Perginya Sosok Penuntun Anak

| dilihat 2104

AKARPADINEWS.COM | UNYIL, siapa yang tidak mengenal karakter boneka tersebut? Lucu, menggemaskan, usil, dan sesekali berlaku bijak. Sosoknya pernah dicintai anak-anak karena selalu hadir di televisi, menemani libur anak-anak di kala pagi. Meski sempat tak lagi menghiasi layar televisi, Unyil dan kawan-kawannya tetap melekat di memori masyarakat Indonesia.

Tokoh Unyil dan kawan-kawannya mampu menancap di benak khalayak, khususnya anak-anak, tidak terlepas dari Drs Suyadi, sosok kreatif dan imajinatif. Pria kelahiran Puger, Jawa Timur, 28 November 1932 itu adalah sosok di balik lahirnya tayangan Unyil. Sosok yang juga dikenal dengan nama Pak Raden itu, sebelumnya adalah pelukis ilustrasi untuk anak-anak.

Pria lulusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut memulai karir sebagai ilustator. Kala mahasiswa, Suyadi menjadi ilustator buku anak-anak. Dia pernah mendapatkan penghargaan untuk kategori ilustator buku anak-anak terbaik dalam acara Tahun Buku Internasional 1972. Dunia anak-anak pun begitu dekat dengannya. Dia pun pernah menulis beberapa buku untuk anak-anak.

Dengan bakat menggambarnya, Suyadi akhirnya berhasil mengeyam pengalaman belajar di Perancis. Selama tiga tahun, Suyadi belajar perfilman sebagai animator di studio Les Cineastes Associes dan di Les Films Martin Boschet. Selain sebagai ilustator, Suyadi pernah bekerja sebagai art director di beberapa film nasional. Film-film tersebut ialah Lampu MerahPemburu Mayat, Kabut di Kintamani dan Cobra.

Suyadi kemudian bergabung dengan studio film Pusat Produksi Film Nasional (PPFN) milik Televisi Republik Indonesia (TVRI). Di studio televisi milik Pemerintah inilah, Suyadi berkreasi dan melahirkan Unyil beserta teman-temannya. Suyadi menciptakan boneka Unyil dan kawan-kawannya berdasarkan skenario serial Si Unyil yang dibuat oleh Kurnaen Suhardiman.

Serial boneka Si Unyil ditayangkan pertama kali pada tahun 1980-an. Serial tersebut memiliki cerita yang sederhana, yakni mengisahkan tokoh anak kecil bernama Unyil dari Desa Sukamaju. Perawakan Unyil terbilang sederhana. Boneka Unyil digambarkan sebagai anak dengan menggunakan peci hitam dan sarung yang kerap mengalung di badannya.

Pada masanya, yakni sekitar tahun 1980-an hingga akhir 1990-an, serial Si Unyil ditayangkan dengan durasi 20 menit setiap minggunya. Tema yang diangkat lebih menginspirasi anak-anak, tentang nasionalisme, ajaran moral, dan etika untuk ditiru oleh anak-anak. Serial tersebut merupakan tontonan, sekaligus tuntunan bagi anak-anak Indonesia pada zamannya.

Untuk mendukung cerita, Suyadi bersama Kurnaen menciptakan tokoh lainnya yang juga dikenang oleh masyarakat Indonesia. Pak Ogah misalnya, merupakan tokoh yang dikenal sangat pamrih dalam menjalankan sesuatu. Setiap diminta pertolongan oleh orang lain, Pak Ogah selalu meminta, “Cepek (Rp100) dulu.”

Sementara tokoh Pak Raden, yang diperankan Suyadi, dikenang sebagai seorang ningrat Jawa, lengkap dengan beskapnya. Hal yang paling identik dari tokoh yang bernama lengkap Raden Mas Singomenggolo Jalmowono tersebut ialah kumis melintang dan alis tebalnya. Penampilan itu yang juga kerap diperlihatkan Suyadi ketika tampil di depan publik, atau ketika mendongeng di hadapan anak-anak. Sifat yang melekat kepada Pak Raden ialah tokoh tersebut kerap memarahi Unyil dan teman-temannya ketika mereka ketahuan mencuri mangga miliknya.

Serial Si Unyil juga mendorong anak-anak untuk menerima perbedaan ras dengan memunculkan tokoh perempuan keturunan Tionghoa yang menjadi teman Unyil bernama Meilani. Kemunculan tokoh tersebut mendorong masyarakat untuk menerima gagasan asimilasi atau pembauran dengan kaum minoritas.

Perkembangan zaman akhirnya menggeser serial Si Unyil sebagai tayangan yang menghibur dan mendidik anak-anak. Masuknya beragam serial animasi luar negeri menjadi perkara meredupnya serial itu. Sempat terkatung-katung karena serial bonekanya tidak diminati, akhirnya titik cerah menghampiri Suyadi. Tahun 2007 menjadi kebangkitan Unyil dan kawan-kawannya dalam seri dokumenter anak-anak berjudul Laptop Si Unyil. Tayangan tersebut masih diputar di stasiun televisi swasta Trans 7 hingga kini, meski gaungnya tidak seperti dulu lagi.

Sebagai animator dan seniman besar, Suyadi tidak merasakan kemewahan. Dia hidup sederhana ala kadarnya. Dirinya hanya tinggal di sebuah rumah sederhana di daerah Petamburan, Jakarta Pusat. Pijar bintangnya sebagai sosok di balik rupa Pak Raden tidak dapat mengantarkannya ke kehidupan layaknya seorang legenda.

Suyadi akhirnya harus menghadap Sang Pencipta dalam keadaannya yang memperihatinkan. Penyakit paru-paru akut yang dideritanya sekian lama menjadi pengantar dirinya menuju Sang Khalik. Jumat (30/10) lalu, Suyadi menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Pusat. Kepergian sosok seniman yang mencintai anak-anak itu merupakan kehilangan besar bangsa Indonesia.

Ada ironi yang menampar kita setelah kepergian sang pencipta Unyil itu. Pertama, sosok yang akrab dengan dunia anak-anak itu harus meninggal dunia dalam kehidupan yang seharusnya tidak dialaminya. Sebagai seorang pencipta seni yang perannya sangat besar membentuk kepribadian anak-anak, Suyadi harusnya mendapatkan perhatian dari pemerintah, dengan memberikan apresiasi yang lebih. Terlebih, karyanya, yakni boneka Unyil dan kawan-kawannya, telah menjadi sejarah tersendiri dalam pergerakan kebudayaan bangsa Indonesia. Minimnya penghargaan terhadap insan kreatif di negeri ini memaksa Suyadi hidup ala kadarnya.

Kedua, perginya sang maestro dongeng anak-anak tersebut di kala membeludaknya tontonan tak layak bagi anak-anak. Sementara program Si Unyil, sarat dengan tuntunan nilai dan moral yang seharusnya dipertahankan oleh industri hiburan. Sulit kiranya menemukan tontonan serupa, yang menuntun anak-anak menjadi sosok yang memiliki kepribadian yang baik pada saat ini.

Terakhir, kepergiaannya di zaman yang tak ramah bagi anak-anak membuat makin berkurangnya sosok yang menjadi penuntun dalam mendorong pentingnya tayangan yang mendidik. Karenanya, insan kreatif perlu memunculkan lagi sosok imajinatif seperti yang dilakukan Suyadi, yang menghadirkan karya yang menuntun anak-anak untuk menekankan pentingnya etika, moral, kebersamaan, dan sebagainya.

Perginya Suyadi untuk selama-lamanya, diharapkan akan menghadirkan kembali Suyadi-Suyadi lain yang melakoni peran sebagai penuntun anak-anak Indonesia sehingga kelak menjadi generasi yang berpegang pada etika, moral, dan identitasnya sebagai generasi bangsa seperti yang diajarkan Suyadi.

Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Berbagai sumber
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 749
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 904
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 858
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 248
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 474
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 466
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 438
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya