Trump Menebar Mimpi Buruk Imigran

| dilihat 1462

MEKSIKO, AKARPADINEWS.COM | TATAPAN kosong tersirat di wajah Alberto Lopez. Pria berusia 25 tahun itu terpaksa harus menguburkan mimpinya untuk hidup sejahtera di Amerika Serikat (AS). Dia mengurungkan niatnya ke negeri Paman Sam setelah Donald John Trump memenangkan pemilihan presiden yang digelar 8 November lalu.

"Sekarang semuanya berubah," kata imigran asal wilayah bagian selatan Chiapas, Meksiko itu. Lopez berencana meninggalkan Chiapas lantaran tak ingin hidup miskin. Semula, dia kian yakin melangkah lantaran calon presiden yang diusung Partai Demokrat, Hillary Clinton, diprediksi bakal menang di ajang suksesi. Namun, prediksi itu salah. Trump yang diusung Partai Republik yang berhak melaju ke Gedung Putih.

Lopez mengurungkan niatnya lantaran khawatir berurusan dengan pihak imigrasi AS yang di bawah kepemimpinan Trump akan memperketat kontrol dan menindak tegas imigran yang berstatus ilegal, apalagi yang memiliki rekam jejak sebagai penjahat.

Lopez memutar rencananya. Dia ingin mencari pekerjaan di Nogales, atau pulang ke kampung halamannya. "Mereka (otoritas AS) akan menahan semua migran, dan jika memang seperti itu, lebih baik tinggal di sini, dengan orang-orang sendiri, bahagia, dan hanya bertahan untuk itu," ujarnya.

Lopez sebelumnya sempat tinggal selama dua tahun di Arizona dan Utah, negara bagian barat di AS. Di sana, dia bekerja di sektor konstruksi sebelum dideportasi pada Januari lalu.

Dia hanya satu dari ribuan imigran asal Meksiko yang tengah dibayangi keresahan. Ada pula yang berupaya melompati dinding pembatas AS-Meksiko, dan mempertimbangkan untuk pulang ke negaranya. Selain dari Meksiko, mereka juga banyak yang berasal dari kawasan Amerika Tengah yang miskin. Mereka ditampung di Nogales yang bergurun, yang menjadi salah satu pintu masuk imigran Meksiko ke AS.

Maria Engracia Robles, seorang biarawati Katolik Roma yang menjalankan tugas di El Comedor menilai, rencana mendeportasi migran dan membangun pagar perbatasan di Nogales yang akan dilakukan Trump, akan menyebabkan lebih banyak penderitaan dan kekhawatiran. "Lebih menderita, air mata, keluhan, dan banyak orang di Meksiko tanpa pekerjaan, tanpa apa-apa yang harus dilakukan dan tidak ada tempat untuk pergi," kata Robles, yang juga menyediakan makanan gratis, pakaian dan perawatan medis dasar. "Di sini tidak ada pekerjaan, dan gaji yang memprihatinkan," imbuhnya. Para imigran juga rawan terjebak pelaku kejahatan perdagangan manusia yang menjanjikan untuk menetap di AS.

Tersedianya lapangan pekerjaan, menjadi alasan imigran Meksiko berbondong-bondong ke AS. Kondisi ini dimanfaatkan pelaku kejahatan penyelundupan manusia. Para pencari kerja juga kerap dipalak dengan biaya sekitar U$4 ribu per orang untuk mendapat tiket sekali jalan melintasi perbatasan.

Perbatasan AS-Meksiko memang menjadi salah satu perbatasan tersibuk di dunia. Setidaknya, menurut surat kabar El Universal Meksiko, ada satu juta orang melintasi kawasan perbatasan. Sekitar 400 ribu mobil dan 15 ribu truk, setiap hari melintasi kawasan perbatasan. Dari tahun ke tahun, jumlah imigran dari Meksiko ke AS yang meningkat, menyisahkan persoalan yang menghantui warga AS seperti kejahatan, penyalahgunaan narkotika, pengangguran, konflik, pembunuhan, pemerkosaan, hingga munculnya gang-geng kekerasan.

Pemerintah AS telah jauh hari menyadari persoalan tersebut. Karenanya, di tahun 1951, dibangun dinding pembatas di perbatasan. Kini, dinding perbatasan itu berdiri, dengan panjang 2.000 mil (3.200 km), ketinggian 25 kaki, tebal, yang mengikuti medan berbatu dari barat dan timur kota. Di luar dinding pembatas di sisi wilayah AS, terdapat kamera dan sensor. Dengan begitu, aparat dapat melacak dari jarak jauh pergerakan para imigran. Kendaraan aparat imigran AS juga aktif berpatroli.

Para imigran yang nekat ke AS, juga harus bertaruh menghadapi cuaca dan melalui medan perjalanan yang menantang. Belum lagi gangguan preman, pengedar narkoba, dan ular berbisa.

Jose Flores, 19 tahun, migran asal Honduras yang berangkat ke AS tiga bulan lalu mengaku ada bahaya yang ditimbulkan oleh geng kriminal, kekerasan, dan prospek pekerjaan yang suram di negara asalnya. "Saya membayangkan akan mendapatkan hal yang lebih sulit untuk menyeberang," katanya. "Tapi apa yang tidak berubah jika kita mencari kehidupan yang lebih baik."

Tak sedikit pula di antara mereka yang bersembunyi di atas truk agar bisa melewati perbatasan. Jika diketahui aparat, mereka bisa terbebas dari jerat hukum jika memberikan suap.

Meski dibatasi dinding pembatas dan kontrol yang ketat, banyak imigran gelap yang mampu menembusnya. Mereka mampu menembus wilayah perbatasan di California, Arizona, New Mexico, dan Texas. Para imigran ilegal pun dapat menyusup lantaran bantuan para penyelundup (coyote) yang mengetahui jalur-jalur tikus untuk menghindari jerat aparat imigrasi.

Karenanya, ada pula imigran yang tidak peduli dengan ancaman Trump yang akan mendeportasi, bahkan memenjarakan imigran. Apalagi, sebelum Trump dinyatakan menang, banyak imigran yang sudah bergegas menembus wilayah perbatasan.

"Saya benar-benar tidak peduli dengan Presiden Trump. Saya akan menyeberang," kata Alexi Solano, 20 tahun, migran dari El Salvador. Solano nekat melakukan langkah tersebut karena istrinya dan anak-anaknya sudah berada di Los Angeles. "Itu (kebijakan Trump) tidak masalah bagi kami. Yang kami inginkan adalah bersama-sama dengan keluarga kami."

Hingga September 2016, jumlah imigran yang tertahan di sepanjang perbatasan AS-Meksiko, mencapai 408 ribu orang. Sekitar 23 persen di antaranya ada yang nekat menerobos dinding perbatasan.

Perbatasan AS-Meksiko adalah rumah terbesar bagi para imigran, dengan upah per kapita yang berbeda. Rata-rata upahnya sekitar lima kali lebih tinggi dari upah Meksiko. Lebih jauh ke selatan, di Amerika Tengah, pendapatan pekerja lebih rendah, dan tingkat kejahatan yang lebih tinggi, memicu lonjakan migrasi dalam beberapa tahun terakhir. 

*****

Dalam wawancara dengan CBS yang disiarkan luas, Trump akan mendeportasi, bahkan memenjarakan tiga juta imigran ilegal di awal-awal memimpin negaranya. Para imigran yang ditargetkan adalah mereka yang tercatat dalam kejahatan seperti anggota geng dan pengedar narkoba.

Menurut catatan kongres AS, ada sekitar 178 ribu imigran ilegal yang memiliki catatan kriminal di tahun 2010. Trump juga akan merealisasikan rencananya membangun dinding yang membatasi AS dengan Meksiko.

Diperkirakan, 11 juta imigran gelap tinggal di AS, yang sebagian besar berasal Meksiko. Trump pun berjanji akan mengontrol secara ketat wilayah perbatasan. Dan, saat kampanye, Trump berjanji membatalkan amnesti yang diperkenalkan Presiden AS Barack Obama. Dia akan memperketat penegakan hukum imigrasi dan mendeportasi imigran yang tidak memiliki dokumen yang sah dan pernah terlibat dalam kejahatan.

"Apa yang akan kita lakukan adalah mendapatkan orang-orang kriminal dan memiliki catatan kriminal, anggota geng, pengedar narkoba, di mana banyak orang-orang ini, mungkin dua juta orang, bisa lebih tiga juta orang, kita membuat mereka keluar dari negara kita atau kita akan memenjarakannya."

Rencana itu dikritik Ketua Parlemen Paul Ryan. Dia mengatakan, keamanan perbatasan seharusnya diprioritaskan daripada melakukan deportasi besar-besaran. "Saya pikir, kita harus membuat pikiran orang nyaman," katanya.

The Washington Post melaporkan, Trump kemungkinan telah mendapatkan data perkiraan dari laporan Departemen Keamanan tahun 2013 yang menyatakan, ada 1,9 juta pelaku kriminal yang dilepas. Tapi, jumlah itu termasuk imigran yang sah, atau memiliki visa sementara. Migrasi Policy Institute, sebuah think tank yang berbasis di AS menyebut, ada 820 ribu imigran, yang di antaranya banyak yang dihukum hanya karena menyeberangi perbatasan secara ilegal.

Di tahun 1999, upaya tegas telah dilakukan dalam menangani imigran gelap di California, Arizona, New Mexico, dan juga Texas. Sebuah penjara di Lake Country, sebanyak 122 dari 637 narapidana merupakan imigran gelap. Tak sedikit di antara mereka yang terlibat dalam kejahatan pembunuhan. Tak sedikit juga geng-geng kriminal dengan anggotanya ribuan yang merupakan imigran gelap asal Meksiko. Mereka kerap melakukan pemerasan, bisnis narkotika, perampokan, pencurian, pembajakan mobil, dan sebagainya.

Upaya membangun tembok pembatas dipastikan akan menghalangi mobilitas warga, sekaligus menghambat perdagangan bilateral kedua negara yang nilainya mencapai US$500 miliar per tahun. Trump juga akan menerapkan tarif hingga 35 persen pada produk buatan Meksiko demi membantu industri AS. "Kami sangat khawatir. Kami tahu apa yang Trump akan lakukan, membatasi impor, memproduksi semua barang di AS," kata Marcello Hinojosa, presiden grup industri Canacintra di kota perbatasan Tijuana.

Meksiko mengirim lebih dari 80 persen ekspornya ke AS. Kamar Dagang dan Industri AS menyatakan, sekitar enam juta pekerjaan warga AS bergantung pada perdagangan dengan Meksiko. Kawasan perbatasan, sekitar 650 mil telah ditutupi pagar beton. Trump berencana akan menutup 1.000 mil panjang perbatasan itu.

Keberadaan imigran asal Meksiko di AS, memiliki sejarah. Di tahun 1980-an, Meksiko adalah negara bagian AS. Sejak itu, mobilitas sosial sudah berlangsung, dari Meksiko ke AS dan sebaliknya.

Imigran asal Meksiko juga berbondong-bondong ke AS lantaran kebutuhan akan tenaga kerja, baik di bidang industri, konstruksi, infrastruktur, pertanian, perkebunan, dan sebagainya. Saat pembangunan infrastruktur kereta api Meksiko-AS tahun 1880-an, banyak yang menggunakan pekerja asal Meksiko.

Sejak tersedianya sarana transportasi itu, pergerakan masyarakat Meksiko ke AS kian meningkat. Kala itu, imigrasi merupakan hal yang biasa, apalagi AS belum padat penduduknya. Namun, dari tahun ke tahun, jumlah pendatang kian meningkat. Pemerintah AS pun menerapkan kebijakan pembatasan. Sejak itu, muncul imigran gelap dari Meksiko. Mereka nekat bertandang ke AS lantaran memimpin kehidupan yang lebih baik.

Peningkatan imigran gelap rupanya memicu munculnya masalah-masalah sosial. Karenanya, Pemerintah AS pernah mendeportasi paksa imigran gelap yang memicu resistensi di Meksiko dan AS. Apalagi, menyebabkan tak sedikit imigran yang meninggal dunia saat menempuh perjalanan ke Meksiko.

Dalam wawancara pertamanya sebagai presiden terpilih, Trump juga mengatakan akan mengutamakan pengadilan yang pro kehidupan dan membela hak-hak konstitusional untuk menggunakan senjata. Serangkai serangan senjata yang salah satunya terjadi di Universitas California (UCLA), Los Angeles, AS, 1 Juni 2016 lalu, menyebabkan pemerintahan Obama didesak untuk melegalkan kepemilikan senjata. Presiden AS Barack Obama menyadari jika lawan politiknya akan mempolitisasi tragedi tersebut.

Obama dan Wakil Presiden Joe Biden sebenarnya telah mendorong pengetatan kontrol kepemilikan senjata sejak tahun 2012 lalu, setelah terjadinya serangan bersenjata api di Newtown, Connecticut. Namun, upaya mereka tidak berhasil.

Dalam Konstitusi Amanden Kedua AS tahun 1971, warga sipil dapat memiliki senjata. Larangan kepemilikan senjata hanya diperuntukan bagi warga yang pernah terlibat kejahatan, berperilaku buruk, pecandu narkoba, dan mengalami gangguan mental.

Di tahun 1986, pemerintah federal pernah melarang penjualan senapan mesin untuk warga sipil. Dan, larangan itu berhasil. Senjata itu tidak pernah digunakan dalam tindak kejahatan, dan tidak ada penembakan massal di AS yang menggunakan senapan mesin.

Trump juga tidak akan membatalkan legalitas pernikahan sesama jenis, serta tidak akan menggambil gaji presidennya. Trump juga mengekspresikan kesedihannya terkait laporan kaum minoritas dan menyerukan untuk menghentikan tindakan diskriminasi. Dia juga akan lebih lembut dalam berkomunikasi.

Tak hanya itu, Trump memandang perlu meminta jaksa agar menyelidikan email yang digunakan Hillary. Biro Investigasi Federal (FBI) pada Juli lalu, telah menginterogasi Hillary terkait kasus penggunaan server email pribadi kala menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS periode 2009-2013. Pihak intelijen menyebut, sebanyak 22 email yang dikirimkan Hillary melalui server rumahnya saat masih menjabat menteri luar negeri, masuk dalam kategori rahasia negara yang tidak bisa dirilis.

Terkait masalah yang bakal mendera warganya, Pemerintah Meksiko menyiagakan para diplomatnya. Kementerian Luar Negeri AS, Divisi Amerika Utara juga telah membahas bersama Menteri Luar Negeri Claudia Ruiz Massieu untuk mengambil langkah kongkret mengenai hubungan bilateral antara kedua negara.

Massieu memerintahkan para diplomat bersiap menghadapi lonjakan pengajuan bantuan konsuler, termasuk berupaya menghindari provokasi dan melindungi warganya dari penipuan.

Sejak munculnya tudingan tak sedap yang disuarakan Trump, masyarakat Meksiko begitu membencinya. Kebencian itu dilampiaskan dengan membakar patung Trump kala menggelar ritual Paskah, Sabtu malam, 27 Maret lalu.

Kebencian itu buntut dari pernyataan Trump yang saat kampanye Pemilihan Presiden beberapa waktu lalu menuding Meksiko mengirim para bandit dan pemerkosa ke AS sehingga harus dibangun tembok besar yang membatasi AS-Meksiko.

Sosok patung Trump yang dibakar itu menjadi simbol "mengusir iblis" dan sosok manusia yang tidak disukai. Dalam tradisi masyarakat Meksiko, patung-patung yang dibakar menjadi simbol Yudas Iskariot, yang menghianati Yesus Kristus.

Di kawasan Amerika Latin, ritual pembakaran patung Yudas itu untuk mempersatukan masyarakat melawan musuh bersama. Ratusan orang di La Merced terlihat mengikuti prosesi pembakaran Patung Trump yang mengenakan jas biru, kemeja putih, dan dasi itu.

Patung itu dikreasikan oleh Felipe Linares, yang telah membuat patung Yudas selama lebih dari 50 tahun. "Untuk (masyarakat) Amerika Latin di sini dan di Amerika Serikat, dia (Trump) bahaya, ancaman nyata," kata Linares seraya menegaskan masyarakat Meksiko membenci Trump lantaran berbicara buruk tentang orang-orang Meksiko. Selain di La Merced, sejumlah patung Trump juga dibakar di beberapa tempat, dari wilayah Puebla hingga kawasan industri, Monterrey.

Felipe Calderon, mantan Presiden Meksiko menyamakan Trump dengan Adolf Hitler yang rasialis. Calderon menilai Trump sedang mengeksploitasi ketakutan sosial seperti dilakukan Hitler di zamannya. Calderon juga menyakini jika Trump menjadi Presiden AS, maka akan memperkuat sentimen anti AS di seluruh dunia.

Wakil Presiden AS Joe Biden saat berkunjung ke Meksiko beberapa waktu lalu juga menilai, pernyataan Trump berbahaya dan merusak hubungan AS-Meksiko. Namun, Biden menyatakan, gejala xenophobia itu akan berlalu.

Pemimpin umat Katolik dunia, Paus Fransiskus juga mengecam ide Trump yang ingin membangun dinding pembatas. Paus pun meragukan keimanan Trump sebagai penganut Kristen. "Seseorang yang hanya berpikir membangun tembok, tidak membangun jembatan, bukan seorang Kristen," katanya. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Reuters/CNN/BBC/Washington Post/ AFP
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 940
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1169
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1430
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1578
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 520
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1609
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1392
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya