Manusia Cerdas versus Manusia Pandir

| dilihat 1481

Ngopi Pagi Bang Sém

Apa yang membedakan manusia cerdas dan manusia pandir? Pertanyaan ini secara sengaja dilontarkan seorang teman, Sabtu (20/9/20) dalam virtual conference sejumlah mantan aktivis mahasiswa dekade 70-an yang rata-rata sudah menjadi aki-aki dan nini-nini.

Saya tergelak. Ketika seorang teman, yang mengakhiri karirnya sebagai petinggi bicara dengan kalem, "manusia cerdas selalu waspada, manusia pandir selalu curiga." Beberapa teman perempuan saling menulis komen.

"Nggak.. gue nggak curiga ama laki gue koq.. waspada doang...,"cetusnya. Lantas dia ngomong, "Kalo gue beda deh. Manusia cerdas memperlakukan jabatan sebagai tantangan menjalankan amanah dengan kekuasaan, karenanya dia nggak demen nguber-nguber jabatan. Manusia pandir, memperlakukan jabatan sebagai peluang berkuasa dan ngelampiasin dendam dengan kemiskinan masa lalu.."

Lagi, saya tergelak. "Manusia cerdas itu diuber-uber jabatan, manusia pandir nguber-nguber jabatan," tanggap yang lain. "Manusia cerdas berorientasi profesional, fungsional. Manusia pandir berorientasi struktural," tambah teman yang wajahnya menutupi layar.

"Manusia cerdas menyelesaikan masalah dan punya cara untuk bertanggungjawab. Manusia pandir, bagian dari masalah dan selalu mencari alasan untuk ngeles dari tanggungjawab," ungkap yang lain.

"Manusia cerdas meletakkan kesalahan di bahunya. Manusia pandir meletakkan kesalahan di bahu anak buahnya," cetus yang lain. Teman lain, dengan kalem mengemukakan, "Manusia cerdas adanya menggenapkan, tiadanya mengganjilkan. Adanya diharapkan, tiadanya dirindukan."

"Ah.. lu gak berubah, dari dulu selalu berfalsafah," komen yang lain, yang pernah jadi pacarnya ketika masih jadi aktivis.

Teman yang guru besar senior angkat bicara. Menurutnya, "Manusia cerdas itu suka bumi, manusia pandir suka miskin." Dia pun ngomong laiknya sedang memberi kuliah daring di hadapan mahasiswa-mahasiswanya.

"Manusia cerdas selalu paham, hidup sungguh fana, dan akan berakhir di pemakaman dan menikmati akhir hidup di rumah ibadat. Manusia pandir, sukacita menghabiskan waktunya menjelang akhir di penjara."

Kami terdiam menatap layar. Ada juga yang tertunduk. "Sem, lu jangan ngakak aja dari tadi. Ngomong donk.. kayak dulu lu teriak-teriak sambil pegang megaphone di atas jeep," ujar teman perempuan, mantan komisaris berbagai badan usaha milik neneknya.

Saya pandangi wajah mereka di layar, satu-satu. "Bagi gue, manusia cerdas itu otaknye di kepala, manusia cerdas otaknye di perut, dengkul atau tempat lain," ungkap saya. Kami tergelak dari tempat masing-masing.

Semalam, saya teringat mendiang istri saya, ketika melihat akun instagram Anies Baswedan, gubernur Jakarta yang sedang meninjau lokasi pemakaman korban nanomonster Covid-19 hingga larut malam.

Anies berada di antara petugas pemakaman yang harus bergadang, karena kuatir bakal ada lagi jenazah yang dikirim rumah sakit untuk dimakamkan dengan prosedur Covid-19.

Menjelang wafat, 11 Maret 2017, dia pernah ngomong, akan tiba masa rumah sakit kewalahan menerima pasien, ketika datang wabah ganas akibat ketidakmampuan kita mengelola lingkungan. "Sistem kesehatan kita, termasuk pelayanan kesehatan di rumah sakit, belum baik," ungkapnya. Mendiang isteri saya, sampai menjelang pensiun dan wafah, bersama rekan-rekan sejawatnya, menghabiskan waktunya, membenahi sistem layanan rumah sakit terbesar di Indonesia. Meskipun untuk itu, dia mesti sering terjebak friksi dengan petinggi, atasannya di Kementerian Kesehatan.

Ketika Anies memberi isyarat dini tentang virus Corona yang kemudian kita kenal dengan Covid-19, anak sulung saya mengingatkan, "Omongan mama bakal jadi kenyataan nikh." Ketika itu, sejumlah petinggi merespon omongan Anies sebagai rumors dan sikap lebai menyikapi informasi. Padahal, Anies mengemukakan isyarat itu pada bulan Februari 2020, berdasarkan informasi akurat yang dikaji oleh para ahli epidemiologi.

Persoalan besar akan kita hadapi, menurut mendiang istri saya, karena terlalu banyak petinggi bermain-main di wilayah intuitive reason, padahal yang diperlukan adalah cara, way -- seperti sering saya ulang ungkap setiap kali menyikapi perkembangan penanganan nanomonster Covid-19.

Anies, sebagaimana halnya Doni Munardo - Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) - sebagai Ketua Satgas Percepatan Penanganan Covid 19, mempunyai cara yang berbeda -- boleh jadi kontradiktif -- dibandingkan banyak petinggi. Itu sebabnya, sampai Ramadan lalu, kurva tular virus ini mulai turun bertahap menuju landai.

Penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang terus dirongrong oleh berbagai petinggi, tidak maksimal. Banyak petinggi yang mempersoalkan dampak ekonomi penerapan PSBB lebih banyak dipengaruhi oleh akal-akalan politik, yang membuat mereka cemas, akan berdampak pada krisis politik.

Anies dan Doni yang lebih memikirkan menyelamatkan nyawa dan jiwa rakyat, konsisten, fokus pada penyelesaian krisis kesehatan. Karena krisis ekonomi hanya mungkin diatasi oleh manusia sehat.

Kebijakan Anies diawali dengan policy design, sebelum dia mengeluarkan suatu kebijakan. Bukan tiba masa tiba akal, lantas memutuskan suatu kebijakan. Termasuk ketika secara reaktif membaling Anies dengan tudingan sebagai penyebab rontoknya indeks harga saham gabungan (IHSG) di bursa efek Indonesia, pekan lalu.

Naik turun ISHG di bursa itu soal biasa. Tapi reaksi Menko Perekonomian dan sejumlah menteri ekorannya, sungguh lebai. Mereka terkurung was-was, jebloknya ISHG membuka kualitas kinerja mereka yang memang tak terasakan manfaatnya oleh rakyat.

Kepada teman-teman para mantan aktivis yang bincang jarak jauh di akhir pekan, itu saya katakan, "coba baca ulang dan cermati, apa sungguh yang sedang terjadi di balik kalimat Anies saat memposting dirinya di pemakaman yang tak akan terliput oleh media prima... bahkan boleh jadi bakal dibuli oleh buzzer." 

Membaca "TPU Pondok Ranggon" dan "TPU Tegal Alur" saya sudah bergidik. Tapi, manusia dan pemimpin cerdas (dan karenanya mampu mengelola nurani dan perasaannya) - Anies Baswedan, mengunjunginya.

"Melihat kembali lokasi pemakaman. Mendengarkan cerita, tantangan para petugas di sana. Mereka menggali dan memakamkan jenazah dengan protokol COVID -19. Di bawah terik matahari, maupun di bawah sorotan lampu," tulis Anies.

"Di tempat ini, tanah-tanah gundukan kuburan, itu belum memadat. Ada empat puluh lima jenazah hari ini dikuburkan. Malam telah larut, penggali kubur belum akan pulang. Menanti jika datang kewajiban lagi di tengah malam," tulisnya kemudian.

Lantas dia berpesan, "Jangan tinggalkan rumah, kecuali sangat penting. Tetaplah di rumah dulu. Jika harus pergi keluar, selalu gunakan masker."  Pesan halus tanpa tendensi, apalagi mengurusi citra yang dihubung-hubungkan dengan peristiwa politik yang belum jelas, apakah masih akan terjadi.

Beda dengan para petinggi yang bersibuk-sibuk dengan politik, khasnya Pilkada serentak, yang diwaspadai bakal menjadi kluster-kluster baru. Berita media yang kemudian kita terima dan baca adalah, para petinggi yang sibuk ngurusi politik - Pilkada itu sudah ketepaan nanomonster Covid-19.

Jangan keluar rumah tanpa menggunakan masker, menjaga jarak - menghindari kerumunan, dan cuci tangan -- secara benar -- dengan sabun, kecuali ingin ke Wisma Atlet dengan antrean melelahkan, lantaran rumah sakit rujukan sudah tak mampu menampung, untuk lalu ke TPU Pondok Rangon dan tak pernah pulang lagi ke rumah selama-lamanya.. |

Editor : Web Administrator
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 737
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 895
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 846
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Energi & Tambang