Terapi Anak Autis dengan Cinta

| dilihat 2761

AKAPADINEWS.COM | BATIN dan pikiran Anto Malaya terguncang ketika mendengar pernyataan dokter usai mendiagnosis anak bungsunya. “Anak anda autis. Sabar dan ekstra sabar saja tidak cukup,” kata dokter seraya memegang tangan Anto.

Dan, yang paling membuat Anto dan isterinya sedih saat sang dokter menyatakan anaknya bakal menganggap orang tuanya seperti orang lain. “Anak seperti anak bapak, jangankan lama, satu atau dua minggu lamanya, jika dia berpisah sama bapak, dia gak akan kenal bapak. Dia akan menganggap seperti orang lain,” kata Anto menirukan penjelasan dokter.

Awalnya, Anto dan istrinya tak mempercayai ucapan dokter tersebut. Mereka menganggap, buah hatinya, Bintang Elektra, yang akrab disapa Kobi (Koko Bintang), tidak autis. Karena, dalam kesehariannya, Bintang tidak berbeda dibandingkan anak-anak lainnya. Fisiknya bagus. Berbadan sehat. Namun, diakui Anto, sejak satu setengah tahun lalu, puteranya sering menyendiri di kolong meja dan menghindari kontak mata dengan orang di sekelilingnya, termasuk orang tuanya.

Karena melihat ada yang janggal, Anto lalu mencari informasi di internet. Dia mencari referensi yang menjelaskan ciri-ciri anak yang kelakuannya mirip Kobi. Sampai-sampai, dia membawa Kobi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Dari diagnosis yang dilakukan dokter, Anto dan isterinya, baru mengetahui, jika putera yang dicintainya mengalami autis.

Anto dan isteri, seakan tak kuasa menerima kenyataan tersebut. Kebahagiaan keluarganya terkoyak. Anto pun sempat protes pada Tuhan. Dia mempertanyakan mengapa anaknya mengalami autis, sementara Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.

Kesabarannya sering kali pasang surut lantaran pola Bintang. Rumahnya menjadi bau pesing karena Bintang seringkali pipis sembarangan. Bila dipakaikan pampers atau celana, dia lepas, kecuali ketika pergi ke luar rumah. Bintang pun kerap merusak benda-benda berharga seperti laptop dan televisi.

Anto dan isterinya pun sering kewalahan menghadapi perilaku Bintang yang hiperaktif. Setiap hari tidurnya pun tidak menentu. Bitang baru tidur sesudah Anto merasa kelelahan. Anto baru bisa tidur jam tujuh pagi, menemani Bintang. Kamar pun harus dikunci agar si bocah tidak kabur.

Saat tengah tertidur pulas, seringkali Bintang memaksa membangunkan, sambil menarik-narik rambut Anto. Bahkan, Bintang pernah mengencingi sang ayah, agar terbangun. Bintang memaksa Anto bangun lantaran lapar. Soal makan, Bintang luar biasa lahap. Dalam sehari, bisa lima kali makan. Anto dan isterinya selalu menyediakan makanan di kulkas setiap hari.

Perilaku Bintang juga pernah membuat Anto dan isteri khawatir. Pernah, Bintang naik ke genteng rumah tetangga. Di atas ketinggian, Bintang tidak merasa takut. Anto sempat kewalahan untuk mengamankan buah hatinya itu. Tak hanya itu, Bintang juga pernah kabur dari rumah. Anto dan keluarga dibuat panik. Beruntung, di hari-hari berikutnya, Bintang ditemukan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan dibawa ke Dinas Sosial.  

Anto pun pernah malu ketika membawa Bintang ke mal atau tempat-tempat keramaian lainnya, untuk makan bersama dan bersosialisasi. Pasalnya, Anto sering mengambil makanan orang  lain. Anto merasa orang-orang memandang Bintang sebagai anak tidak waras. Namun, banyak pula yang kasihan.

Namun, Anto berupaya tak lagi malu untuk mengungkapkan anaknya yang autis itu. “Ternyata, orang-orang gak perlu berusaha memahami kita. Namun, kita yang harus pahami mereka,” jelasnya. 

Dan, yang paling menguji kesabarannya adalah saat puteranya marah (tantrum). Bintang sangat ekspresif. Dia berteriak, menangis, dan mengekspresikan kekesalannya dengan cara memukul kepalanya sendiri. Ketika tantrum, anak autis sedang mencari kenyamanan. Dia tidak bisa mengungkapkan dengan bahasa yang mudah dipahami. Dia pun menganggap orang lain aneh.

Menurut Anto yang merujuk pada buku berjudul Dunia di Balik Kaca (2008) karya Donna Williams, seorang gadis autisme yang menuliskan biografinya sendiri, saat tantrum, anak autis mengalami pergumulan dalam dirinya. Kala itu, dia mempertanyakan mengapa orang lain memaksakan kehendaknya, harus berbicara seperti yang diinginkan manusia lain dan harus mengikuti. “Jadi, dia punya dunia sendiri, makanya kita lihat, kok anak autis ini aneh yah, sebaliknya dia juga menganggap kita aneh,” tutur Anto ketika diwancarai Akarpadi beberapa waktu lalu.  

Anto lalu mengutip penjelasan dokter yang pernah menangani Bintang, yang mengatakan, pikiran manusia ibarat kereta dan memiliki rel sebagai pegangan. "Jika anak autis tidak memiliki pegangan dalam pikirannya, dia bisa kemana saja. Dia tidak memiliki landasan logika."

Kini, protes Anto pada Tuhan berubah menjadi keyakinan dalam doa. Dia yakin, Tuhan mempermudahnya dalam mendidik Bintang. Pendidikan untuk anak autis, selain membutuhkan kesabaran dan cinta, juga membutuhkan biaya untuk sekolah dan terapi. Anto yang bekerja di bidang entertainment yang juga sutradara teater berharap, Tuhan mempermudah rezeki untuk anaknya.

Meski diakuinya, ada kekhawatiran akan masa depan Bintang nantinya, apalagi ketika Anto memasuki masa tua dan kelak tidak dapat mengurus Bintang. Namun, ia mencoba percaya, Bintang dapat tumbuh seperti anak-anak lainnya.

Dan, segala ikhtiar pun dilakukan. Anto merujuk Bintang ke RSCM untuk menjalani terapi. Namun, tidak berlangsung lama karena jarak rumahnya ke rumah sakit milik pemerintah itu cukup jauh.

Sementara terapinya dimulai pukul tujuh pagi. Setidaknya, dari rumah, Anto harus berangkat pukul setengah enam pagi mengantarkan Bintang ke RSCM. Bintang yang masih tidur pun diboyong pagi-pagi untuk ke RSCM. "Dia (Bintang) masih tidur, saya bangunkan, perjalanan cukup lama, macet. Sampai sana, Bintang bad mood dan gak bisa diterapi. Akhirnya, saya stop (terapi) di RSCM.” 

Lalu, atas usulan kawan, Anto membawa Bintang untuk menjalani terapi musik di Fatmawati. Terapi itu dijalani Bintang selama sekitar dua tahun. Namun, lama kelamaan Bintang mulai bosan. Lantaran terapi itu rada membutuhkan uang, ditambah jarak yang cukup jauh, Anto menghentikan terapi untuk Bintang.

Awalnya, Anto berharap, Bintang menjalani pendidikan di sekolah khusus. Namun, biayanya sangat mahal. Untuk uang masuk saja, harus mengeluarkan Rp30 juta. Belum lagi biaya bulanannya yang berkisar Rp4-5 juta. “Uang sebenarnya bisa dicari, tapi kasihan kakak-kakaknya. Akhirnya, sepakat sama istri jangan dipaksain. Kita gak usah terlalu egois,” kata Anto.

Lalu, Anto dan isterinya sepakat menempuh cara lain, tanpa harus mengeluarkan uang. Mereka lebih mengandalkan pendidikan cinta dalam mendidik Bintang. Pendidikan cinta adalah bentuk terapi untuk menyatukan antara relasi anak dan orang tua secara emosional. Cinta dari orang tua, kakak, dan keluarga terdekat, lebih dibutuhkan Bintang.

Anto dan istrinya pun menjadi terapis, dengan memberikan kasih sayang dan kesabaran yang lebih dalam mendidik Bintang. Namun, bukan berarti membiarkan anaknya melakukan hal yang salah, meski bertujuan membuatnya nyaman.

Saat tantrum, anak autis juga perlu peringatan dari orang tua, agar dirinya takut dan tidak melakukan cara-caranya yang tidak baik. Tentu, peringatan itu dilandasi kasih sayang pada anaknya. Terapi anak autis juga dapat berupa instruksi. Misalnya, orang tua menginstruksikan anaknya menutup pintu atau melakukan aktivitas-aktivitas kecil yang kemudian dibalas dengan hadiah.

Terkait Bintang, Anto dan isterinya, memberikan instruksi dengan bahasa Inggris karena Bintang menyukai gadget dan biasa menonton film berbahasa Inggris. Bintang juga mulai menyukai tayangan televisi tentang masak.

“Jadi, kalau lapar, dia akan ke dapur dan menuang minyak sendiri, atau membantu mengaduk. Atau, dia membantu memotong-motong cokelat yang dia suka. Alhamdulilah. Jadi, saya suka bercandain dia, mau jadi chef (koki) ya? kata Anto.

Cinta dan kasih sayang juga dilakoni kakak Bintang. Dan, akan lebih baik, jika orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar, memahami kondisi anak-anak Autis dengan menunjukan kepedulian.

“Di rumah pun, teman kakaknya lebih banyak becandain. Bahkan, ada yang seneng sama dia, sering datang, terus kalau mau sekolah dipanggil-panggil Kobi...Kobi. Alhamdulilah, mereka menyadari, autis itu gak gila, cuma ada perbedaan aja,” kata Anto.

Di sisi lain, Anto menyadari, Bintang yang kini berusia 11 tahun, memasuki masa pubertas, seringkali terlihat lebih pendiam di hadapan perempuan, meski memiliki rasa ketertarikan. Dalam fase ini, Anto intens mengawasi. Termasuk, mengajarkan agama pada anaknya. Anto membiasakan sholat berjamaah di rumahnya sehingga Bintang seringkali meniru gerakan sholat. Dia juga membiasakan Bintang dan kakaknya berdoa. Dia menyakini doa anak dikabulkan Tuhan. "Ketika saya mengajak berdoa, dia ngikutin sampai terakhir, dan pekerjaanku juga dimudahkan," tutur Anto.

Selain cinta dan kasih sayang, terapi anak autis juga membutuhkan kesabaran. Anto pernah merasa kecewa karena Bintang seolah tidak merespon rasa cinta orang tua dan keluarganya. Namun, Anto menyadari, ada hal-hal sederhana yang dilupakan karena orang tua terlalu fokus pada tujuan yang lebih besar. “Padahal, kadang-kadang anak saya itu suka mencium, suka pegang kepala, dan aku agak lalai. Aku kira itu reaksi biasa. Cuma kontak fisik biasa saja. Ternyata, setelah aku rasain, itu cara dia membalas cinta,” jelasnya. 

Anto pun selalu berharap pada Tuhan, agar mengarahkan dirinya dapat lebih dekat berinteraksi, dan anaknya bisa merasakan kasih sayangnya. Baginya, komunikasi yang dapat berjalan dengan baik dengan Bintang adalah sesuatu yang mewah.

Atas dasar cintanya kepada Bintang, Anto pun menuangkan pengalaman hidup, interaksi, dan perasaan emosional dengan Bintang, dalam naskah teater yang disutradarainya berjudul Big Bang. Rencananya, naskah itu akan dipentaskan akhir tahun ini di Jakarta dan daerah lain.

Motif Anto mementaskan Big Bang, tiada lain untuk berbagi pengalaman. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang tua dalam mendidik anaknya yang autis. Jika ada donatur, Anto ingin, mementaskan naskah itu di komunitas-komunitas autis secara gratis.

“Saya mau berbagi, khususnya buat orang tua yang mempunyai anak autis, karena bagi saya cukup miris bila 80 persen orang tua yang mempunyai anak autis bercerai. Alasannya karena kesabaran, sebagian besar mungkin bisa menerima, tapi kalau sabar saja gak cukup.”

Anak autis seringkali digambarkan seorang anak yang mempunyai kelebihan dibanding anak-anak lainnya. Anto berusaha percaya pandangan itu, meskipun kadang, dia menganggap, pandangan itu sekadar menyenangkan hati orang tua anak yang autis.

"Itu kan cuma penghibur hati kita, ketika si ibu ngomong, anak kita kan tidak cacat, anak kita cuma berbeda dengan yang lainnya. Lalu, si ayah bilang, itu kan cuma menghibur hati kita, yang pasti, ada kelainan dengan diri anak kita dan itu harus kita akui,” ucap Anto yang pandangan itu ia tuliskan dalam naskahnya.

Anto lebih menyakini, ketika dewasa, anak autis akan sembuh dengan sendirinya, meskipun tidak senormal manusia dewasa lainnya. Namun, penyandang autis bisa beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya.

Persepsi sebagian masyarakat di Indonesia memang kadang salah terhadap anak-anak autis. Miris pula ketika autis dipahami sebagai bentuk kelainan pada anak karena perilakunya yang sering menyendiri dan melamun. Anto pun sempat marah ketika latihan teater, ada yang mengomentari aktornya berakting layaknya orang gila.

Dalam masyarakat tradisional, penderita autis seringkali diperlakukan tidak manusiawi. Mereka dipasung lantaran diangap gila. Bahkan, ada keluarga yang merasa malu jika salah satu anggota keluarganya mengidap autis. Ironisnya, ada pula anak-anak autis yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. 

Anto juga menilai miris dengan minimnya dukungan pemerintah maupu masyarakat terhadap komunitas autis. Padahal, menurut sebuah penelitian, di tahun 2014, perbandingan pengidap autis itu antara 150 berbanding satu. Di tahun 2016 ini, jumlah meningkat signifikan, sudah 80 berbanding satu.

Mei 2016 lalu, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama pernah berjanji setiap lurah mendata anak-anak autis dan down syndrom agar dapat disekolahkan. Bahkan, dijanjikan pula untuk disediakan bus sekolah yang menjemput mereka. Dukungan pemerintah itu sangat penting karena banyak pula anak autis dan down syndrom yang berasal dari keluarga tidak mampu. Pemerintah wajib untuk memberikan hak-hak mereka setara dengan anak-anak normal lainnya.

“Saya gak tahu realisasinya seperti apa. Apakah cuma ucapan (Ahok) saja? Tapi yang pasti, saya gak berharap terlalu banyak (karena) saya sudah coba ke kementerian-kementerian sampai ke lembaga luar negeri seperti UNICEF."

Di Indonesia, banyak orang tua yang serupa dengan Anto. Dia sering melihat video, di mana saat tumbuh dewasa, anak-anaknya masih autis, sering tantrum, masih diasuh orang tuanya. Hanya cinta dan kasih sayang yang menguatkan orang tua dalam mendidik anaknya yang autis.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 337
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 333
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 821
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1088
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1341
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1481
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya