Pro Kontra Pengebirian Paedofil

| dilihat 2382

AKARPADINEWS.COM | Anak-anak berhak menghiasi hidupnya dengan kegembiraan dan menjalani proses pembelajaran yang baik sebagai bekal hidup kelak menginjak dewasa. Namun, hak-hak dan masa depan anak itu terhempas dan menjadi trauma berkepanjangan akibat tindakan cabul oknum orang dewasa yang tak kuasa mengendalikan hasrat seksualnya.

Anak-anak sering menjadi korban kejahatan seksual. Tindak bejat itu menjadi momok anak-anak yang menuntut orang tua agar lebih berhati-hati mengawasi anak-anaknya. Kasus terheboh baru-baru ini ialah pencabulan disertai pembunuhan terhadap seorang bocah perempuan berusia sembilan tahun, Putri Nur Fauzia. Ialah Agus Darmawan yang menjadi pelaku kejahatan sadis tersebut.  Jasad korban ditemukan di daerah Kalideres, Jakarta.

Pria berusia 39 tahun itu merudakpaksa korban karena diduga pengaruh obat-obatan terlarang. Pelaku juga diketahui memiliki kelainan seksual. Dia suka menyiksa lawan seksnya. Karenanya, Putri pun dibunuhnya. Perilaku brutal itu meneror orang tua. Hingga kemudian muncul wacana untuk menghukum berat para paedofil. Kasus itu hanya satu dari sekian banyak kasus pencabulan yang dialami anak-anak di Indonesia. Laku bejat itu kian merebak sehingga menuntut perlunya efek jera yang luar biasa bagi pelaku. Salah satunya, melakukan pengebirian terhadap pelaku.

Kebiri atau dikenal juga dengan istilah kastrasi adalah tindakan bedah atau menggunakan zat kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada pria dan ovarium pada perempuan. Tindakan mengebiri dipercaya akan memberikan efek jera kepada pelaku. Wacana pengebirian itu menarik berbagai pendapat.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan pengebirian sebagai bagian dari upaya pelindungan terhadap anak dari kejahatan seksual.“Kalau dikatakan kebiri itu melanggar HAM, bagaimana dengan hak anak yang menjadi korban dan hak orang tua yang anaknya menjadi korban? Bagaimana jika anak yang menjadi korban kecanduan seksual?" ujarnya seperti dikutip Antara, Kamis (22/10). Meski demikian, Khofifah menambahkan, hukuman kebiri tidak akan diterapkan begitu saja kepada seluruh pelaku kejahatan seksual. Namun, mempertimbangkan kriteria.

“Misalnya, diterapkan kepada pelaku kekerasan seksual yang menimbulkan efek berantai. Misalnya, predator menimbulkan predator berantai, sehingga dapat menimbulkan gejala paedofil berantai," terangnya. Perihal metodenya, Khofifah menjelaskan, bisa dengan cara bedah maupun dengan obat kimia yang disuntikkan atau dioleskan.

Giwo Rubianto Wiyogo, Pemerhati perempuan dan anak, menilai hukuman kebiri pantas diterapkan kepada pelaku kejahatan seksual. Dirinya mendukung pemberlakuan kebiri karena kejahatan seksual pada anak-anak sudah memperhatinkan.

“Kasus kejahatan seksual sudah taraf membahayakan. Pelakunya bukan hanya orang yang dikenal, tetapi orang dekat. Mengingat, kasus kejahatan seksual di Indonesia sudah darurat maka, pemberatan hukuman pelaku kejahatan seksual sudah keniscayaan," paparnya.

Selain itu, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) tersebut juga meminta Presiden Joko Widodo mengoptimalkan pencegahan. Misalnya, memperkuat instititusi keluarga untuk melindungi anak.

Rehabilitasi Mental

Tindakan tegas terhadap pelaku paedofil memang beralasan. Pasalnya, selain mengancam korban jiwa, anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual, akan mengalami trauma berkepanjangan. Tindakan pelaku akan mendekam dalam memorinya hingga ia tumbuh besar. Dampaknya, korban pun menutup diri jika penanganan rehabilitasi mental tidak maksimal. Bisa pula memunculkan dampak balas dendam kepada anak-anak lainnya. Dampak kesehatan juga akan dialami korban.

Namun, beberapa ahli medik menentang penerapan pengebirian. Ahli andrologi dan seksologi dari Rumah Sakit Siloam, dr Heru H. Oentoeng, M. Repro, Sp.And berpendapat, hukuman pengebirian akan sia-sia apabila tidak dibarengi dengan pembinaan dan rehabilitasi kepada pelaku. “Paedofilia kalau tidak direhabilitasi, dia akan bisa melakukan kekerasan seksual dengan cara lain, misalnya pakai alat tertentu, atau pakai jari," katanya.

Heru juga menjelaskan, kebiri bukan memotong penis, melainkan pemotongan testis yang memproduksi hormon testoteron. “Jadi, dia masih bisa menggunakan penisnya. Jika dia bisa terapi hormon, maka bisa pulih lagi penisnya,” jelasnya.

Heru khawatir, tanpa pemenjaraan dan pengawasan, paedofil bisa menjalani pengobatan untuk pemulihan. “Bisa saja dia pergi ke dokter dengan mengaku karena kecelakaan lalu dokter memberikan terapi hormon. Mana tahu kan dokternya? Dokter itu tahunya menyembuhkan, tidak membuat orang cacat," ujarnya.

Karenanya, Heru tidak setuju jika kebiri diberlakukan sebagai hukuman utama bagi paedofil. Dia lebih menekankan pemenjaraan dan rehabilitasi. Sementara kebiri sebagai hukuman tambahan. “Sebagai dokter kami tidak ingin membuat orang cacat, titik,” pungkasnya.

Realisasi wacana pengebirian memang harus ditimbang masak-masak. Agar tidak terjadi kesalahan prosedur kepada si pelaku paedofilia, termasuk juga pertimbangan dana yang harus disiapkan.

Menurut dr. Arry Rodjani, SpU, spesialis urologi dari Asri Urology Center, untuk pemberian obat saja membutuhkan biaya Rp700 ribu sekali penggunaan. “Untuk obat, biaya memang mahal. Untuk sekali suntik bisa Rp700 ribu hingga 1 juta," ujarnya.

Selain itu, obat untuk menekan bagian yang memproduksi hormon testoteron, Arry menjelaskan, hanya mampu bekerja menurunkan gairah seksual selama satu hingga tiga bulan. Karenanya, cara tersebut tidak hanya mahal, namun juga tidak efektif. "Kalau tidak diberikan maka ada kemungkinan akan hasrat seksual kembali lagi," jelasnya.

Sedangkan untuk metode bedah, Arry mengatakan, lebih diutamakan pengobatan seperti kanker testis atau prostat stadium lanjut. “Efek samping dari pembedahan ialah gairah seksual akan menurun, karena testisnya tidak ada. Libidonya turun," terangnya.

Meningkatkan Pengawasan

Pelaku kejahatan seksual terhadap anak atau paedofil memang harus diberikan hukuman setimpal dengan tindakannya. Tetapi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, pelaksanaan hukuman harus selalu dipantau oleh ahli medik. Jika tanpa pengawasan, bukan tidak mungkin pelaku malah akan merasakan efek samping dari eksekusi hukuman yang diterimanya atau bisa mengarah kepada kematian yang tidak diinginkan.

Kedua, biaya pengadaan prosedur pengebirian. Perlu dipertimbangkan anggaran yang dikeluarkan agar dana pengebirian tidak begitu saja menguap tanpa kejelasan. Selain itu, dengan pengadaan obat untuk pengebirian bisa memiliki lahan baru untuk dikorupsi. Apalagi, dalam pemberian obat pengebirian harus diberikan berkala sehingga akan ada beban biaya untuk memberikan obat secara kontinu. Oleh sebab itu, pengawasan pendanaan juga harus ketat dan akuntabel sehingga tidak disalahgunakan.

Terakhir, pengebirian tidak akan memutus begitu saja mata rantai kejahatan seksual pada anak. Perlu pendidikan yang jelas dan terarah kepada setiap keluarga agar lebih mendekatkan diri kepada anak. Keluarga juga harus didorong untuk memberikan pendidikan seksual yang tepat kepada anak agar mengetahui tanda-tanda dirinya menjadi target penjahat kelamin.

Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 538
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1062
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 291
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 756
Momentum Cinta
Selanjutnya
Energi & Tambang