Permainan Tradisional Kaya Nilai

| dilihat 4972

AKARPADINEWS.COM | LIR-ilir, lir-ilir, tandure wus sumingir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyarKutipan tembang lawas yang biasa didendangkan anak-anak saat bermain itu kini tak lagi terdengar. Padahal, tembang yang diciptakan dan didendangkan Sunan Kalijaga saat menyebarkan agama Islam itu, kaya akan nilai.

Lir-ilir mengandung makna ajakan manusia untuk membangun--yang dapat diartikan sebagai kesadaran untuk berjuang agar terbebas dari kebodohan, kemalasan, dan kemiskinan. Dengan begitu, manusia laksana tanaman yang jika dirawat, akan bersemi (tandure wus sumingir), lalu menghijau dan berbuah (tak ijo royo-royo).

Kutipan tembang itu mengajarkan kepada manusia untuk berjuang mengubah nasibnya dengan berpegang teguh pada ajaran Islam. Dengan ikhtiar, ikhlas, dan berdoa, manusia akan meraih kebahagiaan di dunia dan diakhirat. Kebahagian itu diilustrasikan laksana pengantin baru (tak sengguh temanten anyar).

Selain memperkenalkan dendang yang mengandung nilai, permainan anak-anak tempo dulu juga tidak sekadar mengajak anak-anak untuk main sesuka hatinya. Namun juga mengajarkan kebersamaan, perjuangan, kerja keras, ketelitian, tolong menolong, dan sebagainya.

Dimensi nilai itu bisa dilihat dari permainan petak umpet, gobak sodor, gundu, dan sebagainya. Kini, jarang sekali anak-anak memainkan permainan tersebut. Anak-anak saat ini lebih banyak dijejali video games dan permainan lainnya yang berasal dari piranti pintar.

Di satu sisi, permainan modern yang digandrungi anak-anak saat ini dapat membuat anak-anak melek teknologi. Namun, di sisi lain, menjadikan anak-anak individualis, tak cakap beradaptasi, dan pragmatis.

Prapto Yuwono, S.S, M.Hum, dosen Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI), mengatakan, permainan tradisional, tidak hanya memberikan pembelajaran solidaritas kepada anak-anak. Namun juga mengajarkan nilai-nilai religis.

Prapto juga berpendapat, permainan tradisional memberikan proses imitasi visual dari proses pembudayaan. “Dolanan (permainan anak-anak) juga memberikan kaidah-kaidah pembelajaran hidup bersosialisasi, seperti kaidah moral, enkulturasi nilai, dan sosialisasi kepada masyarakat,” ujarnya dalam acara Sarasehan Pekan Budaya Jawa (PBJ) yang diadakan Himpunan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Sastra Jawa (KMSJ) FIB UI, Kamis (29/10).

Melihat permainan modern semacam video games saat ini, pria yang mengampu mata kuliah Sejarah Jawa tersebut mengatakan, memang memberikan imajinasi dan kesenangan bagi anak-anak. Namun, mereduksi kepekaan intuisi.

Menurut Prapto, sebuah permainan seharusnya melatih intelektualitas, imajinasi, dan kepekaan intuisi. "Okelah jika permainan gadget atau piranti pintar memberikan daya imajinasi yang kuat, namun menghilangkan kepekaan estetika, etika, dan bahkan religi pada anak,” ujarnya.

Dengan tembang yang dinyanyikan, sembari memainkan permainan tradisional, melatih anak-anak mengolah daya seni, estetika, menghaluskan jiwa dan menata emosinya.

Dr Jajang Gunawijaya, MA, antropolog UI, berpendapat, jika melihat perkembangan zaman, permainan tradisional dengan format masa lalu, akan ditinggalkan anak-anak sekarang. Karena, perkembangan zaman akan memacu pula perkembangan budaya.

“Zaman berubah pasti permainan juga akan berubah,” tuturnya. Namun, permainan tradisional tersebut harus dikreasikan kembali sehingga memiliki kemasan kekinian. “Kalau kita terlena dengan (format) permainan dahulu maka permainan tradisional akan terlupakan,” ujarnya.

Jajang mengkritik, permainan anak di era modern kerap disusupi pengaruh negatif yang mempengaruhi anak-anak. “Bahkan, ada beberapa permainan yang menyusupi sadisme karena mengajarkan cara-cara untuk membunuh orang lain,” ungkap Jajang. Dia mengkhawatirkan, anak-anak mengaktualisasikan pengaruh negatif itu dalam perilaku kesehariannya.

Permainan anak-anak, menurut Jajang, idealnya dapat menyalurkan energi kepada anak-anak. Menurutnya, sebagian besar energi pada anak-anak yang didapatkan dari makanan, akan lebih baik jika disalurkan dalam bentuk gerak seperti berlari, bernyanyi, dan sebagainya.

“Jika hanya disuguhkan permainan seperti video games, dampak sampingnya ialah energi yang seharusnya disalurkan menjadi mengendap dalam tubuh. Salah satu dampaknya yakni anak-anak akan kelebihan berat badan,” katanya.

Karenanya, Jajang berpendapat, masyarakat, khususnya kaum intelektual, harus mengemas kembali permainan tradisional yang disertai gerak tubuh dan lebih menarik. “Yang harus dilakukan ialah masa lalu (permainan tradisional) ditransformasikan ke kehidupan masa kini dengan nilai-nilai positif dari masa lalu,” pungkasnya.

Sujiwo Tejo, budayawan, memandang, dolanan atau permainan anak-anak tradisional memiliki kekuatan dalam tembang-tembangnya. “Kekuatan dolanan mengajarkan anak-anak bahwa bahasa adalah musik,” ujarnya. Kekuatan tembang tersebut, membuat anak-anak tidak terlalu mengerti arti atau makna lagu permainan anak-anak tradisional, namun mereka mampu mengingatnya hingga besar.

Sujiwo saat masa kecil, menghiasi kesehariannya dengan permainan tradisional yang kuat bunyinya, tanpa tahu artinya. “Saya itu kecilnya ada pengaruh Jawa dan Madura, dan banyak tembang permainannya saya tidak tahu artinya,” kisahnya.

Untuk mengembangkan permainan tradisonal ke bentuk yang lebih modern, Sujiwo berpendapat, ada beberapa prinsip yang harus dipertahankan. Pertama, permainan harus kolektif. “Entah caranya bagaimana untuk mengakali jika (kendalanya) keterbatasan lahan. Tapi, si anak harus bisa bermain membutuhkan pemain lainnya untuk bisa bermain,” katanya.

Selanjutnya, harus dibuat permainan yang membuat anak tidak sepenuhnya mengerti artinya. "Kata itu terdiri dari 50 persen arti dan 50 bunyi. Karena anak sering dijejali kata (bahasa) terdiri dari arti, maka apresiasi terhadap musik atau bunyi itu tidak ada,” jelasnya.

Hal itu, menurut Sujiwo, menyebabkan anak hanya terpusat dalam mencarikan arti bahasa. Dengan demikian, anak-anak hanya terlatih dan dilatih dalam hal kognitifnya. Pengapresiasian terhadap bunyi atau musik dalam bahasa pada dasarnya merupakan proses pembelajaran pengembangan rasa pada seseorang. Bahasa memang akan lebih tepat pemaknaannya bila dilihat sebagai satu kesatuan dengan ritme fonetik dan fonologinya.

Tembang pada permainan anak-anak tradisional memiliki kekuatan rasa bahasa yang memiliki makna yang luas. Hal itu penting ditransformasikan ke permainan anak kekinian. Dengan proses pembelajaran akan nilai-nilai itu, maka anak-anak di era digital tidak kehilangan identitas budayanya, sekaligus melindungi anak-anak dari bombardir pengaruh negatif yang belum saatnya merasuk ke benak anak.

Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 538
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1062
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 291
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 756
Momentum Cinta
Selanjutnya