Pilkada dan Kesejahteraan Rakyat

| dilihat 1467

15 Februari 2017, pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak digelar di 101 daerah di Indonesia. Kompetisi politik di tingkat lokal itu akan berlangsung di tujuh propinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Pilkada diharap tak sebatas panggung para elit dalam mempertahankan dan merebut kekuasaan.

Namun, harus menjadi momentum bagi rakyat untuk menuju perubahan masa depan yang lebih baik. Pilkada juga berharap berjalan demokratis, adil, jujur, dan partisipatif sehingga menghasilkan pemimpin daerah yang patuh terhadap titah rakyat.

Di ajang suksesi, rakyat yang menjadi penentu karir politik politisi, bebas menggunakan hak pilihnya tanpa intimidasi dan berdasarkan preferensinya. Adalah harapan semua, Pilkada dapat berlangsung secara demokratis, jujur, dan adil. Namun, harapan itu akan sulit terwujud jika hanya mengandalkan peran Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pemerintah, apalagi berharap kepada para petualang politik dan pendukungnya. Dalam konteks ini, dibutuhkan partisipasi rakyat yang menjadi indikator untuk menilai kualitas Pilkada. Tanpa partisipasi, Pilkada tak memiliki makna.

Partisipasi politik rakyat tidak sekadar diaktualisasikan dengan menggunakan hak polihnya di tempat pemungutan suara (TPS). Namun, rakyat perlu terlibat dalam mengawasi dan mengawal setiap proses tahapan Pilkada. Dengan tujuan, memastikan Pilkada bersih dari kecurangan yang mendistorsi demokrasi.

Masalahnya, tak mudah membangkitkan partisipasi rakyat. Di negara ini, khususnya di daerah, sebagian rakyat masih buta dan alergi terhadap politik. Bahkan, apatisme lantaran kekecewaan rakyat terhadap laku cela para politisi. Bagi sebagian rakyat, politik dikonotasikan negatif dan kotor.

Jika mencermati dinamika yang berkembang, jelang pemungutan suara, partisipasi politik rakyat belum terlihat menggeliat. Kalau pun terlihat riuh seperti di DKI Jakarta, dinamika yang terlihat kadangkala destruktif dan menciptakan polarisasi, bahkan rawan konflik. Di sejumlah daerah, geliat Pilkada belum terlihat.

Minimnya partisipasi politik rakyat itu lantaran tidak berjalan efektifnya mesin partai politik dalam memobilisasi dukungan rakyat. Dengan kata lain, masih terlihat ada jarak antara partai politik dengan rakyat. Hubungan yang berjarak itu lantaran partai politik seringkali berseberangan dalam menentukan arah kebijakan politik dengan suara-suara akar rumput.

Dalam kondisi demikian, peran masyarakat sipil (civil society) sangat penting untuk memastikan Pilkada berlangsung demokratis, jujur, adil, dan bersih, dengan mengiptimalkan fungsi pengawasan.

Masyarakat sipil yang di dalamnya terdapat unsur aktivis, akademisi, pers, pengusaha, politisi, dan sebagainya, perlu melakukan penetrasi ke ruang-ruang publik guna mendorong Pilkada berlangsung demokratis, termasuk menjadi mata dan telinga, mengawasi setiap proses dan tahapan Pilkada.

Peran yang bisa dilakoni antara lain melakukan advokasi, pendampingan, maupun peran kontrol terhadap penyelenggara Pilkada. Masyarakat sipil perlu menyadarkan rakyat agar kritis dalam memperkarakan setiap dugaan pelanggaran Pilkada.

Partisipasi politik merupakan prinsip dasar dalam berdemokrasi. Tidak ada demokrasi, tanpa partisipasi politik. Idealnya, partai politik sebagai instrumen demokrasi terus membuka ruang partisipasi agar demokrasi deliberatif terwujud, di mana terbuka akses bagi rakyat dalam menyatakan sikap dan pandangan politiknya dalam setiap proses politik.

Dan, partisipasi politik itu tidak berhenti usai suksesi. Namun, partisipasi rakyat diaktulisasi dengan menjadi pengontrol penyelenggara kekuasaan sehingga tidak ingkar terhadap mandat kekuasaan yang dipercayakan rakyat masyarakat pada elit. Idealnya, Pilkada yang dilakukan secara langsung mampu menghasilkan "Pemerintahan Masyarakat" yang diperlihatkan dengan adanya kedekatan hubungan antara pemerintah dengan rakyat.

Idealnya demikian. Karena, kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, harapannya mengembangkan inisiatif kebijakan maupun program pemerintahan yang berbasis pada kebutuhan rakyat. Sementara rakyat dapat memberikan masukan kepada pemerintah, termasuk terlibat dalam mengawasi implementasi program pembangunan di daerahnya.

Mengkritisi Program

Momentum Pilkada tidak sebatas ritual mengenai sirkulasi kekuasaan di tingkat lokal. Namun, Pilkada harus benar-benar dimanfaatkan oleh seluruh elemen masyarakat, mengkritisi janji-janji para kandidat yang dibungkus dalam program-program pembangunan untuk lima tahun yang akan datang. Dengan harapan, dampak pembangunan ke depan dapat lebih dirasakan rakyat.

Dalam konteks ini, perlu dilakukan penilaian (assessment) terhadap program-program yang disodorkan para kandidat. Suatu program yang disodorkan tentu tidak sekadar konsep yang orientasinya mengawang-awang. Namun, desain program yang disodorkan harus berbasis pada kebutuhan, ekspektasi, dan orientasi rakyat.

Program juga disusun mempertimbangkan rasionalitas, efektifitas, efisiensi, dengan dukungan sumberdaya (input) dan keluaran (output), efek atau hasil dari kegiatan program (outcomes), dan dampak (impact) yang terukur.  

Di sinilah kecerdasan para kandidat dipertaruhkan. Mereka dituntut tidak sekadar piawai bercakap-cakap di hadapan khalayak atau melontarkan jargon-jargon normatif. Namun, mereka harus menawarkan rancangan program yang sejalan dengan kebutuhan rakyat, berbasis pada data-data yang riil sesuai identifikasi masalah, dan mampu menyuguhkan solusi yang jelas, bukan sekadar retorika.

Hal itu bisa dilakukan jika mereka melakukan assessment kebutuhan, pengumpulan data, analisis data, serta merumuskan rekomendasi logis mengenai tindakan yang perlu dilakukan ke depan.

Tentu, dengan harapan mampu memecahkan persoalan-persoalan rakyat, dengan cara-cara efektif dan efisien, berdampak positif secara berkelanjutan bagi masyarakat, meminimalisir penyimpangan, tindakan yang dilakukan tepat dan benar, terpusat pada masalah strategis, mampu memberikan prediksi atas output dan impact yang akan datang, dan kejelasan target maupun pencapaian program.

Inputs terkait faktor-faktor pendukung yang tersedia dan digunakan untuk mendorong aktifitas program. Dari situ akan menghasilkan outputs berupa kegiatan program maupun peningkatan jumlah maupun volume pembangunan fisik yang diarahkan untuk kepentingan rakyat.

Sementara outcomes, yaitu kegunaan, faedah, atau manfaat langsung yang dinikmati rakyat. Misalnya, peningkatan hasil produksi, perubahan sikap dan perilaku masyarakat, perbaikan kualitas kehidupan rakyat, perubahan tingkat kemampuan, dan sebagainya. Sementara dampak, yaitu akibat yang timbul karena adanya suatu intervensi program. Misalnya, peningkatan derajat sosial ekonomi masyarakat, dan sebagainya.

Fakta menunjukan, Pilkada selama ini tidak serta merta menghasilkan pemimpin yang mampu mengoperasionalkan Pemerintah Masyarakat. Realitas memaparkan jika masih ada kesenjangan antara pemerintah dengan rakyat.

Bahkan, tak sedikit program pembangunan yang dilaksanakan justru memangkas akses rakyat dalam mengelola sumber-sumber kehidupan, memarginalisasi, dan menciptakan dampak negatif seperti kemiskinan, pengangguran, kejahatan, degradasi lingkungan, dan sebagainya.

Realitas demikian menunjukan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat masih menerapkan paradigma pembangunan yang salah, dengan lebih menekankan pada pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi. Sementara dimensi pembangunan berkelanjutan, yang menekankan dimensi sosial dan lingkungan, kurang mendapat perhatian.

Rancangan dan implementasi program pembangunan juga kurang bersifat integratif yang menghubungkan kepentingan semua stakeholders, koordinasi antarsektor, multidisplin, dan tidak dilaksanakan atas dasar konsensus yang mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Memang, di satu sisi, pembangunan dapat mengubah kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Namun, pembangunan juga menyisahkan dampak negatif bagi masyarakat. Misalnya, kondisi rakyat yang kian rumit diselesaikan lantaran makin kesulitan dalam memanfaatkan dan mengelola kekayaan sumberdaya alam di wilayahnya karena terus dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri.

Bagi pemerintah, investasi di sektor ekstrak itu dapat meningkatkan pendapatan daerah. Namun, bagi rakyat, eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan makin menyebabkan mereka miskin karena kehilangan (deprevation) sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, termasuk sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat eksploitasi industri juga mengakibatkan kian memburuknya derajat kesehatan masyarakat.

Fenomena di sebagian desa misalnya. Desa sebatas "ladang basah" yang tak hentinya "dibajak" industri, tanpa memperhatikan dimensi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menekankan pentingnya mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Desa tak memiliki posisi tawar (bargaining position)--meski perannya sangat besar sebagai produsen yang menyuplai hasil pertanian, perkebunan, pertambangan, dan bahan-bahan ekstra lainnya untuk kebutuhan masyarakat luas maupun kepentingan industri nasional.

Akibatnya, terjadi disparitas pembangunan antara kota dan desa. Itu karena kebijakan pembangunan yang lebih memihak kepentingan investor, yang dengan kekuatan kapital, mendapatkan lisensi dari penguasa di daerah, untuk memanfaatkan, mengontrol, termasuk mengendalikan pendistribusian sumberdaya alam. Para pemodal yang memiliki akses kekuasaan di daerah itu dapat dengan leluasa memonopoli sumberdaya alam di daerah.

Implementasi model pembangunan demikian, nyatanya tidak menimbulkan trickle down effect ke masyarakat di desa, yang indikatornya terlihat dari meningkatnya kesejahteraan bagi rakyat.

Belum lagi terkurasnya modal sosial akibat penetrasi nilai-nilai baru yang mereduksi identitas masyarakat lokal (local wisdom). Hal itu menjadi persoalan serius karena mengancam eksistensi nilai maupun norma dalam masyarakat desa yang menjadi instrumen keteraturan sosial.

Kondisi tersebut yang kemudian mendorong terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota yang dipicu pemusatan lapangan kerja di kota yang mengakibatkan masalah demografis yaitu over concentration penduduk di kota. Sumber-sumber ekonomi yang menumpuk di kota menyebabkan masyarakat desa "mengepung" kota. Arus migrasi yang tidak terkendali itu pada akhirnya munculnya beragam patalogi sosial di perkotaan seperti kriminalitas, pengangguran, kemiskinan, konflik, dan sebagainya.

Karenanya, dalam konteks Pilkada saat ini, masyarakat harus mengkritisi program pembangunan yang bersifat multidimensi. Tidak hanya pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur semata. Namun, harus menekankan pada dimensi sosial, dan lingkungan sehingga dampak pembangunan lebih berkelanjutan.

Dalam konteks sosial, orientasi pembangunan menekankan pada aspek pemerataan (equity), tidak hanya mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu saja. Misalnya, dalam hal pemanfaatan sebuah kawasan potensial, kebijakan pemerintah tidak boleh hanya menguntungkan segelintir pihak dan mengambaikan eksistensi lingkungan.

Pengelolaannya tidak boleh menghambat akses masyarakat dalam mengelola sumber-sumber kehidupan. Praktik pembangunan yang cenderung hanya mengakomodasi kepentingan pihak tertentu, akan menciptakan konflik. Realisasi pembangunan yang berskala besar, harus mempertimbangkan biaya sosial (social cost), termasuk degradasi lingkungan akibat alih fungsi lahan yang meningkat seiring pemenuhan kebutuhan akan ruang dan bertambahnya jumlah penduduk yang terkonsentrasi dalam suatu wilayah.

Pembangunan juga tidak sekadar berorientasi pada produk. Namun, juga menekankan pada proses, di mana pemerintah daerah menempatkan masyarakat sebagai mitra pembangunan. Pemerintah jangan apriori jika proses pembangunan yang melibatkan masyarakat, akan menyebabkan proses pembangunan berlangsung rumit. Justru dengan pendekatan partisipatif akan membantu pemerintah memanfaatkan modal sosial, yang sama pentingnya dengan modal finansial.

Cara-cara tersebut juga membuka ruang bagi masyarakat untuk melakukan pembelajaran sosial (social learning) sehingga mendidik mereka menjadi aktor pembangunan, menyumbangkan gagasan-gagasan maupun terlibat dalam pembangunan.

Partisipasi masyarakat itu akan tumbuh, jika pemerintah bersikap terbuka, menempatkan masyarakat sebagai mitra, subyek, bukan objek pembangunan. Ketertutupan informasi dan penyusunan perencanaan pembangunan yang bersifat top down, justru akan memunculkan kecurigaan, yang pada akhirnya memancing resistensi.

Karenanya, pemerintahan masyarakat menekankan pada dialog dan komunikasi yang seimbang antara pemerintah, masyarakat, dan swasta atau para pihak yang berkepentingan lainnya. Dengan begitu, akan menghasilkan konsensus yang mengikat semua stakeholders. Konsensus yang terwujud itu akan menjadi kekuatan sosial.

Pembangunan Berpusat pada Rakyat 

Realitas paradoks terpapar. Ada kesenjangan antara pembangunan ekonomi dengan kesejahteraan masyarakat, serta keberlanjutan lingkungan. Pertumbuhan ekonomi nyatanya belum menjadi stimulus pengentasan kemiskinan. Di tahun 2016, rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas lima persen.

Namun, pertumbuhan ekonomi kurang bergerak linier dengan upaya pengentasan kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2016, jumlah orang miskin di Indonesia masih tinggi, di atas 28 juta jiwa.

Meminjam istilah James Midgley (1995), realitas demikian, merupakan dampak dari pembangunan yang terdistorsi (distorted development). Pandangan tersebut mengacu pada prespektif struktural dengan mengamati masalah kemiskinan, akibat dampak pembangunan ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital, mengarusutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemertaan (equity) hasil pembangunan. 

Pemerintah sebenarnya sudah banyak merealisasikan program-program pembangunan sosial yang diarahkan untuk menekan angka kemiskinan Angaran yang digelontorkan juga tidak sedikit. Namun, program itu belum optimal menekan angka kemiskinan. Persoalan itu, menurut Korten (2001), karena tidak berjalannya visi pembangunan yang berpusat pada masyarakat (people center development). Itu terlihat dari kebijakan pembangunan yang kurang menekankan pada prioritas kepentingan masyarakat.

Konsep pemberdayaan dan pendekatan partisipatif yang dijalankan juga bersifat kamuflase dan dianggap proyek semata. Praktik pembangunan belum berakar dari bawah (grassroots oriented), berorientasi mempertahankan modal sosial dan lingkungan. Padahal, esensi pembangunan adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat secara merata dan berkeadilan.

Praktik pembangunan berpusat pada masyarakat masih dipahami menempatkan manusia sebagai prioritas dalam pembangunan, sedangkan pengertian kesinambungan lebih diarahkan pada berkesinambungan program pembangunan yang dijalankan oleh para pelaku pembangunan. Dalam praktiknya, unsur lingkungan kurang menjadi prioritas. Akibatnya, eksploitasi sumberdaya alam tidak terelakan.

Idealnya, pembangunan mengarusutamakan pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga aspek itu menjadi bagian yang terintegrasi dengan paradigma pembangunan, yaitu pembangunan sosial (social development), pembangunan berwawasan lingkungan (environmental development), dan  pembangunan yang berpusatkan pada masyarakat (people centered development). Integrasi antara ketiga dimensi itu disebut paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Model pendekatan pembangunan yang berpusat pada masyarakat merupakan antitesis dari model pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan. Praktik pembangunan yang berpusat pada masyarakat menekankan pada partisipasi dan prinsip pemertaan dan keadilan serta memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Pembangunan yang berpusat pada masyarakat juga menekankan pentingnya pemberdayaan agar masyarakat dapat menjalankan aktivitas sosial dan ekonominya.

Dengan keberdayaan itu, masyarakat memiliki inisiatif kreatif sebagai sumber daya pembangunan utama, sekaligus meraih kesejahteraan material dan spiritual sebagai tujuan dari pembangunan. Untuk menciptakan keberdayaan maka pembangunan harus bertumpu pada masyarakat (community based development). Dengan keberdayaan, baik keberdayaan secara fisik dan mental, maka masyarakat akan lebih survive dalam menjalani kehidupan, baik melaksanakan fungsi sosial maupun ekonomi sehingga harta dan martabatnya sebagai manusia meningkat.

Dalam konteks ini, dimensi pembangunan bersifat multidimensi. Keberhasilan pencapaian pembangunan tidak hanya diukur dari aspek ekonomi semata. Namun, upaya mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, harus bergerak linier pembangunan sosial dan lingkungan yang direalisasikan dengan pengurangan ketimpangan pendapatan, pengentasan kemiskinan, dan keberlanjutan lingkungan.

Dengan kata lain, pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan pembangunan lingkungan merupakan satu kesatuan, bukan entitas yang dikotomistik, yang saling terpisah satu dengan yang lain.

Seperti dinyatakan Midgley, tidak ada pembangunan ekonomi yang bergerak dinamis, tanpa keselarasan dengan pembangunan sosial. Pendapat Midgley pada dasarnya mengandung makna jika pembangunan sosial merupakan dimensi etis dari proses pembangunan. Sementara paradigma pembangunan ekonomi nyatanya tidak memunculkan multiplier effect, bahkan justru membahayakan kehidupan sosial.

Dengan demikian, indikator pembangunan tidak dilihat dari angka-angka statistik yang merefleksikan rendahnya pendapatan, buruknya kondisi perumahan, tingginya angka kematian bayi-bayi, atau tingginya angka pengangguran. Namun, harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional, lintas sektoral, lintas bidang dan mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur struktur sosial, sikap, perilaku, pengetahuan, kemampuan individu atau masyarakat.

Seperti dijelaskan Todaro dan Smith (2006), bahwa inti dari pembangunan adalah kecukupan (sustenance). Kecukupan diartikan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti sandang, pangan papan, kesehatan dan keamanan. Jika salah satu dari kebutuhan dasar itu tidak terpenuhi, maka akan memunculkan keterbelakangan absolut. Dalam hal ini, fungsi kegiatan ekonomi adalah menyediakan sebanyak mungkin bekal hidup masyarakat guna menghindari kesengsaraan akibat kekurangan pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan. Atas dasar itu, sangat beralasan jika para ekonom beranggapan, keberhasilan pembangunan ekonomi merupakan syarat utama bagi upaya memperbaiki kualitas kehidupan manusia.

Inti pembangunan juga adalah harga diri (self esteem). Seseorang harus memiliki harga diri agar mampu memposisikannya sebagai manusia yang seutuhnya. Kehidupan akan lebih baik jika seseorang memiliki kepercayaan dan keyakinan dalam melakukan sesuatu.

Lalu, inti pembangunan juga adalah kebebasan (freedom) yang diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pemenuhan aspek-aspek materiil semata. Kebebasan akan mendorong individu untuk berpikir jernih dan menilai segala sesuatu atas dasar keyakinan, pikiran yang sehat dan hati nurani. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 215
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 217
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 425
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
Selanjutnya
Energi & Tambang