Perempuan Adat Pelaku Pembangunan Berkelanjutan

| dilihat 1492
 
AKARPADINEWS, Bogor| Bulir air mata jatuh ke pipi perempuan berwajah tegas itu. Namanya Ibu Rosina Wonga (47). Biasa orang memanggilnya Mama Ros. Lidahnya tiba-tiba kelu. Raut wajahnya berubah sedih. Ketika mengulang dan mengingat kembali memori peristiwa penolakan masyarakat Rendu, Nusa Tenggara Timur (NTT) atas pembangunan Waduk Lambo di tanah adat masyarakat setempat. 
 
Pembangunan waduk seluas 431,91 hektar itu merupakan lokasi yang terdapat banyak artefak budaya dan sosial. Selain itu, sekitar 5000 warga di desa Rendu Butowe, Labolewa dan Ulupa terancam akan kehilangan tanah adat. Mama Ros merupakan perwakilan dari PHKom Komunitas Perempuan Adat Tanah Rendu (Kompetar), NTT.
 
“Kami merasa belum merdeka. Menyangkut pembangunan waduk, kami bukan pembangkang! Kami setuju dengan pembangunan. Kami tawarkan alternatif. Tetapi kenapa pemerintah tidak dengar,” ujarnya. Pernyataannya sangat tegas dan lantang dalam forum Dialog Nasional dan Pelatihan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs atau Suistainable Development Goals)  14-16 Agustus 2018. Ada 25 peserta utusan dari 20 Wilayah Pengorganisasian. Forum ini diselenggarakan oleh PEREMPUAN AMAN (Persekutuan Perempuan Adat Nusantara). 
 
 
Sejak 2015 sampai sekarang, Mama Ros mengungkapkan bahwa mereka selalu dikawal oleh satpol PP, Polisi, dan Brimob. Ia meminta dengan hormat kepada Sylvana Maria sebagai staf kepresidenan untuk memulangkan satuan Brimob itu, agar mereka jalankan tugas sesuai sumpah jabatan.“Kami dari Rendu bukan penjahat atau komplotan,” tuturnya. Lalu, Rosina bertanya kepada pemerintah: “Apakah Perempuan Adat  tak punya hak untuk bicara? Karena selama ini pemerintah tak pernah dengar usul dan saran Perempuan Adat?”
 
Dalam Dialog Nasional dan Pelatihan ini, hadir pula Sylvana Maria Staf Kepresidenan Republik Indonesia dan Hamong Santono Senior Program Officer Human Rights & Democracy,  International NGO Forum Indonesian Development (INFID). Sylvana Maria dalam isu SDGs sedang mendorong leadership di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Ia juga memberi masukan kepada KPPPA tentang gender dan SDGs. 
 
Sylvana Maria menanggapi keluh kesah Mama Ros dari PHKom Kompetar, Rendu, NTT. “Kantor kami sangat terbuka dan kami tak pernah menolak warga yang datang, meski kami tak punya wewenang menyelesaikan kasus. Kami tak bisa intervensi. Tapi kami mempunyai wewenang untuk fasilitasi proses diskusi dan negosiasi,” ujarnya.  Kasus Rendu ini, ia berhara ada pengaduan tertulis dan ada dokumen kronologis peristiwa tersebut. “Saya bersedia menerima datanya,” ujarnya.
 
 
Ketua Umum PEREMPUAN AMAN, Devi Anggraini dalam sambutannya mengatakan bahwa kawan-kawan Perempuan Adat  yang hadir adalah perempuan yang telah bekerja dengan SDGs. “Jangan ajari kami apa itu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) karena itu bagian dari hidup kami sebagai Perempuan Adat,” ujarnya. Bahwa Perempuan Adat sesungguhnya telah bekerja dengan pembangunan berkelanjutan. Bahkan sebelum SDGs dikumandangkan secara global. “Sekarang siapa yang beri makan dan menyediakan dapur terus berasap? Perempuan Adat !” 
 
Hasil alam dan tanah ulayat adalah milik masyarakat adat. Kampung adat memiliki hasil alam yang baik. Jika bukan Perempuan Adat  yang memberi manfaat dan memelihara alam secara berkelanjutan. Lalu, siapa lagi? Namun, menjadi ironi bila pengetahuan itu tidak mendapat pengakuan. Bahkan hingga kini. Perempuan Adat  dan pengetahuannya belum mempunyai tempat. 
 
Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) belum menjangkau untuk memenuhi hak-hak kolektif Perempuan Adat. Dalam Dialog Nasional tersebut, Devi mewakili Perempuan Adat  mengajak pemerintah dan masyarakat bahwa mari berdiskusi bersama dengan Perempuan Adat bahwa pembangunan berkelanjutan adalah bagian dari keseharian mereka. 
 
 
“Manfaatnya telah kami terima dan jangan tinggalkan kami karena keberlanjutan bangsa ini ada di tangan Perempuan Adat. Yang memastikan anaknya mampu bertahan hidup di tanahnya sendiri adalah kami. Ini yang ingin kami sampaikan kepada pemerintah dan kawan lain bahwa yang kami tahu untuk pembicaraan ini untuk semua pihak, termasuk korporasi,” jelasnya.
 
TPB memiliki 17 gol diantaranya adalah menghapuskan kemiskinan, soal kelaparan, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, akses air bersih, energi, pertumbuhan inklusif, infrastruktur, ketimpangan, kota yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, iklim, ekosistem laut, ekosistem darat, akses terhadap keadilan masyarakat yang damai, dan kemitraan antar-pihak. Hamong Santono dalam diskusi gol TPB memberi saran untuk menambahkan pengetahuan Perempuan Adat  sebagai isu penting yang ada di Indonesia. 
 
Salah satu target untuk Perempuan Adat, menurut Hamong, adalah akses atau jaminan terhadap akta kelahiran. Dalam konteks keikutsertaan bangsa Indonesia dalam TPB Agenda 2030 menjadi sangat penting. “Ketika Perempuan Adat  bisa memperoleh itu, maka satu tujuan pada pengakuan atau kesetaraan Perempuan Adat , jadi bukti indikator,” ujarnya.
 
Perempuan Adat  telah melakukan pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari,  dalam rangka memastikan anak-anaknya bisa makan dan sehat. Mereka setiap hari memasak, berkebun, berladang, dan berternak. Semua itu adalah bagian pemenuhan kebutuhan. Mulai dari sandang, pangan, papan, dan lainnya. Muntaza, Direktur Program dan Komunikasi PEREMPUAN AMAN memberikan pengarahan sederhana kepada 25 Perempuan Adat  soal TPB.
 
“Jadi kita adalah pelaku. Kita turut membangun! Dan yang utama, adalah tidak merusak,” tegasnya. Ia menuturkan bahwa yang disebut berkelanjutan itu adalah tidak merusak alam, lingkungan, tubuh, kesehatan anak dan cucu. Selain itu, ia menjelaskan bahwa yang mengena dalam TPB kepada Perempuan Adat  adalah  pengakuan Wilayah Adat dan pengetahuan adat. “Kalau ini tak diakui, maka pembangunan berkelanjutan yang kita cita-citakan ya sulit!” ujarnya.
 
Pengetahuan Adat dan Wilayah Adat butuh diakui, dilindungi, dan dihormati. Tanpa itu, bangsa ini tidak dapat melanjutkan TPB. Hal ini sangat berkaitan dengan kehidupan masa kini dan generasi selanjutnya. Muntaza berharap semoga yang dimaksudkan dengan TPB antara pemerintah dan PEREMPUAN AMAN sama. “Ternyata kita adalah pelaku pembangunan yang berkelanjutan,” tutupnya.
 
Ageng Wuri
 
Editor : Muhamad Khairil | Sumber : PEREMPUAN AMAN
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 226
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 321
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1185
Rumput Tetangga
Selanjutnya