Menyimak Samboja - Sepaku, Membayangkan Naypyidaw

| dilihat 1324

Bang Sèm

Riuh perbincangan pemindahan ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Semboja - Sepaku di Kalimantan Timur, tiba-tiba mengingatkan saya pada Naypyidaw, ibukota baru Myanmar, dari ibukota sebelumnya (sampai 2005), Yangon.

Meski Naypyidaw - Yangon masih dalam satu daratan, berjarak antara 327 km / 203 miles (via udara) atau 376 km / 234 miles (via darat). Bisa ditempuh dengan kendaraan darat.

Tak sama memang. Jakarta dengan Samboja - Sepaku sekira 1,269 km / 234 miles yang mesti ditempuh via udara, melintasi laut Jawa. Juga melalui alur lintas kelautan Indonesia (ALKI) II melalui laut Jawa dan Selat Makassar.

Berbeda dengan Naypyidaw yang merupakan lahan dengan zona ekologi yang rapuh, dengan hutan dan belukar biasa. Semboja - Sepaku merupakan kawasan hutan hujan tropis yang subur, baik hutan konservasi maupun hutan produksi.

Pemerintah Myanmar kudu membangun bandara baru dulu untuk melengkapi ibukotanya. Pemerintah Indonesia, bisa mengandalkan bandar udara internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman (SAMS) - Sepinggan, Balikpapan yang dibangun dan dikelola Angkasa Pura I, dan bandar udara internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto - Samarinda, yang dibangun dan dikelola Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Selain itu, ada pula tujuh lapangan terbang perintis (Senipah, Temindung, Tanjung Santan, Tanah Grogot, Bontang, Sangata, dan Datadawai). Tentu, Pelabuhan Semayang, selain pelabuhan bisnis Kariangau.

Pemerintah Myanmar yang disebut sebagai 'Junta Militer Burma,' membangun ibukota Naypyidaw tahun 2005 sebagai pusat pemerintahan, mulai dari Istana Kepresidenan dan Gedung Parlemen yang megah, Pagoda Uppatasanti yang merupakan replika persis dari Pagoda Shwedagon di Yangon, yang kelak diharap akan menjadi salah satu ikon baru Myanmar.

Pemerintah Myanmar juga Apartemen Pegawai Negeri yang setiap kementerian berbeda warna atapnya. Tentu, mereka juga membangun tangsi militer, dan Gemstone Museum. Pemerintah juga membangun waduk dan danau. Sejumlah sekolah baru juga dibangun, selain sekolah-sekolah yang sudah ada sebelumnya.

Sejumlah taman menghiasi bulevar. Di antara pusat kota yang lengang itu dengan bandara, dibangun Taman Herbalium Nasional, juga pusat penelitian benih.

Kalangan swasta membangun hotel, pusat perdagangan, stasiun televisi, sekolah, dan beberapa perangkat kota yang baru.

Pemerintah Myanmar mesti mengundang investor dan kontraktor untuk mempercepat proses pembangunan dan meramaikan ibukotanya, itu termasuk membangun instalasi komunikasi. Sejumlah perusahaan swasta dan BUMN dari Indonesia ambil bagian peruntungan bisnis di sini.

Pada saat pemerintah militer Myanmar membangun ibukota baru ini, sejumlah pertanyaan juga mengemuka. Misalnya: Apa pesan internasional yang ingin disampaikan ke masyarakat dunia dengan membangun ibukota yang baru? Apa dasar geopolitik, strategis, agama, administratif, ekonomi dan bisnis? Pun, sejumlah pertanyaan lain? Apalagi Naypyidaw secara geografis berada di persimpangan rute lalu lintas antara Cina dan negara-negara Asia Tenggara, di masa lalu.

Berbeda dengan Yangon yang nampak sesak dan crowded, Naypyidaw dengan bulevar yang luas dan ruas-ruas jalan yang lebar, lengang. Bandar udara internasional Naypyidaw pun tak sesibuk bandara-bandara internasional ibukota negara lainnya.

Beberapa kawasan ladang kering dan berdebut di musim kemarau, masih dikelola petani dengan cara tradisional. Sejumlah penduduk dan petani nampak bergerombol makan siang di bawah pohon sepanjang bulevar, dengan ladang mereka. Petugas polisi akan berada di sepanjang bulevar ini, bila tamu negara datang berkunjung ke sini.

Anak-anak sekolah, juga akan dikerahkan untuk berdiri bersama guru mereka mengibas-kibaskan bendera kertas di kiri kanan jalan dengan wajah berbedak, khas rakyat Myanmar.

Marie-Sophie Villin, seorang penulis asal Perancis menulis kesan yang sama dengan kesan yang saya terima ketika berkunjung ke sini, di bawah terik panas yang luar biasa menyengat. Villin menggunakan istilah, ibukota ini, dibangun sebagai kota 'ex nihilo.' Bahkan ketika hendak dibandingkan dengan Astana dan Brasilia.

Melintasi kota ini malam hari, tak keliru bila ada yang memberi julukannya kota hantu. Kontras dengan Yangon yang sibuk. Siang atau malam, mobil jarang melintas. Di siang hari, bahkan sapi, kerbau dan gerobak melintas di bulevard yang megah. Tak nampak dalam pandangan mata recana menyiapkan kota ini untuk dihuni sejuta penduduk. (baca: Istana Megah Menanti Suu Kyi di Kota Sunyi)

Di Naypyidaw hotel dibangun besar-besar, tapi sepi pengunjung. Para pebisnis dan bahkan kalangan pemerintahan antara bangsa, lebih senang menginap di Yangon, yang masih menjadi perhatian dunia. Bahkan, meskipun Naypyidaw dinyatakan sebagai pusat pemerintahan, kedutaan besar negara-negara asing masih bertahan di Yangon.  Seruan Aung San Suu Kyi yang kini memerintah (pada 16 Februari 2018), agar mereka memindahkan kedutaan besar ke Naypyidaw, belum terespon. Bahkan cenderung tak digubris.

Tak mudah memindahkan kantor, rumah dinas, dan wisma kedutaan besar dari ibukota lama ke ibukota baru, karena memakan biaya dan memerlukan persetujuan dari pemerintah induknya masing-masing.

Myanmar seperti Indonesia, di masa lalu, negara yang lebih populer dengan nama lama, Burma, ini terdiri dari berbagai kerajaan. Misalnya, Bagan, Sagaing, Ava, Bago, Mrauk-U, Taungoo, Amarapura, Mandalay, dan Mawlamyine atau Yangon.

Banyak anekdot, rumors, dan bisik-bisik, ketika Presiden Myanmar, Than Shwe pada 7 November 2005, tanpa penjelasan, memindahkan ibukota. Rumors yang populer adalah, para bomoh - astrolog, menasihat Than Shwe memindahkan ibukota Myanmar ke Pyinmana, dan mesti memberi nama ibukota baru, itu Naypyidaw.

Sesuai nasihat bomoh pula, di halaman Pagoda Uppatasanti disiapkan khusus kandang Gajah Putih yang, ketika saya kunjungi, bergolek-golek ditemani dua pawang. Sementara dari arah pagoda, terdengar pembacaan Bhagawad Gita dalam irama yang khas.

Nama ketika Pyinmana lenyap, sejak penduduk berpindah, dan diratakan pada tahun 2002. Sejak saat itu, sampai peresmian dan penataan di tahun 2012, pembangunan Naypyidaw, pemerintah Myanmar sudah menghabiskan dana sekitar 4 miliar dolar AS.  

Pyanmana lenyap, hanya beberapa desa masih tersisa.  Penduduk desa-desa itu juga berpindah ke daerah sekitar dan daerah lain yang agak jauh.

Menariknya, rakyat Myanmar tahu, bahwa Naypyidaw sebagai ibukota negaranya, pada tanggal 27 Maret 2006, ketika berlangsung parade militer, memperingati Hari Angkatan Bersenjata, melibatkan 12.000 prajurit yang baris berbaris.  

Naypyidaw bermakna "kursi kekuasaan," dalam bahasa Burma. Tapi, di ibukota itu, diumumkan tumbangnya kekuasaan Partai Solidaritas dan Pembangunan dalam Pemilihan Umum 8 November 2015, dan lepasnya kursi kekuasaan Presiden Jenderal pensiun Thein Sein pun direbut Aung San Suu Kyi pemimpin Partai Liga Nasional Demokrasi. Tapi, Naypyidaw tetap sunyi.

Akankah kelak ibukota baru Republik Indonesia di Samboja - Sepaku bernasib seperti Naypyidaw? Bila sejak kini dilakukan berbagai upaya kongkret merencanakan ibukota yang 'hidup' dan dinamis, tentu tidak !

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 220
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 434
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 432
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 402
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 502
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1584
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1373
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya