Sungguh Pentingkah Pendirian UIII

| dilihat 2205

Catatan Bang Sem

PRESIDEN Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), pada tanggal 29 Juni 2016. Perpres yang diundangkan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, itu berlaku surut sejak tanggal diundangkan.

Pasal 1 ayat (2) Perpres tersebut, seperti dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet, menjelaskan, UIII merupakan perguruan tinggi berstandar internasional dan menjadi model pendidikan tinggi Islam terkemuka dalam pengkajian keislaman strategis yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agama.

UIII dikelola sebagai badan hukum perguruan tinggi dan pembinaannya dilakukan secara teknis akademis oleh kementerian agama dan kementerian Pendidikan Tinggi. Dalam hal mewujudkan perguruan tinggi berstandar internasional sebagaimana dimaksud dan dalam diplomasi luar negeri, difasilitasi oleh kementerian Luar Negeri.

Tugas utama UIII adalah menyelenggarakan program magister dan doktor bidang studi ilmu agama Islam. UIII juga dapat menyelenggarakan program magister dan doktor bidang studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta sains dan teknologi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan UIII dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Non APBN, dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Untuk pertama kali beroperasi (2019), UIII menargetkan 2000 mahasiswa.

Untuk keperluan operasionalnya, akan dibangun kampus UIII di pinggiran Jakarta, yang akan dilengkapi dengan apartemen dan asrama mahasiswa – dosen.

UIII diharapkan akan menjadikan Indonesia sebagai kiblat dan pusat studi keislaman, terutama oleh para mahasiswa tingkat magister dan doktor dari mancanegara.

Sepintas, rencana pendirian itu sungguh mempesona. Paling tidak akan menegaskan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini, tentu selaras dengan gagasan tentang Islam Nusantara yang mengemuka beberapa waktu terakhir.

Kendati demikian, muncul pertanyaan substantif: seberapa penting dan mendesakkah pembangunan UIII, ketika umat Islam di Indonesia justeru sedang menghadapi berbagai problem asasi. Mayoritas dalam bilangan populasi, tetapi bagai buih di gelombang samodera. Mudah terombang-ambing oleh perubahan politik berbangsa dan bernegara.

Bahkan, berulang kali, umat Islam hanya menjadi sasaran kepentingan politik global dan nasional, yang hendak membiarkan umat Islam tidak menjadi pemeran utama dalam tatakelola negara, serta perekonomian. Bahkan, setiap lima tahun sekali, hanya menjadi sasaran kolekte politik untuk dan atas nama demokrasi.

Di sisi lain, kini di tengah pusaran perkembangan teknologi informasi – digital society, umat Islam Indonesia justru menjadi sasaran konflik global, termasuk konflik sektarian – mazhab tak berkesudahan, dan memakan banyak korban.

Kondisi eksisting umat Islam di Indonesia, dari aspek sosial, ekonomi, dan politik relatif kian kehilangan daya, tergerus sekularisma yang sedemikian dahsyat. Terutama kemiskinan struktural dan kultural.

Semua itu terjadi, ketika di negeri ini, setiap tahun pemerintah meningkatkan status perguruan tinggi Islam negeri dan kemudian menjadi beban APBN. Hitunglah berapa banyak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang berubah status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).

Selain itu juga berkembang Universitas Islam berbadan hukum swasta, baik yang mempunyai historikal panjang, seperti Universitas Islam Indonesia – Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Nusantara, dan lainnya. Semuanya, menyelenggarakan program pasca sarjana.

Beberapa UIN, berkembang sebagai perguruan tinggi Islam yang mempunyai kapasitas dan kualitas baik. Tidakkah lebih efisien dan efektif bila Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Tinggi melakukan verifikasi dan menyeleksi, kemudian menegaskannya sebagai universitas Islam berskala internasional.

Boleh jadi yang terpenting dan prioritas bukanlah mendirikan Universitas Islam Internasional Indonesia – sebagaimana halnya Malaysia mendirikan Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM). Melainkan bagaimana melakukan reorientasi keislaman berbasis umat sebagai modal insan (human resources), melalui manpower plan yang jelas dan tepat.

Untuk kepentingan itu, yang semestinya sangat urgen dilakukan pemerintah via Kementerian Agama adalah melakukan dialog scenario plan dengan melibatkan seluruh UIN dan sejumlah universitas Islam ternama di Indonesia. Sekurang-kurangnya untuk menentukan focal concern dan driving forces peningkatan status sekolah pasca sarjana berkelas internasional di universitas Islam yang ada sekarang ini.

Selebihnya, yang sangat penting dan utama kini adalah bagaimana negara memberikan perlindungan proporsional dan wajar terhadap umat Islam dalam mengelola demokrasi, termasuk mengelola negara. Perlindungan proporsional terhadap tingkah polah laku lajak petinggi pemerintahan yang memainkan kekuasaanna untuk membatasi umat Islam memanifestasikan prinsip-prinsip akidah, syariah, akhlak, dan muamalah.

Sikap tegas Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menindak pejabat negara yang ‘menista umat islam’ – jauh lebih penting dan utama daripada pendirian UIII.

Paling tidak, sikap tegas untuk melakukan perlindungan proporsional – wajar dan demokratis akan dapat mencegah terjadi berbagai hal yang dapat menimbulkan instabilitas pemerintahan dan negara.

Setarikan nafas, perlindungan wajar itu, juga memberi prioritas bagi seluruh rakyat untuk mengatasi problematika sosial ekonomi, termasuk memperkuat akses rakyat (yang sebagian terbesar adalah umat Islam) terhadap modal, pasar, kesempatan kerja, dan peluang usaha.

Lain soal bila pendirian UIII dimaksudkan untuk kepentingan lain. Misalnya: meningkatkan pamor pemerintahan yang seolah-olah berpihak kepada Islam.

Bila Indonesia hendak dijadikan sebagai kiblat studi dan riset keislaman, setidak-tidaknya tiga hal harus diwujudkan oleh pemerintah (dan harus dirasakan oleh rakyat), yakni: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan peradaban mulia. Antara lain dengan mengembangkan keteladanan, akhlak karimah, dan sikap tahu diri, bahwa seluruh penyelenggara negara adalah pelayan rakyat.

Bertindaklah lebih kongkret, supaya umat Islam terhindar dari fantacy trap yang tidak perlu.| 

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1182
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Energi & Tambang