Bincang Keseimbangan Semesta di Tepian Tasik Putrajaya

| dilihat 1099

Bang Sém

Pagi baru 'merangkak.' Gerry -- begitu saya sebut namanya -- dan saya melangkah menelusuri tepian tasik buatan yang juga reservoir kawasan Putrajaya.

Jembatan Seri Wawasan yang sepanjang malam hingga subuh menampakkan pesonanya dengan lampu sorot warna-warni, 'menampakkan' sosoknya dengan bentang baja yang kuat.

Gerry, 50, eksekutif profesional asal Manchester yang tinggal di Littleton - London, menikmati suasana tasik sambil jalan sehat.

Mirip dengan suasana tasik Queen Mary, yang juga berfungsi sebagai reservoir.

Sudah dua pekan dia meninggalkan kediamannya, menikmati masa libur sendiri.

Dia melancong ke Australia, dan menikmati Sydney, Perth, Melbourne, dan Adelaide, sebelum datang ke Putrajaya.

Sambil berjalan, Gerry bercerita, di Malaysia dia akan ke Alor Setar dan kemudian Pulau Langkawi di Kedah. Sebelum kembali ke London, dia akan ambil masa untuk singgah di Melaka.

Sambil terus melangkah, kami berbincang tentang krisis ekologi yang melanda dunia. Termasuk anomali perubahan iklim dengan cuaca ekstrim. Tak terkecuali pemanasan global yang kian mengkhawatirkan.

Di tengah krisis ekologi yang mempengaruhi kondisi ekosistem kehidupan manusia dan semesta, menurut dia, di berbagai belahan bumi keseimbangan semesta sudah sangat sering dan ramai dibincangkan orang.

Paling tidak, sejak Conference of the Parties (COP) 21 digelar di Paris (12/12/2015), mengikat 196 negara, dalam Paris Agreement (Perjanjian Paris) untuk menurunkan emisi dan kolaborasi 'mewujudkan' langit biru.

Perjanjian itu berlaku sejak 4 November 2016. Tujuan yang hendak dicapai perjanjian, itu adalah membatasi pemanasan global hingga di bawah 2, hingga 1,5 derajat Celcius, dibandingkan dengan tingkat pra-industri.

Gerry memuji Gubernur Jakarta Raya, Anies Rasyid Baswedan dari Indonesia, yang menurutnya, konsisten berkontribusi, untuk mencapai puncak global emisi - gas rumah kaca sesegera mungkin untuk mencapai dunia yang netral iklim pada pertengahan abad ke 21.

"Dia (Anies) konsisten melaksanakan berbagai hal yang disepakati para pemimpin negara untuk sungguh mewujudkan Perjanjian Paris tersebut, sebagai tonggak penting dalam proses perubahan iklim multilateral," ujar Gerry.

Tidak mudah memang. Apalagi, dua tahun pandemi nanomonster Covid-19, menghadapkan berbagai negara maju, berkembang, dan bertumbuh, sama menghadapi persoalan transformasi sosial dan ekonomi, serta pemanfaatan sains dan teknologi terbaik yang tersedia.

Ironisnya, meski merebak kesadaran di berbagai belahan dunia, bahwa pendemi global -- biowarfare -- terkait kuat dengan rusak dan merosotnya daya dukung alam, tak sedikit negara yang masih mendua.

Termasuk dalam mengabaikan kebijakan politik ekologi (berbasis sumberdaya alam). Bahkan, di berbagai negara, pemerintah terkesan hanyut dalam ambisi membangun kota-kota -- termasuk megacity -- yang meluaskan alih fungsi lahan.

Padahal, James Martin - tokoh revolusioner dari Oxford University, sejak 2003 sudah berteriak lantang, mewanti-wanti tentang krisis iklim, melalui karyanya, "The Wired Society" dan "The Meaning of the 21st Century: A Vital Blueprint for Ensuring Our Future" (2007)

Martin, dengan kecerdasan luar biasa, minat yang luas, energi tak terbatas, dan komitmen teguh, menginspirasi jutaan orang untuk menjawab tantangan abad ke 21 di depan mata.

Pendiri Oxford Martin School, itu membangkitkan kesadaran untuk mengembalikan jalur dan institusi pendidikan, ke dalam esensi pedagogis, dengan mengendalikan berbagai praktis pendidikan agar tak jauh terseret ke dalam pragmatisme pengajaran semata.

Pendidikan mesti dikembalikan ke jalurnya untuk mencapai pendidikan kemanusiaan, membentuk human investment dan human capital, agar manusia menjadi subyek. Bukan obyek pasar kerja.

Setiap manusia, khasnya generasi kemarin dan kini, mesti menyadari kederhakaannya terhadap semesta, dan mengakui kekurangan, kelemahan, dan kegagalannya menjalankan fungsi utama sebagai pemelihara alam semesta.

Gerry sepaham dengan saya untuk menyatakan, bahwa komitmen konsisten dan konsekuen atas Perjanjian Paris, mesti berangkat dari rancangan nasional di masing-masing negara.

Apalagi, Perjanjian Paris menyediakan kerangka kerja untuk dukungan keuangan, teknis, dan pengembangan kapasitas bagi negara-negara yang memerlukannya. Tentu yang sungguh-sungguh menunjukkan kesadaran dan antusiasme menjawab tantangan aktual.

Mulai dari menyelamatkan bumi dengan dukungan sains dan teknologi mutakhir. Setarikan nafas, memaknai komitmen dan kewajiban negara-negara maju yang terikat Perjanjian Paris untuk kepentingan membalik kemiskinan.

Basisnya adalah mengelola demokrasi sebagai cara mencapai keseimbangan semesta antar manusia, masyarakat, negara dan bangsa.

Dalam konteks ini, pembangunan (tak terkecuali pembangunan sosial - ekonomi - politik) mesti dipahami sebagai perjuangan kolektif kebudayaan dan peradaban di atas landasan kemanusiaan, keadilan, inklusivisme, yang mesti dikembangkan sebagai komitmen pribadi.

Tema besar 'Suara Jelata, Aspirasi Negara,' yang menjadi sesanti HAWANA (Hari Wartawan Nasional) 2022 - Malaysia di Melaka (29/5/22) relevan dan kontekstual dengan hal ini.

Dalam kontreks Malaysia dan Asia Tenggara, sesanti atau tema besar tersebut, menjadi simpul komitmen yang penting untuk dipahami para pemimpin negara dan pemerintahan.

Itu pun kalau para pemimpin pemerintahan negara konsekuen memperjuangkan dan mewujudkan hasrat, "bangkit bersama dengan kebangkitan yang kokoh." Antara lain dengan berfikir, bersikap, dan bertindak 'satunya kata dengan perbuatan.'

Penyelamatan bumi, membalik kemiskinan, menjaga keseimbangan keterampilan dengan kearifan, gaya hidup lestari dan berkelanjutan, penguatan kedaulatan dan ketahanan pangan - air - energi, menghindari dan mengakhiri perang, menghentikan kejahatan kemanusiaan, pengendalian bandwitch, mesti didukung oleh penguatan akses terhadap ekstensi kesehatan dan pendidikan. Semua mesti digerakkan dari dalam keluarga.

Saya dan Gerry berhenti dan rehat. Kami duduk di kursi taman, memandangi gedung SPRM (Suruhanjaya Pemberantasan Raswah), lalu memandang ke Istana Sultan Selangor, Masjid Putera dan Kantor Perdana Menteri Malaysia - Seri Perdana.

Di benak saya melintas jalur aksi mewujudkan keseimbangan semesta, yang mesti bermula dari ketahanan keluarga sebagai pusat gerakan melawan ketidak-adilan dan memberantas korupsi. Nafasnya adalah agama dan budaya.

Rancangan dan program aksinya adalah pemerintahan yang dikelola dengan menegakkan good governance, dengan politik perkhidmatan memenangkan suara jelata sebagai aspirasi negara.

Perjuangan masa depan adalah perjuangan serempak manusia dan kemanusiaan sebagai penggerak keseimbangan triangle of life (manusia - Tuhan - semesta), sesuai tugas utama manusia sebagai rahmat atas alam.

Gerry tersenyum ketika saya bagitahu Putrajaya tempat kami duduk pagi itu, dulu adalah perkebunan sawit Perang Besar, yang kini dan esok mesti berubah menjadi sentra semangat perang besar melawan ambisi manusia yang menempatkan kekuasaan hanya untuk kekuasaan semata. |

Editor : delanova
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 918
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1153
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1411
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1556
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 712
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 869
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 820
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya