Tarman Azzam Ujung Pena yang Tak Pernah Patah

| dilihat 2565

Catatan Duka N. Syamsuddin Ch. Haesy

Kabar duka itu tiba di hari penuh berkah, Jum’at (9/9/2016) pagi. Tarman Azzam – Ketua Dewan Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), telah berpulang ke rahmatullah, di Ambon, sekira Pukul 09.23 waktu indonesia timur.

Allah memanggilnya lewat serangan jantung, saat ia menghadiri peluncuran Hari Pers Nasional 2017 bersamaan dengan pembukaan pesta Teluk Ambon.

Bagi sebagian besar wartawan Indonesia, Tarman Azzam (TA) yang dilahirkan di Bangka 11 Desember 1949, adalah salah seorang guru kewartawanan yang telaten. Pada masanya, bersama-sama Ismid Haddad dan tokoh pers mahasiswa lainnya

Tarman kerap menjadi instruktur pelatihan jurnalistik mahasiswa yang melahirkan banyak wartawan-wartawan utama di Indonesia. Di forum pelatihan di dekade 70-an itulah saya mengenal TA pertama kalinya.

TA yang juga tak pernah lelah belajar, termasuk menyelesaikan studi magisternya di Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta, boleh jadi, satu dari sedikit wartawan yang begitu peduli mengurus PWI, organisasi kewartawanan tertua di Indonesia, itu.

TA memang giat berorganisasi sejak belia. Ia aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII), sekaligus di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), seperti almarhum aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sekaligus aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Di tahun 1966, almarhum aktif dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), juga Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Sosok wartawan berperangai gembira, pandai menghargai yunior, karib dengan banyak kalangan, dan selalu tersenyum, ini sepanjang dekade 1970-1980 an juga aktif mendidik wartawan profesional melalui Karya Latihan Wartawan (KLW) – PWI yang dipimpinnya.

Untuk dedikasinya itu, TA, seperti halnya Rosihan Anwar memperoleh penghargaan Pena Mas, penghargaan tertinggi di kalangan komunitas wartawan Indonesia. TA termasuk satu dari sangat sedikit dari kalangan dalam yang menerima penghargaan Pena Emas, itu.

Pena emas itu disematkan di dadanya pada peringatan Hari Pers Nasional – Hari Ulang Tahun PWI ke 64 di Palembang. Biasanya, Pena Mas diberikan kepada para petinggi negeri, seperti Gubernur / Kepala Daerah yang dinilai, selama masa kepemimpinannya berhasil membangun kehidupan pers yang dinamis.

Bagi TA, Pena Mas tak diberikan  hanya karena aktivitasnya memimpin KLW. Mantan Ketua PWI Jaya dan koordinator wartawan yang bertugas di Istana Negara era Presiden Soeharto, itu mendapatkannya karena berjasa memimpin PWI di masa-masa sulit. Almarhum memimpin PWI dua periode: 1998 – 2003, 2003 – 2008.

Dalam kiprahnya, TA juga terlibat langsung dalam proses penyusunan UU Pers No. 40/1999 sebagai undang-undang yang mengawali kebebasan pers seperti yang dinikmati kalangan pers sejak era reformasi sampai kini.

Seperti sering diceritakan dan diungkapkannya, TA menerjuni dunia pers karena panggilan jiwa. Dunia kewartawanan dan dunia pers merupakan medium baginya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Dan itu terbukti, sejak ia menerjuni dunia kewartawanan sampai akhir hayatnya dia tak pernah henti mengabdi bangsanya. Termasuk aktivitasnya di lingkungan alumni Lemhannas (Lembaga Pertahanan Nasional). Nasionalismenya kuat.

TA mengawali karirnya di dunia jurnalistik, sejak menjadi anggota Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) cabang Jakarta, yang sekaligus menjadikannya wartawan Harian KAMI yang dikelola para aktivis mahasiswa.

Suratkabar itu mengalami pers breidel karena peristiwa 15 Januari 1974 (MALARI). Selepas itu, almarhum bergiat di Radio Arif Rahman Hakim, radio swasta pertama yang menyiarkan berita. Almarhum mulai dari reporter di Radio ARH.

Setahun aktif di Radio ARH, TA bergabung dengan para mantan wartawan KAMI, yang direkrut Harmoko – Thahar – S. Abijasa memperkuat jajaran harian Pos Sore (Koran ini kemudian berubah nama menjadi Harian Terbit), bersama rekannya Soebekti dalam Pos Kota Group. TA sempat menjadi Pemimpin Redaksi di koran itu.

TA menjadi anggota PWI. Ia kemudian menjabat Wakil Sekretaris PWI Jaya, lalu meneruskan kepemimpinan Ketua PWI Jaya (1993-1995) Masdun Pranoto yang pindah ke luar kota. Tarman memimpin PWI Jaya periode 1995 – 1999. Di bawah kepemimpinannya, PWI Jaya menerbitkan buku sejarah dan perjuangan PWI Jaya yang ditulis wartawan senior Antara, Soebagio I.N.

Di era kepemimpinan almarhum juga, untuk pertama kalinya diselenggarakan Anugerah Jurnalistik Mohammad Hoesni Thamrin – tokoh intelektual dan pejuang Betawi. Semula anugerah jurnalistik itu bernama Adinegoro (1974-1994) – yang kemudian ditingkatkan sebagai nama anugerah jurnalistik di tingkat nasional (sejak 1995).

Suatu kali, ketika pulang dari Kuala Lumpur, di pesawat, dia tersenyum ketika saya menyebutnya sebagai ujung pena yang tak pernah patah. Ketika itu, mengusir lelah, kami berbincang tentang perjalanan kiprah saya di dunia media dan budaya.

Sebagai abang dan guru jurnalistik, ta terbilang sangat telaten. Penggemar berat lagu dan musik melayu ini, menguasai begitu banyak koleksi dan sejarah perkembangan musik aseli nusantara itu.

Setiap kali ke Kuala Lumpur dan berkesempatan ziarah ke makam seniman melayu P. Ramlee, almarhum tak pernah lupa mendendangkan dulu lagu P. Ramlee sebelum berdo’a. Di kalangan wartawan Malaysia, Tarman Azzam, seperti halnya Rosihan Anwar, amat terkenal. Para mantan wartawan Berita Harian, mendapuk keduanya sebagai Wartawan Dunia Melayu. Anugerah itu disematkan oleh Menteri Besar Selangor Mohammad Khir Toyo.

Hampir semua tokoh utama wartawan Malaysia, seperti Tan Sri Johan Jaafar, Tan Sri Zainuddin Maidin, Chamil Waria, juga Penasehat Sosiobudaya Kerajaan Malaysia – Tan Sri Datuk Seri Utama Rais Yatim, dan lainnya, bersahabat karib dengan almarhum. Bersama Asro Kamal Rokan, Saiful Hadi Chalid, dan beberapa teman wartawan dari Indonesia dan Malaysia, almarhum menginisiasi Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia Indonesia (ISWAMI). Organisasi 'kekerabatan' wartawan Malaysia - Indonesia ini dirintis TA dan kawan-kawan dari Indonesia bersama dengan Tan Sri Johan Jaafar, Dato Ashraf, Nasir, Sabarudin, dan kawan-kawan di Malaysia. 

Bersama Johan Jaafar dan saya, almarhum tampil bersama dalam temu bual (talkshow) tentang kebebasan pers dan reformasi Indonesia di TV1 (Radio Talivisyen Malaysia). Almarhum yang selalu tampil perlente dan tak pernah tinggal salat, itu selalu hangat.

Belakangan, setiap kali jumpa saya, tema diskusi selalu tentang perkembangan lagu dan musik melayu. Dalam banyak hal, almarhum banyak mentransfer pengetahuan, pandangan, dan sikapnya tentang perkembangan budaya Melayu kepada saya.

“Gali dan kembangkan terus budaya Melayu, Sem.  Pelihara kehangatan hubungan dengan Malaysia, karena kita datang dari rumah yang sama,” begitu pesannya pada saya selepas menjadi tamu dalam Temu Bual Bicara Rakyat – TV1 Malaysia.

Ketika memandu dialog tentang women and enterprise –dengan Sitti Nurhaliza yang digelar ISWAMI Malaysia – Indonesia, almarhum sempat mendendangkan beberapa kuplet lagu P. Ramlee. Sitti Nurhaliza langsung tertegun. “Saye terkenang arwah bapak saya. Suara Bapak Tarman serupa suara arwah bapak saya,”cetus Siti.

Dalam berbagai kesempatan, almarhum nampak selalu mesra bersama isterinya. Ia juga nampak sering bersama karibnya, wartawan senior Noh Hatumena. Ketika menggelar resepsi pernikahan anaknya di Puri Ardhya Garini, beberapa waktu lalu, Noh meminta Saiful Hadi dan saya bersiap menjadi pengganti, bila wakil keluarga dan pembaca do’a terlambat. 

Alhamdulillah, pada kesempatan itu Jenderal Agum Gumelar datang memberi sambutan atas nama keluarga, dan KH Amidan juga datang menyampaikan do’a.

Menjelang tiba ajalnya, menurut Noh Hatumena seperti dikutip beberapa media, almarhum masih sempat menelepon isterinya. “Mah, doain  agar bisa tiba dengan selamat di rumah,”cerita Noh menirukan ucapan Tarman, seperti dikutip salah satu media.

Almarhum Tarman Azzam kembali ke hadhirat Allah, Sang Maha Penentu, sumber segala firman, kabar gembira, dan kebenaran. Almarhum, satu dari kalangan orang baik dan berjasa dalam dunia pers  dan bangsa Indonesia yang mendahului kita.

Almarhum sosok setiakawan dan dalam banyak hal menjadi tempat bertanya. Persahabatannya tulus. Ketika berkunjung ke Kuala Lumpur dan mengetahui sahabatnya, Datuk Saleh sedang sakit di rumah sakit, almarhum bersama Asro Kamal Rokan, memberi prioritas waktunya untuk menjenguk sahabatnya itu.

Yang sangat membekas dalam fikiran dan hati saya adalah konsistensinya sebagai jurnalis dan pendidik. “Jangan pernah berhenti menulis, Sem.. Kita wartawan,” nasihatnya suatu ketika.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi, wa’fuanhu. Semogalah Allah memaafkan segala khilaf dan dosa.. Melangkahlah pulang Bang.. segala kebaikan, kenangan indah, dan do’a menyertaimu. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. | 

Editor : sem haesy
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 736
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 894
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 845
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya