Pesan dari Tanah Merah untuk Anies

| dilihat 1863

AKARPADINEWS.COM | ANIES Baswedan kian gencar menyambangi warga. Dia menyusup dari kampung ke kampung di Jakarta. Musim suksesi saat ini, merupakan momen tersibuk bagi calon gubernur DKI Jakarta yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu dalam menyapa dan berinteraksi bersama warga.

Jelang ritual politik lima tahunan yang kali kedua digelar serentak tanggal 15 Ferbruari 2017 di 101 daerah di Indonesia, para calon kepala daerah memang harus membuka ruang interaksi dengan warga agar aktif dan berinisiatif dalam berpolitik. Dialog, diskusi, atau sekadar ketawa-ketiwi bersama, menjadi cara yang ditempuh para kandidat dalam meraih simpati warga. Dan, dengan cara demikian, para kandidat dapat memahami secara utuh realitas yang dihadapi warga.

Sebagai kandidat gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, Anies total football meraih dukungan warga agar dapat menduduki kursi DKI-1. Sementara bagi warga, kedatangan Anies, tentu tidak sekadar dimanfaatkan untuk berjabat tangan maupun berfoto bersama. Warga memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menumpahkan unek-unek-nya tentang persoalan yang dihadapinya. Dan, di saat itulah, warga menunjukan posisi tawarnya.

Seperti yang dilakukan warga Tanah Merah, Jakarta Utara saat dikunjungi Anies, Minggu (2/10) lalu. Warga mengamini harapan Anies untuk menjadi gubernur DKI Jakarta. Mereka siap memberikan dukungan dengan syarat, jika Anies memimpin Jakarta untuk lima tahun ke depan, aspirasi warga direalisasikan dalam bentuk kebijakan maupun implementasi program.

Untuk memastikan janji Anies, warga lalu menyodorkan kontrak politik. Warga tak ingin Anies sekadar menebar janji manis. Kontrak politik itu berisi tiga tuntutan warga. Pertama, melegalisasikan tanah dengan sertifikat, realisasi kampung deret dan mempertahankan kearifan lokal Jakarta.

Kedua, me-review (mengkaji lagi) dan merevisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta dalam hal zonasi. Ketiga, keterbukaan dan penyebarluaskan informasi kepada warga.

Warga Tanah Merah tentu berkepentingan untuk memastikan gubernur yang akan datang tidak mengusik kehidupan mereka di kampung yang telah dihuninya selama 20 tahun. Sudah sekian lama, kehidupan mereka dibayangi ancaman penggusuran. Karena, keberadaan mereka di atas lahan itu tidak diakui secara hukum. Mereka dianggap penghuni ilegal karena tak mengantongi sertifikat hak milik atas tanah yang ditempati.

Karenanya, kepada Anies, warga berharap, menjadi mediator, agar hak-haknya atas penguasaan tanah tidak hilang. Warga juga ingin Anies tidak mengubah fungsi permukiman penduduk menjadi pusat perniagaan dan apartemen.

Anies mengamini tiga tuntutan warga itu. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu mengatakan, pesan utama kontrak politik itu adalah pentingnya dialog dan mediasi. Dan, dia siap menjalaninya. "Kontrak politik pesan utamanya akan berdialog, akan berkomunikasi termasuk memerankan mediasi, meskipun tanah itu bukan milik pemerintah daerah," katanya.

Warga Tanah Merah memanfatkan momentum suksesi untuk menuntaskan persoalan yang dihadapinya. Mereka berharap, Anies maupun kandidat lain yang terpilih, benar-benar memastikan kejelasan status lahan yang mereka tempati.

Sebelumnya, warga pernah dijanjikan oleh Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) saat maju sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta pada Pilkada tahun 2012 lalu. Jokowi-Ahok kala itu menjanjikan akan memberikan sertifikat tanah kepada warga Tanah Merah. Janji itu disambut antusias warga. Mereka pun berbondong-bondong mencoblos Jokowi-Ahok. Hasilnya, pasangan itu menang telak di wilayah Tanah Merah.

Sebelum menyampaikan dukungan kepada Anies, warga Tanah Merah juga menyuarakan dukungannya kepada Tri Rismaharini saat namanya disebut-sebut sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Alasan memberikan dukungan pun sama. Warga ingin, jika Risma menjadi gubernur, tidak akan ada penggusuran di Tanah Merah.

Warga Tanah Merah memang risau dengan cara-cara penggusuran paksa yang dilakukan Ahok, yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta dan kembali maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta yang didukung PDIP, Partai Golkar, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Ahok, memang kerap melakukan penggusuran. Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menunjukkan, selama tahun 2015, terjadi 113 kasus penggusuran paksa oleh Pemprov DKI Jakarta.

Total jumlah korban sebanyak 8.145 kepala keluarga (KK) dan 6.283 unit usaha. Sebanyak 67 persen di antaranya dibiarkan tanpa solusi. Ahok dinilai tidak mau mendengar dan berempati pada warga miskin. Tak hanya itu, Ahok juga melibatkan militer saat melakukan penggusuran.

Padahal, keterlibatan itu bertentangan dengan UU No 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). UU tersebut menyatakan, TNI hanya berwenang mengurusi pertahanan, bukan ketertiban umum yang menjadi tugas kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Bagi warga Tanah Merah, sosok Ahok berbeda dengan Jokowi. Saat menjabat gubernur, Jokowi membentuk RT/RW yang sebelumnya tidak ada di Tanah Merah. Sejak itu, Tanah Merah diakui oleh negara. Sebagai balas budi, saat Pemilihan Presiden 2014 lalu, warga di sana memilih Jokowi. Hasilnya, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, meraih kemenangan signifikan di Tanah Merah.

Namun, hingga saat ini, warga Tanah Merah masih dihantui ketidakjelasan legalitas kepemilikan tanah yang terletak di Kecamatan Kelapa Gading dan Kecamatan Koja, Jakarta Utara itu. Mereka juga ingin ada perhatian lebih dari pemerintah untuk mengubah wajah kampung yang kumuh menjadi lebih rapi. Dan, kepada Anies, mereka berharap.

Jika terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, Anies yang telah meneken kontrak politik, tentu harus melaksanakannya sebagai konsekwensi dari etika berpolitik. Anies harus melakoni peran sebagai mediator untuk menghindari penggusuran sepihak yang dilakukan pemerintah.

Memang, pemerintah tidak bisa serta merta melakukan penggusuran paksa, meski berdalih demi kepentingan yang lebih luas. Karena, warga sudah sekian lama menepati lahan di Tanah Merah.

Sengketa tanah di kawasan Tanah Merah memang sudah sekian lama tidak terselesaikan. Persoalan kian sulit diurai seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk yang menetap di sana. Tanah Merah menjadi pilihan warga, khususnya kalangan menengah ke bawah untuk menetap di Jakarta, karena merupakan tanah negara. Sebagian besar mereka bekerja di sektor informal yang tingkat pendapatannya sangat minim.

Sebelumnya, tanah milik Pemerintah Kota Jakarta Utara itu diberikan kepada PT Pertamina (persero) untuk dijadikan kawasan pemrosesan bahan bakar minyak. Warga pun diminta untuk mengungsi. Namun, warga enggan meninggalkan tanah itu karena sudah sekian lama menetap. Jumlah penghuninya pun kian bertambah lantaran sejak tahun 1970-an, pemerintah melakukan pembiaran. Lama kelamaan, warga pun membangun rumah permanen di Tanah Merah.

Konflik mengemuka di akhir tahun 1988 ketika pemerintah melakukan penertiban rumah warga. Namun, upaya pemerintah itu gagal karena mendapatkan perlawanan warga. Lalu, di awal tahun 1990, Pertamina bersama Pemerintah Kota Jakarta Utara melakukan sosialisasi kepada warga agar mengosongkan Tanah Merah lantaran depo Pertamina akan diperluas. Namun, proses berlangsung sangat alot dan berakhir antiklimaks. Negosiasi tidak mencapai konsensus, khususnya terkait ganti rugi yang bakal diterima warga.

Warga Tanah Merah mengklaim berhak menempati tanah itu karena di tahun 1980, pemerintah mengizinkan mereka menetapi kawasan yang tadinya lahan kosong. Sementara Pertamina juga mengklaim berhak memanfaatkan tanah yang ditepati warga karena sudah mengantongi izin dari Pemerintah Kota Jakarta Utara.

Posisi warga kian kuat setelah pengadilan memenangkan gugatan warga. Pengadilan memerintahkan Pertamina dan Pemerintah Jakarta Utara untuk menghentikan penggusuran. Sejak itu, hubungan warga dengan pemerintah merenggang. Sampai-sampai, pelayanan adminstrasi kepada warga pun diabaikan.

Akibatnya, warga dihadapi kesulitan saat mengurus syarat administrasi untuk pendidikan anak-anaknya, mendapatkan pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Hak mereka sebagai warga negara diabaikan lantaran tidak mengantongi kartu keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP), bahkan sampai akte kelahiran dan kematian.

Warga Tanah Merah baru bisa bernafas lega di tahun 2012, setelah pergantian kepemimpinan dari gubernur Fauzi Bowo ke Jokowi. Di era kepemimpinan Jokowi, warga mendapatkan KTP dan pengesahan RT/RW di wilayahnya. Meski demikian, bukan berarti rumah mereka aman-aman saja. Karena, permasalahan yang dihadapi bukan sekadar persoalan administrasi. Dengan kata lain, pemberian KTP, tidak berarti sengketa kepemilikan tanah di Tanah Merah selesai.

Karenanya, dibutuhkan dialog guna membangun kesepakatan, yang tidak berarti semua warga harus setuju, apalagi dalam kasus di mana terdapat perbedaan pandangan dan kepentingan. Konsensus setidaknya menjadi acuan suatu tindakan untuk memperbaiki kondisi warga menjadi lebih baik dengan mempertimbangkan haknya sebagai warga negara Indonesia.

Anies juga menyambangi warga Jatinegara, Jakarta Timur. Aspirasi yang disampaikan warga di sana nyaris sama. Mereka menentang rencana penggusuran. Terkait aspirasi warga itu, mantan Rektor Universitas Paramadina itu mengatakan, masalah penggusuran, bisa berbeda-beda.

Karenanya, dia menekankan pentingnya dialog antara pemerintah dengan warga hingga menemukan solusinya. "Bila dibicarakan baik-baik, ada solusinya. Sebenarnya, itu untuk kepentingan lebih besar," kata Anies.

Penggusuran paksa tidak bisa dilakukan karena, menurut Anies, ada memori warga yang juga harus diperhatikan pemerintah. "Kami janji mengutamakan dialog. Mencari pemahaman antar pihak terkait," ujar Anies.

Penggusuran memang kadang dijadikan alternatif bagi pemerintah untuk melakukan pembangunan. Namun, penggusuran tidak dapat dilakukan secara paksa karena melanggar UUD 1945, Pasal 28H ayat 1 yang menegaskan hak setiap warga negara atas tempat tinggal.

Penggusuran paksa juga melanggar ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM), Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang telah diratifikasi melalui UU No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Larangan penggusuran paksa juga ditegaskan dalam Pendapat Umum PBB Nomor 4 Tahun 1991 tentang Hak Atas Perumahan yang Layak. Dan, berdasarkan Pendapat Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa, ditekankan pentingnya musyawarah dengan warga yang terkena dampak, pemberitahuan kepada warga sampai jadwal penggusuran akan dilakukan, kejelasan informasi tentang kegunaan lahan pasca penggusuran, kehadiran pemerintah saat penggusuran, penyediaan sarana pemulihan berdasarkan hukum.

Dan, umumnya, penggusuran paksa memicu bentrokan antara aparat penegak hukum terhadap warga. Tak hanya itu, penggusuran paksa juga kian memarginalisasikan warga. Karenanya, mediasi perlu diterapkan guna menghindari pengusuran sepihak yang menguntungkan kalangan tertentu saja. Selain itu, diberikan pendampingan atau bantuan hukum bagi mereka yang akan menuntut ganti rugi melalui lembaga peradilan. Penggusuran tidak boleh mengakibatkan seseorang berada dalam keadaan tidak memiliki rumah sama sekali atau kualitas hidup dan martabatnya menurun di lokasi yang baru.

Saat bertandang ke Kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, untuk melakukan konsolidasi dengan para relawannya, Anies juga mengkritik pelaksanaan program pembangunan yang selama ini mengabaikan partisipasi warga. Dia menilai, warga selama ini, lebih sering menjadi penonton dari pada terlibat dalam pelaksanaan program pembangunan yang direalisasikan pemerintah.

Misalnya, dalam menangani permasalahan sampah. Menurut Anies, permasalahan itu hanya dituntaskan di bagian hilirnya saja. Sementara di bagian hulu, di rumah tangga dan lingkungan, kurang mendapatkan perhatian dan warga tidak dilibatkan.

Karena itu, Anies menyatakan, dia bersama Sandiaga Uno ikut dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, dengan tujuan memimpin masyarakat Jakarta, bukan sekadar kotanya. Namun, juga berikhtiar membangkitkan partisipasi warga. Pemerintah nantinya lebih berperan dalam memafasilitasi dan warga akan lebih dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan begitu, yang harus dibangun, bukan sekadar kota Jakarta, tetapi juga perilaku dan kebiasaan masyarakatnya. "Sebuah kota besar, apalagi kota metropolitan, masyarakatnya harus dibiasakan terlibat."

Guna mengefektifkan mobilisasi partisipasi warga, Anies menekankan pentingnya peran ketua RT dan ketua RW sebagai garda terdepan, sebagai ruang interaksi bagi warga. "Komponen masyarakat harus terlibat dan siapa yang paling depan ada di RT dan RW," kata Anies. Dia ingin, Ketua RT dan Ketua RW tidak sekadar berperan pada tataran administratif.

Memang, warga dengan segala daya yang dimilikinya, harus diberikan ruang untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan menentukan tindakan terkait dengan kepentingan mereka dan mempertahankan keberlanjutan lingkungannya, termasuk memangkas hambatan sosial dan ekonomi yang dihadapinya. Hal itu dapat dilakukan jika pemerintah bersedia memangkas dominasi, memberikan kepercayaan kepada warga untuk menggunakan daya yang dimiliki. Inilah paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development) dengan tujuan menciptakan kesamaan gerak antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Pembangunan yang berpusat pada manusia, yang menurut Korten (1984) bertujuan to enchance human growth and well being, equity, and sustainablity, tidak sekadar berorientasi pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, juga pemerataan kemakmuran, menciptakan keadilan, dan berkesinambungan.

Dalam konteks ini, Korten menekankan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pembangunan yang tidak menghancurkan lingkungan demi mengejar pertumbuhan ekonomi. Pembangunan yang tidak mencipktakan realitas paradoks, di mana pertumbuhan ekonomi justru memperbesar jurang kesenjangan sosial. Pembangunan yang tidak sekadar menata kota dengan pembangunan infrastruktur seperti perumahan, perkantoran, pertokoan, dan sebagainya. Pembangunan yang tidak menghilangkan paru-paru kota yang pada akhirnya meningkatkan biaya kesehatan (health cost) dan biaya sosial (social cost).

Di Jakarta, termasuk kota-kota lainnya di Indonesia, pembangunan masih lebih berorientasi ekonomi, dengan menjadikan kota sebagai pusat bisnis, infrastruktur, hiburan, dan sebagainya. Dampaknya pun berpengaruh terhadap marginalisasi sosial. Misalnya, reklamasi pantai yang kian mempersulit nelayan, kelompok miskin yang menggantungkan hidupnya di sekitar pantai. Demikian pula pengembangan perumahan, mal, dan sebagainya, yang mempersempit ruang hijau di perkotaan.

Para pelaksana pembangunan yang lebih konsern membangun pusat-pusat bisnis dan perdagangan daripada membangun manusia dan lingkungan mengakibatkan masyarakat bersahabat dengan bencana. Banjir misalnya, seakan sudah menjadi fenomena tahunan yang kerap menimpa warga Jakarta.

Di beberapa kota di negara-negara yang ekonominya sudah baik (well develop), orientasi pembangunan lebih mengarah pada membangun hubungan antarmanusia dan manusia dengan lingkungannya. Model pembangunan ini menitikberatkan pada keseimbangan pembangunan, mengutamakan partisipasi sebagai proses pembelajaran sosial (social learning), dengan meningkatkan modal sosial, sekaligus meningkatkan daya warga agar lebih berdaya dalam mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang sejalan dengan kepentingan dan keberlanjutan lingkungannya, termasuk memangkas hambatan-hambatan pembangunan. Sementara pemerintah melakoni peran memfasilitasi, memberikan dukungan kepada warga yang ingin terlibat dalam pembangunan.

Jakarta, dengan segala kompleksitas persoalannya, tak cukup hanya menggandalkan peran pemerintah. Dibutuhkan partisipasi warga dalam mengurai permasalahan yang melilit ibukota. Tak bisa disalahkan pula warga dari desa berbondong-bondong ke Jakarta.

Karena, urbanisasi yang masif tidak terlepas dari kesalahan penerapan kebijakan pembangunan selama ini. Desa dan kota seperti Jakarta, sebenarnya dua wilayah dalam kesatuan, yang saling ketergantungan. Namun, desa-kota mengambarkan realitas yang kontras. Desa hingga kini masih identik dengan kemiskinan, ketertinggalan, keterasingan, dan kebodohan. Sementara kota terus berkembang dengan segala dinamika dan kompleksitas masalahnya.

Ada disparitas pembangunan di kedua wilayah itu akibat orientasi pembangunan yang lebih memusatkan pada kota. Akibatnya, disparitas yang mencolok antara desa-kota, baik dari aspek pendapatan per kapita masyarakatnya, kualitas sumber daya manusianya, ketersediaan sarana dan prasarana, mutu pelayanan sosial (kesehatan, pendidikan), akses modal untuk mengembangkan usaha, dan lain-lain.

Hal yang paling penting adalah memanfaatkan modal sosial yang ada--yang tak kalah penting dibandingkan modal finansial. Sebenarnya, saat Pilkada 2012, Jokowi pernah berencana memanfaatkan modal sosial dengan menghadirkan Pemerintahan-Masyarakat. Tujuannya, pemerintahan, yang beranggotakan masyarakat, di mana berbagai kebijakan harus berbasis pada suara-suara masyarakat. Pemerintahan Masyarakat membuka ruang bagi masyarakat dalam menentukan masa depan kota, mempengarui penyusunan, dan implementasi program.

Ide Anies akan mengutamakan partisipasi warga perlu diapresiasi. Karena, warga bukan kumpulan orang-orang bodoh yang hanya bisa maju kalau mendapatkan perintah. Mereka mencapai taraf yang saat ini, tentu melalui proses evaluasi yang cukup panjang.

Interaksi antara Anies dan warga Tanah Merah yang kemudian ditindaklanjuti dalam kontrak politik patut dicontoh bagi warga lain yang daerahnya tengah menggelar hajatan Pilkada serentak di tahun 2017. Karena, dalam proses itu, warga memiliki posisi tawar kepada para kandidat. Warga jangan sekadar disuguhkan janji-janji surga, yang pada kenyataannya tidak sejalan dengan persoalan yang dihadapi.

Meneken kontrak politik adalah bagian dari komitmen kandidat untuk merealisasikan janjinya jika kelak memenangi suksesi. Kontrak politik pada dasarnya mengikat politisi agar bertanggungjawab secara moral melaksanakan tugasnya sesuai aspirasi warga hingga pemerintahan berakhir. Kontrak politik juga terkait dengan gentlement agreement para politisi agar lebih meletakan kepentingan yang lebih luas dibandingkan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.

Namun, kontrak politik dalam praktiknya di negara ini masih sifatnya normatif, tidak membawa konsekwensi hukum dan politik kepada para kandidat yang terpilih jika melanggar kontrak yang diteken. Meski demikian, kontrak politik menegaskan soal etika politik para politisi agar memperhatikan self control, di mana segala tindakan yang dilakukan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi maupun kelompok. Jika kekuasaan diselenggarakan tanpa berbasis etika, maka penguasa hanya menjadikan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Apa yang dilakukan Anies juga ikhtiar menjadikan Pilkada lebih bermakna. Model kampanye akan lebih menyehatkan demokrasi dan mendidik nalar politik rakyat. Model pendekatan "ketuk pintu" seperti yang dilakukan Anies memang rada melelahkan. Namun, dengan cara itulah warga dapat berinteraksi langsung dengan kandidat. Mereka dapat menggali informasi tentang rencana yang akan diperjuangkan jika kelak si kandidat terpilih menjadi kepala daerah.

Dan, bagi para kandidat, mendengar suara-suara rakyat, akan memudahkannya dalam mendesain misi-visi dan program kerja sehingga tidak mengawang-awang. Kandidat bakal lebih berpeluang menyakinkan warga jika program yang disuguhkan bersentuhan dengan kebutuhan warga. Hal itu akan mempengarui pilihan politik warga. Dampaknya berbeda jika kandidat hanya dikenal warga lewat pemberitaan di media, brosur, stiker, spanduk dan sebagainya yang ramai terpampang di setiap sudut kota, saat menjelang kampanye.

Model kampanye demikian juga lebih mendidik, dibandingkan dengan cara pengerahan massa yang diramaikan hiburan. Warga pun mendapatkan ruang untuk melontarkan aspirasi, berdialog, dan mengetahui permasalahan yang dihadapi, dan solusinya.

Kandidat pun akan lebih leluasa menawarkan solusi tepat untuk menyembuhkan persoalan yang dihadapi warga. Praktik demikian lebih menyehatkan demokrasi. Cara-cara itulah yang dilakukan Jokowi saat kampanye Pilkada 2012 lalu. Kala itu, Jokowi berkeliling dari kampung ke kampung menemui warga miskin ibukota. Hasilnya terbukti efektif dalam menggalang dukungan warga.

Berbeda dengan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur petahana, Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli yang cenderung bergerak pada isu elitis dan kurang mengangkat isu-isu kerakyatan sehingga sulit meraih simpati warga kelas bawah. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 519
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1607
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1392
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya