catatan Bang Sèm
Akankah kebangkitan China dan Indonesia juga bakal mengimbas dan mendorong kebangkitan peradaban Islam yang juga berporos di Asia Tenggara dengan Indonesia dan Malaysia sebagai motornya?
Pertanyaan itu tertulis dalam makalah terakhir Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., M.Phil., CBE - cendekiawan muslim dan akademisi Indonesia, yang juga Ketua Dewan Pers, sebelum wafat pada Ahad (18/9/22), pukul 12.30 di Hospital Serdang, Selangor - Malaysia.
Untuk menjawab prtanyaan ini, menurut Allahyarham, kita perlu berbicara tentang beberapa prasyarat bagi kebangkitan peradaban yang kontributif bagi pcradaban dunia secara keseluruhan. Prasyarat utama, menurutnya, adalah stabilitas politik.
Demokrasi Indonesia yang telah diadopsi dan dipraktekkan sejak 1999 masih perlu dikonsolidasikan dalam tiga hal : basis konstitusional - legal, kelembagaan (parpol, legislatif dan eksekutif), dan budaya politik. Hanya dengan konsolidasi lebih lanjut dapat ditegakkan good governance, pencgakan hukum, dan kohesi sosial.
Sedangkan di Malaysia, juga mendcsak perlu konsolidasi kekuatan politik umat Islam yang terceraiberai dalam beberapa tahun terakhir. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan untuk mempertahankan hegemoni politik dan kekuasaan Melayu, baik di eksekutif maupun legislatif. Juga tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi yang mutlak perlu bagi kemajuan puak Melayu khususnya.
Makalah tersebut disiapkan Allahyarham untuk berbicara di hadapan peserta Muktamar Sanawi ABIM, bertajuk Kosmopolitan Islam: Mengilham Kebangkitan, Meneroka Masa Depan," di Bangi Avenue Convention Centre, Selangor.
Muktamar berlangsung Sabtu (17/9/22). Namun tak dapat dihadirinya, karena Allah menghendaki lain. Kabar wafatnya Allahyarham saya terima via pesan whats app ABIM pada Ahad tengah hari, beberapa saat setelah Prof. Azyumardi Azra wafat. Indonesia berduka.
Allahyarham Prof. Azyumardi Azra, berangkat ke Malaysia, Jum'at (16/9/22) setelah terlebih dulu melakukan kunjungan ke Sumatera Barat. Lalu kembali ke Jakarta, dan melanjutkan perjalanan ke Kuala Lumpur.
Allahyarham diagendkan, akan menjadi pembicara bersama Prof. Syed Ali Juneid dari Universiti Brunei Darussalam, Prof. Osman Bakar dari International Institute of Islamic Thought and Civilization, dan Prof. Madya Datuk Dr Muhammad Nur Manuty - Pengerusi Lembaga Pengarah Unisza (Univeristi Sultan Zainal Abidin).
Suami dari Ipah Farihah dan ayah empat anak, ini mengalami gangguan pernafasan, sehingga batuk-batuk selama penerbangan dari Bandara Internasional Soekarno Hatta ke Kuala Lumpur International Airport.
Begitu pesawat mendarat, Allahyarham langsung dilarikan ke hospital Serdang - Selangor, 35 kilometer dari Kuala Lumpur. Duta Besar RI di Malaysia, Hermono malam itu juga berkunjung ke hospital, yang berusaha memindahkan Allahyarham ke hospital di KL. Tapi tak bisa.
Panitia muktamar dari ABIM menungguinya. Juga pendiri dan penasehat ISWAMI (Ikatan Setiakawan Malaysia Indonesia) Datruk Zakaria - yang biasa dipanggil Zack - mantan Juru Bicara PM Malaysia Tun Mahathir yang juga Pemimpin Redaksi Bernama.
Dari Datuk Zack ini, sejumlah pendiri dan pengurus ISWAMI, termasuk saya memperoleh kabar via WAG Forum Wartawan Malaysia - Indonesia, kalau Allahyarham terpapar Covid 19.
"Dimaklumkan Pak Prof AA dijangkiti Covid19. Dari Bandara tadi terus ke Hospital Serdang, Selangor di Bahagian Kecemasan. Sekarang Prof AA sedang ditidurkan (direhatkan) dan dipasang alat bantuan pernafasan. Kita tidak dibenarkan melawat Prof AA kerana sudah diasingkan dalam bilik khas," tulis Datuk Zack, yang terus memantau kondisi Allahyarham setelahnya.
Kabar juga diterima oleh Dewan Pers, sehingga anggota Dewan Pers, Sapto Anggoro menyusul ke Kuala Lumpur, malam itu juga.
Terakhir saya berjumpa dan berbincang agak lama dengan Allahyarham, Rabu (22/6/22) malam dalam acara Silaturrahmi Pemimpin Media dan Wartawan Senior, yang digelar ASTRA Finance di Jakarta.
Dengan bawaan yang kalem, seperti sejak masa mahasiswa, Allahyarham menyapa hangat. "Masih terus menggeluti sastra kan? Lama tak melihat Haesy baca puisi. Kalau kolom, masih suka kuikuti," katanya.
Allahyarham, Fachry Ali, Iqbal Abdul Rauf Saimima (alm), Sudirman Tebba, Suparwan G. Parikesit (alm), Moh. Syafi'i dan saya aktif dalam dunia pers dan sastra sejak mahasiswa. Kami sama menulis kolom di berbagai media nasional, termasuk Majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Bang Rusydi Hamka (alm).
Prod. Dr. Azyumardi Azra, kelahiran 4 Maret 1955, penyandang dua gelar Master of Arts (untuk Bahasa dan Budaya Timur Tengah 1988 dan Sejarah 1990) dan Doktor Philosophy ( 1992) dari Columbia University. Disertasinya bertajuk "The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay - Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries," diterbitkan secara simultan di Canbera, Honolulu, dan Belanda.
Sekembali ke tanah air, Allahyarham melanjutkan karirnya sebagai dosen dan kemudian menjabat Rektor Universitas Islam Negeri - Jakarta (1998-2006), sekaligus mentransformasi lembaga pendidikan tinggi itu dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri). Allahyarham merupakan warga negara Indonesia pertama penyandang sebutan Sir, setelah memperoleh gelar kehormatan Commander of the Order of British Empire dari Kerajaan Inggris Raya. Ia juga memperoleh penghargaan dari Kaisar Akihito dan pemerintah Jepang, serta berbagaiu penghargaan internasional lainnya.
Wartawan dan cendekiawan muslim terkemuka yang masih terus menulis kolom tersebut, pada 18 Mei 2022 dilantik sebagai Ketua Dewan Pers. Kemudian mengembangkan pemikiran tentang Peace Journalism (Jurnalisme Damai) di Indonesia.
Dalam percakapan dengan saya pada pertemuan di Hotel Shangrila Jakarta, Juni lalu, ia mengemukakan, jurnalisme damai di Indonesia adalah jurnalisme berketuhanan yang berorientasi kemanusiaan dan keadaban yang memfasilitasi berbagai upaya menghidupkan persatuan kebangsaan. Sekaligus memfasilitasi dialog berbasis budaya Indonesia - musyawarah mufakat - secara berkeadilan. Menifestasi pers Pancasila, yang multidimensi dan tidak hanya dalam pendekatan politis seperti pernah dipahami pada era Orde Baru.
Ketika bicara sebagai Ketua Dewan Pers pada acara Silaturahmi Pemimpin Media dan wartawan senior tersebut, Allahyarham kembali mengemukakan komitmennya ihwal isu jurnalisme damai, yang penting di tengah ketidak-pastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan ini.
Pandangannya tentang Peace Journalism, memperkaya pemahaman sebelumnya yang dikemukakan Johan Galtung, Steven Youngblood, Jack Lynch, dan Annabel Goldrick.
Allahyarham menilai perlu kesungguhan mewujudkan Jurnalisme Damai tersebut, terutama karena pemberitaan di media (arus utama) di Indonesia belum menciptakan keseimbangan, sehingga sering memicu aksi-aksi anarkis di dalam kehidupan masyarakat.
Allahyarham yang sempat protes kepada duas stasiun televisi, karena memberi ruang leluasa bagi terorisme, friksi dan konflik sosial, melalui pemberitaaannya. Diyakininya, Indonesia memerlukan pers bebas dengan konsep jurnalisme damai untuk menjamin keutuhan bangsa ini. Termasuk menciptakan kondisi dan membangun budaya malu melakukan kejahatan, termasuk korupsi.
Dalam memperjuangkan kemerdekaan pers, Allahyarham sangat konsisten. Bahkan turun sendiri dalam pembahasan Rencana Undang Undang (RUU) KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) dan mencatat, dalam RUU tersebut terdapat 12 aturan yang mengancam kemerdekaan Pers.
Kali terakhir, beberapa pekan ke belakang, Allahyarham memimpin syukuran menyambut Keputusan dan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review atas kewengan Dewan Pers dalam melakukan verifikasi dan melakukan uji kompetensi atas wartawan. Dewan Pers merupakan satu-satunya institusi yang dijamin Undang Undang No.40/1999 tentang Pers mengelola seluruh ihwal tentang pers di Indonesia.
Allahyarham adalah guru besar tamu dan kehormatan di berbagai universitas di luar negeri ini, telah menulis ratusan artikel dan tak kurang dari 44 judul buku, termasuk yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab, Italia, dan Jerman, selain ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Sejak mahasiswa, allahyarham yang biasa dipanggil Edi, adalah sosok cendeklia yang cerdas dan bijak. Ia merupakan lawan berpikir dan teman diskusi yang kaya ilmu dan pengetahuan. Cendekiawan Fachry Ali pernah menyebutnya sebagai cendekia cemerlang dari Minang.
Dalam makalah terakhir yang disiapkannya untuk Muktamar Sanawi ABIM yang urung disampaikannya secara langsung, Allahyarham mengingatkan, kaum Muslimin di Asia Tenggara perlu memberi contoh tentang penerapan lslamisitas atau nilai-nilai Islam secara aktual dalam penyelamatan alam lingkungan dan sumber daya alam.
"Di sini kaum Muslim harus memperkuat integritas diri pribadi dan komunitas, sehingga dapat mengaktualkan 'Islam rahmatan lil alamin' dengan peradaban yang juga menjadi blessing bagi alam semesta," tulisnya, tegas.
Pada bagian lain makalahnya tersebut, Allahyarham mengemukakan: Di masa silam, ketika kegelapan masih menyelimuti Eropa, Amerika, dan Afrika, Asia menjadi pusat peradaban dunia. Hampir seluruh agama besar dunia lahir dan berkembang di Asia, sejak dari Hindu, Budha, Shimo, Zoroaster, Konghucu, Yahudi, Kristianitas dan Islam, sampai Sikhism dan Baha'i. Agama-agama menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhan peradaban Asia, baik politik, sosial, budaya, ekonomi, yang pada gilirannya memberikan warisan yang tidak ternilai.
Peradaban China, India, Persia, dan kemudian Muslim - yang membentuk sintesa distingtif dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi - pada abad pertengahan memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan peradaban Eropa.
Disintegrasi politik dan kemunduran ekonomi memberikan jalan lebar bagi kekuatan kekuatan Eropa sejak abad 16 menguasai banyak bagian Asia.
Kolonialisme jelas membuat terjadinya degradasi peradaban Asia. Dan, sekitar 60-an tahun pasca - Perang Dunia II, Asia kembali menunjukkan tanda-tanda bangkit kembali sebagai pusat peradaban.
29 Mei 2008, Allahyarham menghadiri diskusi terbatas cendekiawan muslm internasional di Institute for the Study of Muslim Civilization (ISMC) - Aga Khan University - London. Setelah itu, ia melakukan refleksi tentang perkembangan muslim pada masa kontemporer.
Allahyarham melihat, secara demografis, jumlah kaum Muslimin meningkat secara signifikan pada tingkat internasional. Diperkirakan jumlahnya lebih dari 1,9 milyar jiwa (2022); berarti merupakan masyarakat agama kedua terbesar setelah Kristianitas (Katolik dan Protestan digabungkan).
Peningkatan itu, menurutnya, terutama sebagai hasil dari pertumbuhan kelahiran, karena masih banyak kaum Muslimin yang tidak menjalankan keluarga berencana. Dengan jumlah yang terus meningkat itu, kaum Muslim pada dasarnya memiliki potensi yang kian besar pula, tidak hanya untuk membangun peradaban Muslim, tetapi juga peradaban dunia secara keseluruhan.
Tetapi, menurutnya, potensi itu belum bisa diwujudkan. Jumlah penduduk Muslim yang begitu besar belum dapat menjadi aset, tetapi sering lebih merupakan liabilities. Hal ini, menurutnya, tidak lain, karena kebanyakan penduduk Muslim tinggal di negara-negara kerkembang atau bahkan di negara-negara terkebelakang, yang secara ekonomi menghadapi berbagai kesulitan berat seperti kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat seiring meningkatnya krisis enerji dan krisis pangan dunia.
Lebih daripada itu, dengan kondisi ekonorni, sosial dan politik yang tidak menentu, pendidikan di banyak kalangan kaum Muslimin bukan hanya tidak kompetitif vis-a-vis masyarakat lain, tetapi bahkan sering di bawah standar.
Bukan hanya itu, menurut Allahyarham, banyak anak tidak mendapatkan pendidikan, terpaksa mengalami putus sekolah, yang akhirnya membuat mereka tidak punya masa depan untuk memajukan diri sendiri, apalagi peradaban Muslim dan peradaban dunia.
Terkait dengan realitas banyak negara Muslim berada dalam jebakan perubahan zaman, Allahyarham menyebut, kondisi itu trerkait dengan realitas, bahwa negara-negara Muslim yang miskin atau tengah berkcmbang harus mengandalkan sumber-sumber lain, termasuk menambah hutangnya dari negara-negara atau lembaga-lembaga keuangan Barat seperti World Bank, IMF dan sebagainya.
Keadaan ini tidak bisa lain hanya menambah ketergantungan pada pihak Barat, yang pada gilirannya memiliki implikasi ekonomis, politis, dan bahkan psikologis di kalangan umat Muslimin.
Salah satu dampak psikologis itu adalah menguatnya sikap mental konspiratif, bahwa para penguasa negara-negara Muslim berkolaborasi dengan pihak Barat, misalnya saja, untuk mengembangkan ekonomi pasar yang liberal di negara-negara Muslim, dengan mengorbankan potensi-potensi ekonomi dalam masyarakat Muslim sendiri.
Dampak lebih lanjut dari psikologi konspiratif ini dengan segera mengalir ke dalam kehidupan politik, dalam bentuk ketidakpercayaan pada rejim yang berkuasa, yang pada gilirannya mendorong berlangsungnya instabilitas politik terus menerus di banyak negara Muslim.
Pemikiran terakhir Allahyarham ini, sepatutnya menjadi bahan kontemplasi untuk menemukan cara kebangkitan masyarakat muslim di tengah perubahan zaman kontemporer. Termasuk dalam hal menghidupkan kosmopolitanitas kaum Muslim.
Selamat jalan mahaguru yang tawaddu' dan istiqamah dalam menegakkan intregritas dan keberanian bersikap dan mengambil jarak kritis dalam mencegah jebakan konspirasi. Sikap Allahyarham tentang moderasi beragama, juga jelas. Menurutnya dalam beragai kesempatan, umat Islam yang secara kongkret telah melaksanakan moderasi beragama di negeri ini. Itu sebabnya, Pancasila menjadi dasar negara. Sebagai seorang cendekiawan, Allahyarham sangat kritis. Hal itu nampak terasa pada gugatannya tentang Undang Undang Ibu Kota Negara. |