Atasi Persoalan Hutan dari Hulu Sampai ke Hilir

| dilihat 1366

Bang Sém

Rakyat jiran Malaysia akan repot lagi mengatasi kepungan jerebu (kabut), setiap musim kemarau tiba.

Sejak sepekan terakhir penduduk Negeri Sembilan, Selangor, Melaka, Putrajaya dan Kuala Lumpur sudah diperingatkan oleh MetMalaysia - badan meteorologi -- untuk siaga menghadapi kepungan jerebu yang kini masih datang dalam jumlah sedang.

Sambil berharap angin Muson Barat Daya bertiup stabil, pihak MetMalaysia sudah mewanti-wanti rakyat untuk mengendalikan udara di lingkungannya, seperti berhenti merokok, mensetel pengatur suhu mobil ke pengaturan daur udara, meninggalkan aksi membakar sampah kebun, dan lain-lain.

MetMalaysia sendiri, berupaya dengan program aksi pengendalian cuaca. Tapi, selama titik api di bagian tengah dan selatan Sumatera masih mengirimkan jerebu, mereka akan kewalahan.

Pihak jiran Malaysia menghargai upaya yang ditempuh pemerintah Indonesia, baik aksi langsung pemadaman kebakaran, pembentukan badan pengelola gambut, dan berbagai ikhtiar lain.

Selama empat tahun terakhir, kebakaran hutan memang selalu berulang, kendati dalam Debat Capres Pemilihan Presiden 2019, Presiden Jokowi selaku petahana, mengemukakan keberhasilannya menghentikan kebakaran hutan.

Seorang sahabat, jurnalis senior Malaysia menulis dalam grup whatsapp, selain ikhtiar memadamkan api dan berbagai ikhtiar lain, mengatasi persoalan bersama, kita juga perlu lebih intens berdo'a. Berharap Allah menggerakkan awan ke posisi tertentu, sehingga terjadi hujan yang mampu memadamkan api.

Konfius, kata sahabat yang lain. Manusia yang berbuat dosa dengan merusak alam, tanpa pernah bertobat, meminta Tuhan menyelesaikan persoalan.

Presiden Jokowi, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Sitti Nurbaya Bakar dan berbagai pihak berwenang terkait, tampak berusaha mengelola daya otoritasnyanya menghentikan kebakaran hutan.

Tapi, tak berdaya di sidang pengadilan perdata. Presiden Jokowi dan pemerintah Indonesia kalah menghadapi gugatan pengusaha yang diduga menjadi pemicu kebakaran hutan. Bahkan, kasasi-nya ditolak Mahkamah Agung.

Berbagai referensi pengalaman berbagai negara mengatasi kebakaran hutan, ikhtiar mengatasi masalah kebakaran hutan, hanya satu: aksi pencegahan yang sistemik, terstruktur, dan massif.

Langkah pertama dan utama yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran kolektif seluruh anasir pemerintah dan rakyat untuk mengubah minda (mindset). Keyakinan bahwa pembakaran sebagai cara murah membuka lahan, harus berubah secara revolusioner dan progresif.

Syukur-syukur masih ada kesadaran spiritual dan religius, yang memandang pembakaran hutan merupakan tindakan derhaka kepada Pencipta Alam Semesta.

Pembakaran hutan,  selain berdampak buruk pada orang dan properti, juga menghancurkan budaya dan peradaban manusia. Tak terkecuali, menyebabkan kerusakan pada satwa liar di daerah yang terkena dampak.

Kebakaran hutan menghancurkan semua flora dan fauna di habitatnya, kecuali mamalia besar dan beberapa burung yang berhasil melarikan diri ketika lidah api mendekat.

Kebakaran hutan, apalagi akibat pembakaran hutan, secara ekonomi menghilangkan nilai keekonomian hutan, termasuk nilai keekonomian hutan dari wisata. Tak kalah parah, kebakaran hutan berpengaruh langsung pada kualitas lingkungan -- keanekaragaman hayati -- dan bentang alam. Secara sosial berdampak sangat luas terhadap perlindungan umum yang meliputi pengaturan rezim air, kualitas air, pemurnian udara dan penyimpanan karbon.

Kebakaran hutan juga menawarkan ancaman dalam berbagai risiko, seperti batu jatuh, tanah longsor, erosi, banjir besar, dan lain-lain. Muaranya adalah penghancuran atas kualitas lahan. Ketika hal ini terjadi, maka secara serta merta kebudayaan dan peradaban juga akan hancur, lantak ditelan api.

Saya sepaham dengan beberapa teman, bahwa kebakaran hutan -- terutama yang disebabkan oleh pembakaran hutan, bermula dari sikap tamak manusia. Karenanya tak mempunyai akhlak terhadap alam.

Dalam konteks itu, mitigasi menjadi penting. Apalagi siklus iklimnya sudah pasti, sudah dapat diprediksi bila kemarau tiba, meski karena pemanasan global, cuaca sering bergerak lebih cepat dari kemampuan manusia mengatasinya.

Penyebab utama kebakaran hutan adalah manusia, karena dari pengalaman kebakaran hutan selama ini, kita memahami kebakaran hutan adalah "pembakaran yang berkembang tanpa kendali, dalam waktu dan ruang, yang selalu berulang." Kendati boleh saja pakar hutan bersibuk-sibuk dengan intuitive reason-nya untuk mengklasifikasi kebakaran itu dalam berbagai sub formasi lebih kecil, seperti  semak belukar, heathland, hotspot akibat batuan geologis -- seumpama arangbatu (batubara), dan sebagainya.

Kebakaran hutan, 90 persen disebabkan oleh manusia, mulai dari aktivitas ekonomi atau akibat kebiasaan buruk sehari-hari (barbecue, api unggun, dan puntung rokok).  

Secara antropogenik, kebakaran hutan memang tersebab oleh kecerobohan dan perilaku berbahaya dalam kehidupan sehari-hari.

Ke depan, pemerintah -- jauh-jauh hari -- mulai dari proses penyusunan perencanaan program pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan rakyat, sudah harus menyiapkan rancang kebijakan - policy design. Terutama minda (mindset) untuk jangka waktu tertentu -- lima tahun, misalnya, hanya fokus pada aksi dan tujuan konservasi, dengan membatasi pikiran untuk mendulang pendapatan negara dari hutan.

Batasi kawasan budidaya hutan hanya untuk jenis-jenis tertentu saja yang bermanfaat langsung pada kesejahteraan rakyat kebanyakan, semisal: bambu, herbalium, dan wisata. Kendalikan secara menyeluruh kebijakan pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan, misalnya, sampai proses konservasi - termasuk penanaman dan pemeliharaan hutan --  sudah memungkinkan membudidayakan hutan secara terbatas.

Hilangkan untuk sementara waktu pemahaman tentang hutan industri, dengan mengubah cara berfikir mengelola industri sampah untuk kepentingan-kepentingan yang selama ini menjadi pemicu kebakaran hutan. Antara lain, pengolahan limbah hutan menadi particle board dan lain-lain.

Pengelolaan otoritas publik secara kreatif, inovatif, dan inventif juga menjadi penting. Dalam konteks itu, perencanaan pembangunan nasional, mesti fokus menentukan lokomotif pendapatan negara ke depan. Terutama, wisata alam dan lingkungan.

Akankah Indonesia mampu mengendalikan supaya tak lagi jadi eksportir jerebu? Tentu, mampu. Lakukan kerjasama operasional lebih intens dengan negara-negara serantau (ASEAN) dan lakukan secara konsisten dan konsekuen.

Selebihnya, pilih figur yang tepat untuk menangani hutan dan lingkungan, yang mendahulukan cara menyelesaikan segala kerumitan yang khas, dan menghentikan produksi alasan setiapkali kebakaran dan pembakaran hutan terjadi.

Orang baik saja tidak cukup untuk mengelola hutan dan lingkungan. Atasi persoalan kebakaran hutan, dari hulu sampai ke hilir ! |

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Sainstek
25 Okt 24, 10:37 WIB | Dilihat : 678
Maung Garuda Limousine yang Membanggakan
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 2419
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 2658
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 2892
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
27 Okt 24, 17:53 WIB | Dilihat : 847
Pencapaian Industri Halal Malaysia
12 Okt 24, 12:51 WIB | Dilihat : 1202
Dialog dengan Karyawan di Penghujung Operasi Perusahaan
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 2114
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 2305
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
Selanjutnya