Dengan Glamping Membaca Tapak Kekuasaan Ilahi

| dilihat 1241

Naluri berpetualang ke alam bebas di masa muda, bisa diulang lagi ketika usia tak lagi muda. Aktivitas berkemah (camping) misalnya.

"Sekali-sekala di masa tak lagi muda, kita perlu berkemah di alam terbuka. Boleh melanjutkan sisa hobi mendaki gunung dan menempuh rimba di masa muda," ujar Sofhian Mile, politisi yang lama berkiprah dan pernah menjadi anggota parlemen mewakili Golkar di masa lalu.

Untuk apa?

"Untuk menghidupkan kembali kesadaran dan interaksi kita kepada alam. Ini merupakan bagian dari cara memahami hakekat hubungan manusia dengan alam, dengan sesamanya, sebagai bagian dari upaya membangun kesadaran imani kepada Allah Maha Pencipta," lanjutnya.

Belakangan, aktivitas berkemah di alam terbuka bagi kalangan yang tak lagi muda usia memang marak. Glamping, istilahnya. Sejenis perjalanan ke alam bebas, bermodal pengalaman masa lalu, namun tanpa kerumitan berkemah secara tradisional.

Kala hidup bersekutu dengan alam sudah menjadi kemewahan, karena berbagai keterbatasan waktu dan peluang, lantaran terlalu banyak waktu terambil untuk kepentingan bisnis, politik, dan lain-lain, glamping adalah solusinya.

"Glamping mempertemukan kemewahan dalam tanda petik itu dengan kesederhanaan hidup. Bisa juga dipergunakan sebagai peluang melakukan permenungan yang mematangkan religiusitas kita," sambung Sofhian lagi.

Bagi Iwan Abdurrachman, aktivis Wanadri - organisasi pendaki gunung dan penempuh rimba yang bermarkas di Bandung, aktivitas di alam terbuka, itu ibarat mengkaji perintah Tuhan, membaca, yang untuk pertama kali disampaikan malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW di gua hira, pada usianya yang ke 40 tahun.

Menurut pencipta sejumlah lagu yang dipopulerkan Bimbo (antara lain, Flamboyan) dan Burung Camar yang dipopulerkan Vina Panduwinata, itu Rasulullah merespon dengan mengatakan, "Ma anaa bi qari.. aku tidak bisa membacanya.."  Padahal Rasulullah seorang yang cerdas dan tidak buta huruf.

Rasulullah Muhammad seorang ummiy, dengan tingkat kecerdasan pengalaman yang luar biasa, dan menyatakan, "tidak bisa membaca," karena yang diperintahkan Allah adalah membaca semesta, membaca alam, yang di dalamnya terdapat berjuta tapak perjalanan hidup manusia, sejak Nabi Adam.

Perintah itu, menurut lelaki yang biasa dipanggil Abah iwan, itu disampaikan jibril, ketika Rasulullah Muhammad sedang melakukan kontemplasi di Gua Hira, yang terletak di Jabal Nur, yang berarti bukit cahaya.

"Bukit itu tidak tinggi bagi para pendaki gunung dan penempuh rimba, tapi tidak semua orang mampu mendakinya sebagaimana mereka mendaki gunung yang lebih tinggi, seperti Mount Everest di Himalaya, misalnya," cerita Abah ketika jumpa dengan koleganya di salah satu sudut Gedung Indonesia Menggugat, Bandung beberapa waktu lalu.

Ungkapan Abah Iwan itu menarik. Bahkan, menjadi isyarat, mengapa kita perlu mengkaribkan diri dengan alam terbuka di bukit atau di pantai.

"Coba renungkan," kata Sofhian, sambil mengelus misai di atas bibirnya.

Sofhian, Bupati Luwuk Banggai (2011-2016), kemudian mengajukan pernyataan renungan, "Coba deh renungkan, mengapa Allah memilih gunung sebagai tempat permenungan bagi para rasul-Nya."

Dia kemudian mengemukakan, gunung dan bukit adalah amsal bagi siapa saja manusia untuk memahami hakekat hidup, bahwa manusia mesti mencapai puncak, memahami cara mendaki, memahami hakekat waktu, berapa lama harus di puncak, dan mengerti bagaimana cara turun.

Tak hanya itu. Menurut Ade Adam Noch, yang lama berkarir sebagai birokrat dan mencapai puncaknya sebagai Deputi Kepala BNP2TKI (Badan Pengerah dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia), gunung dan bukit memberi pembelajaran tentang tipologi manusia.

"Ada manusia dengan tipe campers, yang senang berkemah hanya di punggung bukit dan enggan mendaki ke puncak. Ada manusia dengan tipe hickers, yang terus bergerak mendaki pencapaian sampai ke puncak. Ada juga manusia dengan tipe climber, yang tak pernah lelah mendaki tebing dengan segala risiko, sampai tahu-tahu, puncak sudah berada di telapak kakinya," ungkap lelaki asal Ternate yang biasa dipanggil Ko Ade itu.

Alhasil, melakukan kegiatan berkemah di bukit yang disebut glamping, pada usia tak lagi muda penting maknanya. Itu sebabnya, Afni Achmad, mantan aktivis kampus yang kemudian menjadi dosen dan politisi, serta sempat terpilih sebagai anggota parlemen (mewakili Partai Amanat Nasional )di DPR RI, tak pernah abai dengan kegiatan glamping.

"Ini salah satu aktivitas hari tua saya, selain jalan sehat," ungkap insinyur elektro yang biasa dijuluki, 'lelaki berhanduk merah.' Afni seolah ingin memberi isyarat, "The Soldier never die..." 

Bagi Ferry Mursidan Baldan, Menteri Agraria dan tata Ruang (2014-2016) yang juga pernah memikul amanah sebagai anggota parlemen di DPR RI dan Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Padjadjaran, glamping itu multi manfaat.

"Intinya sih supaya kita terlatih untuk bersikap tahu diri sebagai manusia, bahwa kita bukan siapa-siapa ketika berada di alam terbuka. Kita hanya insan. Ciptaan Tuhan yang sangat kecil," katanya.

Selain itu, glamping adalah aktivitas jeda kita dari hiruk pikuk aktivitas reguler. "Ini adalah momen saat kita mengambil jarak dengan rutinitas kehidupan. Memaknai peluang yang diberikan Tuhan untuk mencoba memanjat gunung atau bukit. Momen untuk menyalurkan naluri manusia menemukan tantangan, terpencil, berani, memaknai hakekat hidup merdeka," ungkapnya.

Yang pasti, menurut Afni, glamping merupakan pengalaman di mana kita bisa memilih alam yang unik, dengan lingkungan yang menakjubkan, dan menambah pengalaman hidup —tanpa mengorbankan sedikitpun kenyamanan. "Glamping merupakan cara untuk terhubung dengan lingkungan alam, untuk melatih keseimbangan nalar, naluri, rasa dan indria," cetus Afni.

Menurut Afni, sebagai mantan aktivis di masa muda, kegiatan glamping perlu untuk mendapatkan momen perenungan. "Di atas bukit, dalam suasana yang jauh dari hiruk pikuk kota, kita perlu merenung ulang apa yang sudah kita perbuat di masa lalu untuk bangsa ini. Karena kita harus terus berkontribusi dan tak boleh menyerah dalam berjuang. Dengan glamping juga kita bisa merenung ulang, bagaimana dulu para pejuang melakukan gerilya, menelusuri lembah, ngarai, dan bukit," jelasnya.

Dikatakannya, kian tambah usia, mungkin fisik sudah mulai melemah, tapi secara spiritual terus menguat. "Glamping memandu kita mendapatkan keseimbangan ruhani dan jasmani. Pejuang tak pernah lelah menemukan cara untuk mengabdi kepada bangsanya. Glamping, menyediakan ruang untuk itu," tambahnya sambil tertawa.

Dia menambahkan, saat melakukan glamp, kita dapat berinteraksi dengan alam melalui perenungan yang luar biasa, termasuk melakukan renungan dan refleksi personal dan sosial. Bahkan melakukan perenungan diri untuk bagaimana berkontribusi kepada lingkungan sosial, dan bangsa.  

"Glamping melatih kita kian ramah kepada lingkungan. Mencumbui alam dengan cinta," cetus Ade.

Dia menyebut, sebagai putra Ternate, glamping punya makna khas untuk melakukan evaluasi panjang perjalanan hidup dengan segala rintangan, dan akhirnya mendekat ke tujuan.

"Tagi ngoko liba-liba. Bajalan jao gudu kawasa. Gudu moju si fosusa. Seba se fowaje koa," sebutnya. Maksudnya, kita melangkah (menjalani hidup) pada jalan yang berliku. Kita menganggap telah berjalan begitu jauh. Saking jauhnya, terasa susah. Tapi, bila sudah dekat kita tidak tahu mau bilang apa.

"Benar yang dikatakan Abah Iwan.. kita perlu berkemah di usia tak muda, karena alam semesta menyediakan tapak-tapak kekuasaan Ilahi yang harus kita baca. Ini motivasi kita melakukan glamping," cetus Ferry.. | ferren, sem

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya