Bang Sem
Air mata tak henti mengalir dari mata Syifa. Tak habis-habis dia menyesali jalan hidupnya, kemudian memutuskan hubungan cintanya dengan Syafrin. Lelaki keren yang lebih dari tiga tahun terakhir mencuri hatinya. Syifa bersikap sikap dan bertindak -- secara tiba-tiba – menutup pintu ruang hatinya bagi Syafrin. Tak ada lagi kemungkinan bagi Syafrin untuk berkilah dan berargumentasi, sekaligus menerima ma’af dari Syifa.
“Tak pernah aku menyesali keadaan seperti ini,” serunya pada Karin, sobatnya.
Keputusan Syifa mengejutkan Karin, yang tak membayangkan pasangan -- yang dianggapnya serasi -- itu harus pisah begitu saja. Mengakhiri hubungan cinta mereka dengan kepedihan dan luka.
Terbayang di benak Karin, bagaimana pasangan ini menjalin kemesraan, menyemai cinta, dan mengusung cita bersama untuk melangkah ke gerbang pernikahan.
Tiga tahun bersama di perantauan, di peluk sunyi setiap kali musim dingin melintasi Paris, pasangan ini nyaris tak pernah nampak bertengkar. Ditingkah gelak canda, tawa bahagia, dan kemesraan penuh pesona, setiap melintasi musim panas dan musim semi yang selalu diabadikan dengan puisi indah.
Bagi Karin, keduanya merupakan contoh, bagaimana sepasang insan muda menjalin cinta di atas hamparan etika dan moralitas. Menghimpun angan, menabung asa. Tetap mempertahankan dimensi nilai kultural dan spiritual yang diyakininya, meski hidup di tengah kebebasan.
Kesedihan Syifa tak terkendalikan, saat bercerita, bagaimana hatinya tergores luka teramat pedih, lantaran Syafrin meruntuhkan komitmen yang ditulisnya di atas daun maple. Daun perjanjian cinta, seperti dilukiskan para pecinta setia.
Sekembali ke tanah air -- sebelum Syifa datang menyusul -- Syafrin menjalin cinta dengan perempuan elok, Nova. Usianya lebih muda dan berparas lebih cantik daripada Syifa. Dan yang lebih mengejutkan, hubungan Syafrin dengan Nova sudah terlampau batas. Syifa memergoki mereka dalam suasana kasmaran.
Penghianatan, mengakhiri hubungan keduanya. Meruntuhkan rumah cinta yang mereka bangun melintasi waktu. Mengoyak seluruh angan dan obsesi cinta Syifa, yang sedemikian luas, melebihi luasnya lazuardi sukma. Keputusan Syifa, sangat bisa dipahami. Ia berdaulat atas dirinya sebagai subjek cinta, dan tak mau terperosok hanya sebagai objek cinta.
Penghianatan cinta, memang kerap terjadi, dan dilakukan secara sadar atau tidak sadar oleh mereka yang lemah iman. Banyak lelaki – sadar dan tidak sadar – memosisikan dirinya sebagai subjek cinta. Lantas menempatkan perempuan sebagai objek cinta.
Mereka mengabaikan dimensi ekuitas sebagai sesama subjek cinta. Syafrin tergelincir saat hasrat kasmaran mendominasi dirinya. Memang, tak sedikit lelaki menggunakan cinta untuk memenuhi hasrat kasmaran. Tak sedikit perempuan terkulai dalam gejolak kasmaran untuk cinta. Syifa, justru berhasil memenangkan cinta dan tak terjebak gelindan asmara. |