Sejarah wabah Black Death Berulang

| dilihat 1244

Ini kisah abad ke 14 (1347-1352) ketika Wabah Hitam (Black Death) menyerang Eropa. Seperti halnya wabah Justinian yang terjadi di masa-masa sebelumnya, kemunculan Wabah Hitam -- yang bisa dianalogikan dengan coronavirus COVID-19.

Adalah Ibn Khatima, dokter Almeria dan saksi epidemi, menulis. Khatima bercerita, Black Death 'datang' dari Tanah Cina yang terletak di ujung bumi, di sisi timur. Lantas meluar dari Bilad al-Khita dan daerah sekitarnya. Lalu virus itu tersebar meluas ke Persia Irak dan tanah Turki.

Khatima menulis kisah wabah kematian itu dalam Tahsil Garad al Quasid fi Tafsil al Marad al Wafid (Abad ke 14) yang tersimpan di Perpustakaan Utama Escorial, Madrid. Lantas dikuti Melhaoui, 2005.

Dua cendekiawan dari Universitas Bordeaux - Perancis, (Stéphane Barry, sosiolog dan Nobert Gualde, imunolog) menuliskan ulang tentang wabah yang mematikan itu, dan dikutip di berbagai jurnal ilmiah berbagai universitas (2008).

Menurut kedua penulis, itu penelitian tentang wabah ini (selama abad kedua puluh) telah menyoroti penyebaran wabah di Cina pada awal 1331. Diperkirakan sepertiga dari populasi wabah itu, telah dihancurkan antara tahun 1331 dan 1393. Virus itu kemudian meningkat dari sekitar 125 juta dan menyerang sekitar 90 juta penduduk di negara bagian Kyrgyztan, sekarang.

Dari Cina, wabah itu terus menyebar ke dataran tinggi Asia Tengah (1338). Penggalian, yang dilakukan di kuburan umat Kristen Nestor di wilayah Issyk-Koul di selatan Danau Balkhach - Kyrgyztan, mengungkapkan angka kematian yang tinggi selama tahun 1338-1340.

Tiga batu nisan, bertanggal 1338 dan 1339, ditemukan, dan secara jelas menunjukkan wabah sebagai penyebab kematian (Biraben, 1975). Dari wilayah ini, penyakit ini menyebar, melalui jalur tradisional perdagangan besar antara Timur dan Barat, dan dari Timur ke Barat menuju Mediterania dan Eropa, lalu menyebar bersamaan dengan laju perpindahan manusia, menyerang kota-kota seperti Samarkand, atau Sarai, ibu kota Golden Horde. Sekitar tahun 1346, wabah itu telah mencapai tepi Laut Hitam.

Caffa sebuah pos dagang kecil Genoa yang didirikan sekitar 1266 di tepi Laut Hitam, yang kelak memainkan drama masa depan bagi Barat akan dimainkan. Caffa terkepung pada tahun 1343, setelah perselisihan komersial antara Genoa dan Mongol. Lantas dikepung  sekali lagi pada 1345-1346 oleh Khan dari Horde of Or Djanisberg.

Pasukan Khan gagal, karena pasukannya melemah diserang wabah hitam. Banyak prajurit tewas. Djanisberg memutuskan untuk melemparkan mayat-mayat yang terkena wabah di tembok kota. G. de Mursis, kolomnis Italia yang menuliskan peristiwa ini dari laporan pedagang, menduga kematian itu juga akibat wabah yang dibawa binatang pengerat dari dalam kota terkungkung tembok (Saluzzo, 2004).

Epidemi wabah hitam yang mematikan dan mengerikan, itu meruyak di Caffa. Lantas, wabah yang ditakuti, itu menyebar bersama pergerakan beberapa kapal Genoa meninggalkan pelabuhan menuju Eropa. Lantas menyebar di benua oarng-orang kulit putih, itu pada akhir paruh pertama abad keempat belas.

Memburuknya iklim selama 1310-an, dengan kelebihan curah hujan di sekitar tahun 1315-an, berdampak dramatis pada produksi sereal, yang menyebabkan masalah pangan serius. Salah satu hal terpenting dari krisis ini adalah kelaparan tahun 1314-1316.

Georges Duby menulis masa paceklik, itu berlangsung antara Mei hingga Agustus 1316. Di masa paceklik itu, satu dari sepuluh penduduk meninggal karena kelaparan di kota Ypres. Duby memprakirakan, sedikitnya 2.794 orang mati. Rincian kronologis menunjukkan angka kematian yang sangat tinggi dari Mei hingga Agustus 1316,  saat setiap pekan, terjadi 160 kematian.

 Kemalangan itu kian parah karena wabah hitam yang merangsek lebih kuat dan berdampak ke berbagai bidang, pada konteks ekonomi, politik, dan sosial yang sangat terdegradasi. Wabah Hitam yang menebar kematian, itu tidak terjadi di 'langit demokrafis yang tenang,' tapi dalam situasi kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang memang sudah terdegradasi.

Wabah hitam itu berada di alam realitas yang tersebar melalui siapa saja dan menjadi puncak kemalangan yang menjadi-jadi di Barat dan Timur. Tak hanya menimpa umat kristiani, tetapi juga umat Islam dan umat-umat lainnya. Wabah penebar kematian ini tak mengenal etnis, bangsa, dan penganut agama apapun.

Dalam konteks inilah, menurut Stéphane Barry dan Nobert Gualde, galai-galai yang melarikan diri dari Caffa yang dilanda penyakit, memindahkan wabah berbahaya, itu berhenti pertama di Péra, pos perdagangan Genoa lain yang berbatasan dengan Konstantinopel. Tulah memuncak di sana selama bulan November dan Desember 1347. Secara skematis, menggambarkan, dari Konstantinopel wabah itu menyebar di pesisir Laut Hitam, di pulau-pulau Laut Aegea, Yunani, Kreta, Siprus atau bahkan Aleksandria, mengikuti Lembah Nil, lantas menyebar ke Mesir. Pada saat yang sama, wabah hitam ini, juga mencapai Palestina, Lebanon, Suriah. Setiap pelabuhan, setiap tempat yang terkena dampak menjadi titik penyebaran penyakit.

Pada akhir tahun 1347, kapal-kapal Genoa melanjutkan perjalanan mereka yang mengerikan. Setelah mendarat di Sisilia, di mana wabah kemudian mencapai semenanjung melalui Reggio Calabria, galai-galai itu diusir kembali dari Genoa, tetapi mencapai Marseille yang membuka pelabuhannya pada tanggal 1 November 1347.

Wabah Hitam menghancurkan kota dengan penyebaran luar biasa, sehingga semua penduduk mati dalam beberapa minggu, mengambil nama jalan "Rifle-Rafle". Wabah itu menyebar, melalui aneka barang di sepanjang rute perdagangan darat, sungai dan laut, kemudian mencapai Spanyol, yang diduga melalui pelabuhan Languedoc. Sebelum akhir tahun, Corsica dan Provence terpapar.

Lantas di bulan Maret tahun kemudian, wabah kematian, itu menyebar di Avignon. Pendeta dan dokter Paus Klemens VI, Guy de Chauliac, berkesaksian penting tentang datangnya wabah di kota ini, yang ia pelajari sebagai seorang ahli  bedah yang menjadi korban penyakit. Chauliac beruntung, karena dia selamat dari kematian.

Lewat karya besarnya, Bedah Besar, (1363), Chauliac menggambarkan wabah hitam yang menimpa kota: "Di Avignon, ada dua jenis: yang pertama berlangsung dua bulan dengan demam terus-menerus dan para korban meludahkan darah, lantas mati di hari ketiga. Yang kedua adalah, sepanjang sisa waktu, juga dengan demam terus menerus, apostem, carboncles dan bagian dalam, terutama di ketiak dan selangkangan, lalu korban mati dalam lima hari. Wabah mempapar setiap orang, karena dimulai di Timur, dan dengan demikian melemparkan panahnya ke dunia, melewati wilayah kami di Barat dan begitu besar, sehingga hampir tidak meninggalkan sisa manusia."

Penyakit ini dideskripsikan, tidak memungkinkan untuk penyembuhannya, dan bahkan perkembangannya tak terkendalikan. Dari Avignon, wabah menyebar ke mana-mana. Antara lain ke Narbonne, Montpellier, Carcassonne dan beberapa kota lainnya. Di di Italia, Roma dan Florence, misalnya, wabah juga merusak tatanan kehidupan.

Sesuai dengan aturan medis waktu itu, rakyat yang berpikir menemukan keselamatan mereka dalam penerbangan, tak lebih hanya menyebarkan wabah dengan meninggalkan daerah bencana.

Kecepatan penyebaran wabah sedemikian dahsyat, sehingga hanya sebulan saja, sudah meruyak di Toulouse. Sebulan kemudian, menyebar dengan sangat mengerikan di Jurades Agen, menggerakkan epidemi yang kemudian disebut "mortalitat," kematian.

Beberapa bulan, wabah sudah merangsek ke Bordeaux, Lyon, Paris, Burgundy, Normandia, dan lain-lain. Bahkan, tulah wabah itu merayap, melintasi Pegunungan Alpen, menyerang Swiss, dan berlanjut ke Timur. Pada saat yang sama, di Eropa Utara wabah kematian, itu melintasi Selat dan menyerang Melcombe Regis, (sekarang Weymouth), di Dorset - Barat Daya Inggris.

Tahun berikutnya, wabah ini mempengaruhi Irlandia, Skotlandia, Jerman dan Belanda, begitu setarusnya pada tahun selanjutnya, menyerang Skandinavia lalu menguasai kawasan Hanseatic. Pada tahun 1352, wabah hitam ini menyerang Moskow, lantas menewaskan Grand Duke of Muscovy dan Patriarkh Gereja Rusia. Kemudian membentang ke selatan, hinga ke Kiev.

Paradoksnya, ketika Barat tertaklukan oleh wabah hitam ini, daerah-daerah tertentu untuk sementara waktu lepas dari epidemi. Jika isolasi lembah gunung, seperti Pyrenees, dapat menjelaskan fenomena ini, tetapi hal itu tidak sama untuk sebagian dari Hongaria dan fortiori Brabant, Hainaut, dan Limbourg -- yang terletak di jantung jaringan perdagangan --  atau bahkan Saint Jacques de Compostelle, tempat kudus yang terkenal, yang menarik peziarah dari seluruh Eropa.

Stéphane Barry dan Nobert Gualde, mengungkapkan, menurut beberapa sejarawan, ini dapat dijelaskan dengan banyaknya populasi golongan darah yang menikmati kekebalan tertentu. Lebih sederhana, kita dapat membayangkan bahwa penyebaran penyakit, selama tahun-tahun pertama epidemi ini, secara alami berhenti di perbatasan wilayah ini.

Namun, wabah ini hanya pasif sementara, karena ketenangan penduduk di sana, kemudian dikejutkan oleh menyerangnya wabah kedua (tahun 1360–1363). Glenisson (1971) dan Guillere (1995), lantas meneliti berkembangnya wabah baru yang tak kalah mematikan.

Pada akhir paruh pertama abad keempat belas, dalam kurun waktu beberapa tahun, wabah, telah menghancurkan Italia, Prancis, Spanyol, Portugal, Inggris, Denmark1, Norwegia, Eropa Tengah dan Timur, kota-kota Jerman, Polandia, Lituania, Hungaria, Bohemia, Swiss, dan lain-lain, meninggalkan dunia yang tidak mengerti dan semakin berkurang.

Wabah, biasanya berkembang sesuai dengan ritme musiman, pasti karena aktivitas biologis virus, itu sendiri dipengaruhi oleh iklim yang interaksinya tidak tepat dengan Black Death - yang terus masih menjadi bahan diskusi, hingga kini.

Pandemi kedua, ketiga, dan seterusnya, terjadi. Dan kini, WHO menetapkan virus corona COVID-19 sebagai pandemi global. Bahayanya, tak kalah dahsyat dari Wabah Hitam. Sejarah wabah hitam seolah berulang... | tique

Editor : bungsem
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 244
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 423
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 317
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 272
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya