.

Pu Yi diizinkan tinggal di bagian utara Kota Terlarang serta di Istana Musim Panas, dan memperoleh bantuan tahunan pemerintah sebesar $ 4 juta untuk rumah tangga kekaisaran, kendati tak pernah dibayarkan, sampai akhirnya dihapus oleh pemerintah beberapa tahun kemudian.

Pu Yi, tak kuasa menghadapi dinamika politik yang sedemikian keras dan penuh tekanan. Lima tahun setelah Revolusi Xinhai (1917), Panglima perang Zhang One mengembalikan Pu Yi ke tahta.

Tapi, selama 12 hari, pesawat pemerintah RRT menjatuhkan bom kecil di atas Kota terlarang, sehingga keadaan kalut dan terjadi sejumlah kerusakan. Pengeboman itu tercatat sebagai pengeboman udara pertama di Asia Timur.

Upaya restitusi Zhang One, akhirnya gagal di hari ke 12 yang terkenal dengan istilah woe 12, celaka 12. Zhang dan Pu Yi mendapat serangan dari pihak Partai Rakyat -- yang kelak menjadi Partai Komunis Tiongkok -- dan kalangan militer. Akhirnya, oleh Panglima Feng Yuxiang, Pu Yi diusir dari Kota Terlarang Beijing pada tahun 1924.

Pu Yi yang menggantikan saudara tirinya, Guangxu alias Pangeran Chun ke-2 (1883-1951) menyingkir. Kekaisaran Jepang yang sedang mengintip situasi di Tiongkok, mencermati hubungan Pu Yi dengan Lingiya (1866-1925), selir kedua Guangxu yang merupakan klan Manchu.

Kelak, ketika jepang menguasai Tiongkok, Pu Yi diangkat lagi menjadi kaisar boneka Manchuokuo, di negara boneka Manchuria tempat asal Dinasti Qing (1934-1945). Pu Yi yang menikah dengan Gobulo Wang Rong -- atas saran dari selir kekaisaran Duan Kang -- atas kesepakatan Jepang dengan pemimpin RRT diberi porsi kehormatan sebagai anggota Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok (1964, hingga kematiannya pada tahun 1967) dengan nama Tiongkok Aixinjuelo (Aisin-Gioro) Pu Yi.

Sebagai boneka Jepang sekaligus petugas Partai Komunis Tiongkok, Pu Yi tidak dapat sepenuhnya memainkan peran strategis sebagai anggota lembaga legislatif, itu.

Bahkan, ketika 1 Maret 1932 diangkat kembali sebagai Kaisar di Manchuria oleh Jepang, dia tak mampu menunjukkan sikapnya yang secara pribadi menentang Jepang. Di hadapan rakyat, langsung dan tak langsung, sebagai Kaisar Manchuokou dia terlihat tunduk oleh kekuasaan Jepang, di bawah pemerintahan Kangde.

Lebih ironis lagi, Pu Yi menikmati hidup 'dalam jaminan Jepang,' di Wei Huang Gong selama masa ini. Sekaligus tak menunjukkan gairah untuk melakukan perlawanan, padahal beberapa kali dia beroleh isyarat dari tentara Tiongkok untuk tidak terlena oleh taktik Jepang.

Meskipun secara pribadi dia merasa dihinakan, ketika Jepang mewajibkannya mengenakan seragam Manchoukouo, yang berbeda dengan pakaian kebesaran kaisar dinasti Qing, toh pada saat pelantikan, dia memakai pakaian kebesaran sesuai kehendak kekaisaran Jepang.

Pu Yi mengenakan seragam untuk penobatannya dengan mengenakan gaun naga pada pengumuman aksesi ke altar surga. Bahkan, dia memfasilitasi saudaranya, Pujie menikahi Hiro Saga, sepupu jauh Kaisar Jepang Hirohito, yang sekaligus dinyatakan sebagai pewaris tahta Manchuria.

Pu Yi tak berkutik selama masa pemerintahannya, bahkan kediamannya selalu diawasi ketat oleh tentara Jepang. Jepang mengendalikan Manchuria selaiknya Jepang mengendalikan Korea dan negara-negara jajahannya di tempat lain.

Tak kuasa menghadapi situasi politik dalam negeri, antara tekanan Jepang dan perlawanan rakyat, Pu Yi akhirnya memilih jalan, mendalami ajaran agama Budha. Tapi, itu pun tak bisa dilakukannya secara leluasa, karena Jepang mengharuskannya memperdalam ajaran Shintoisme. Bahkan, akhirnya di bawah tekanan Jepang, Pu Yi memberlakukan Shintoisme sebagai agama nasional di Manchuria.

Sejumlah orang dekat dan menteri yang diangkatnya dan menjadi akses penting Pu Yi dengan pergerakan rakyat, diganti paksa oleh orang-orang yang dekat dengan Kekaisaran Jepang. Selama masa itu, aktivitas hidupnya sebagian besar hanya menandatangani undang-undang yang disiapkan oleh Jepang, melafalkan do'a, dan melakukan kunjungan resmi di seluruh kerajaannya.

Nasib Pu Yi makin memburuk, ketika rezimnya sudah sungguh tersungkur di bawah kendali Kekaisaran Jepang. Pada akhir Perang Dunia Kedua, Pu Yi ditangkap oleh pasukan Soviet (1945), kemudian bersaksi di pengadilan kejahatan perang di Tokyo (1945).

Soviey memperlakukannya lebih keras. Pu Yi merasa tersakiti, dan menyimpan kebencian mendalam, sebagaimana dia diperlakukan oleh Jepang. Tahun 1949, ketika Komunis Tiongkok memerintah di bawah Mau Zedong, Pu Yi menulis surat kepada Joseph Stalin, memohon agar dirinya tidak dipulangkan ke Tiongkok. Pu Yi menghabiskan hari-harinya dengan mendalami pemikiran Karl Marx dan Lenin yang sebelumnya dia baca di penjara.

Stalin menolak permohonan itu, dan mengembalikan Pu Yi ke Tiongkok pada 1950. Pemulangan Pu Yi sebagai bagian dari taktik politik Stalin mempererat hubungan dengan 'kawan baru'-nya, pemimpin Komunis di Asia Timur, Mao.

Mao mengirimkan Pu Yi ke kamp konsentrasi di Fushun - Provinsi Lioning, selama sepuluh tahun, sampai dia dinyatakan telah selesai direformasi. Pu Yi menyatakan dukungannya pada Partai Komunis Tiongkok dan memilih komunisme sebagai jalan hidupnya.

Mao mengapresiasi dan memberinya pekerjaan di Kebun Raya Beijing. Dan, ketika kekomunisannya tak diragukan, Mao mengangkatnya sebagai anggota Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok, sampai tahun 1964 hingga kematiannya. Pu Yi meninggal di Beijing karena kanker ginjal pada tahun 1967 selama Revolusi Kebudayaan berlangsung.

Selama hidupnya, Pu Yi menikah dengan Gobele Wong Rong atau Permaisuri Longyu (1906-1946). Pu Yi mempunyai tiga selir Wen Xiu, Shu (1907-1951), Tan Yuling (1922-1944), dan Li Yuqin (1928-2001). Mulanya Wen Xiu ingin dijadikannya sebagai Permaisuri, tetap Majelis Pertimbangan Kekaisaran tak memenuhi, karena dianggap kurang cantik sebagai permaisuri. Wen Xiu akhirnya menjadi selir dan berpisah pada 1931. Lalu dia menikah dengan Wang Rong (1906-1946) yang mati di penjara Tiongkok, karena mengonsumsi opium secara overdosis.

Tan Yuling yang menjadi selirnya sejak 1939, meninggal secara misterius setelah dirawat seorang dokter Jepang.  Dengan Li Yuqin (1928-2001) dia berpisar tahun 1958, yang selama tiga tahun sebeleumnya didiagnosis mengalami siroris. Pemerintah Komunis pimpinan Mao menikahkan dia dengan Li Shuxian, seorang perawat yang wafat tahun 1997 karena penyakit paru-paru.

Meski menikah dengan banyak isteri, Pu Yi tak mempunyai anak. Pu Yi adalah potret seorang kaisar boneka, yang mengakhiri hidupnya dengan derita.

Film The Last Emperor tak detil menggambarkan realitas pertama kehidupan Pu Yi. Kendati demikian, film ini ketika rilis tahun 1987 diunggulkan dalam banyak sektor kreatif, sebagai film terbail sutradara terbaik, skenario terbaik, gambar terbaik, editing terbaik, musik terbaik, kostum terbaik, set terbaik dan tata suara terbaik terdengar.

Selama proses produksinya, film ini melibatkan 19 ribu figuran dan menghabiskan 2.000 botol air mineral dan 225  kilogram kopi Italia, 950 liter minyak zaitun, serta menghabiskan 2.250 kilogram pasta diimpor.

Film ini merupakan cermin menarik bagi siapa saja penguasa di mana saja di belahan bumi. Seperti cermin sejarah yang memantik perenungan, lemahnya kepemimpinan seseorang melemahkan bangsanya. |

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya