Pendidikan Nasional Berorientasi Kualitas Manusia Merdeka

| dilihat 617

Catatan Bang Sém

Sepanjang dekade mutakhir perjalanan bangsa penyelenggaraan pendidikan nasional masih disibukkan oleh senjangnya jarak budaya. Reformasi pendidikan relatif jauh dari arah tujuannya, sebagaimana diatur dalam UU No.2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Merespon perkembangan penyelenggaraan negara dan pemerintah, tanpa kecuali penyelenggaraan pendidikan, Akademi Jakarta (AJ) mengemukakan Maklumat bertajuk, "Cegah Penghancuran Nalar Publik" (28/2/22).

Maklumat tersebut ditujukan kepada seluruh khalayak, khasnya seluruh pemangku kepentingan, tanpa kecuali bagi mereka yang memperoleh amanah rakyat menyelenggarakan pemerintahan dan negara. Maklumat tersebut meliputi bidang Pendidikan, Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi dan Politik.

Dalam bidang pendidikan, AJ menyampaikan rekomendasi agar penyelenggara negara dan pemerintahan, "Mengembangkan pendidikan holistik yang menajamkan kesadaran kritis, kecerdasan inovatif dan pemanfaatan sumber budaya untuk memecahkan masalah lokal-global; dan,?Memajukan pendidikan seni dan humaniora sejak dini dengan mendayagunakan seniman dan budayawan setempat untuk  menghidupkan dan mengembangkan seni budaya Nusantara."

Maklumat tersebut mengemuka setelah AJ mengkaji intens praktik penyelenggaraan pendidikan yang dikelola negara. Basis pemikirannya adalah : Pendidikan merupakan proses belajar yang tidak hanya mengarah pada pencapaian kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

Setarikan nafas, pendidikan adalah proses pendewasaan manusia sepanjang hayat sebagai makhluk yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menyeimbangkan nalar, nurani, naluri, dan rasa dalam seluruh proses kehidupannya."

Aspek dan Faktor Manusia

Dengan tujuan luhur itu, menurut AJ, pendidikan dalam hidup berbangsa dan bernegara merupakan tugas konstitusional untuk membentuk warga yang mampu berpikir kritis, mandiri, berpengetahuan, serta bijak bertindak demi mencapai kebaikan bersama dalam komunitas sosial, politik, dan budayanya.

AJ sampai pada pandangan demikian, mengingat dalam satu dekade mutakhir, pendidikan menjadi lahan bisnis yang produktivitasnya dinilai dari kesuksesan lulusan di pasar kerja dalam meraih imbalan tertinggi. Setiap aspek manusia dilihat sebagai aset dan komoditas dalam persaingan bebas, dengan (realitas sosial) yang kuat meninggalkan yang lemah.

Peserta didik tidak dilihat sebagai pribadi yang sedang mengembangkan potensi kemanusiaannya, tetapi objek ekonomi dan konsumen. Sistem ranking, prestise jurusan sains-teknologi di atas seni-budaya, dan perlombaan sekolah mewah yang menciptakan kasta-kasta dalam pendidikan merupakan imbas dari penalaran tersebut.

AJ menegaskan, pendidikan yang diperlukan bangsa ini, adalah pendidikan (yang mampu) membangun kepekaan (yang) tidak dapat bersifat linear dan hanya berada di tataran kognitif belaka.

Bila dihadapkan dengan dokumen formal, antara lain Undang Undang tentang pendidikan, memang penyelenggaraan proses pendidikan nasional dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. 

UU ini secara tekstual dan kontekstual, menetapkan standar nasional pendidikan, menetapkan prinsip pendidikan nasional diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, tidak diskriminatif, serta menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, agama, budaya, dan kemajemukan bangsa. 

Kualitas Manusia Merdeka

Di dalam UU  Sistem Pendidikan Nasional, ini terdapat rumusan penyelenggaraan pendidikan yang meliputi standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar penilaian, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar evaluasi. Namun, pencapaian standar tersebut dalam banyak hal, berlangsung terengah-engah dengan berbagai jargon retoris.

Terkesan, perspektif perumusan dan pengejawantahan sistem pendidikan nasional, secara budaya, amat berjarak cukup jauh dengan esensi gagasan dan cita-cita pendiri bangsa. Konsepsi dasar pendidikan yang ditanam-semai oleh HOS Tjokroaminoto dengan konsep Moeslim National Onderweijs, Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa), Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Engku Mohammad Syafei (INS -- Indonesisch Nederlandsche School -- Kayu Tanam), dan  Soedjatmoko, yang bertumpu pada pencapaian kualitas manusia merdeka. Ki Hajar Dewantara 'melangkah ke depan,' menjadi Menteri Pengajaran pertama. Jasanya dikenang. Hari kelahirannya (2 Mei 1889), sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Penegasan secara jernih dan fokus pada manusia sebagai subyek utuh ini penting. Tak hanya dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara (pemerintahan, pembangunan, dan penguatan khalayak) dalam konsepsi pendidikan para tokoh pendiri dan pencerah bangsa, tersebut adalah sesuatu yang penting. Paling tidak sebagai pembelajaran.

Konstitusi (UUD 1945) mengamanahkan fungsi, tugas, dan tanggung jawab penyelenggara negara, pemerintah, berbagai eksponen dan elemen bangsa untuk mencapai kecerdasan bangsa.

Para pendiri dan pencerah bangsa (dari HOS Tjokroaminoto sampai Soedjatmoko) dalam gagasan dan dan konsepsi pendidikan mengisyaratkan pentingnya penegasan pendidikan pendidikan manusia merdeka yang membentuk watak, dengan pengembangan daya kritis, daya cipta dan nalar inovatif secara terpadu, yang menyeimbangkan teori dengan praktik, keilmuan dengan kehidupan sehari-hari, pikiran dengan rasa, nurani dan empati.

Seluruh proses pendidikan, menurut AJ, perlu menjadi ruang aman dan nyaman bagi setiap perserta didik, yang bebas dari beragam tekanan -- termasuk kekerasan -- dalam bentuk apapun.

HOS Tjokroaminoto menegaskan,  “Sekolah-sekolah yang hanya memberikan kepandaian yang 'dingin,' tidak hidup dan akhirnya hanya akan menuntun (peserta didik) pada materalisme saja. Sekolah-sekolah yang dimikian itu lebih baik tidak ada saja.”

Jadi, menurut HOS Tjokroaminoto, "inilah tugas -- pendidikan -- guru dan orang tua, memberi peserta didik bekal yang mempuni, bukan hanya kepandaian - kecerdasan dan keterampilan -- yang menuntun pada yang bersifat materi, tapi juga pendidikan karakter yang mampu mengubah nasib bangsa." Muaranya adalah pencapaian trilogi: Sebersih-bersih tauhid, ilmu pengetahuan, dan siyasah (cara hidup).

Pemampuan Individu Sadar Sosial

Akan halnya Ki Hadjar Dewantara telah memikirkan dan melakoni esensi pendidikan melalui rancangan pendidikan karakter. Prinsip-prinsip pendidikan dan pengajaran Ki Hadjar Dewantara dapat diimplementasikan untuk balita, anak-anak, dan remaja sampai dewasa.

Sebutlah, misalnya, apa yang menjadi Panca Dharma Taman Siswa, yaitu Alam semesta, Kemerdekaan, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan. melalui prinsip dasar pedagogik dan didaktik Tri Ngo (ngerti, ngroso, lan nglakoni), Tri N (niteni, niroke, nambahi), Tri Hayu (memayu hayuning saliro - kualitas diri pribadi, memayu hayuning bangsa (kualitas bangsa), dan memayu hayuning bawono (merawat alam semesta). 

Pendidikan dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara, juga mengemuka sebagai trilogi kepemimpinan (ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani). Implementasinya dilakoni pada tiga sentra pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat).

KH Ahmad Dalam menitik-beratkan prinsip pendidikan pada pemahaman dan pengamalan ajaran Islam secara utuh -- dalam aspek keimanan, pengetahuan, praktik kehidupan sehari-hari --dengan tujuan membentuk individu yang beriman, berilmu, dan beramal dengan pekerti unggul. Tanpa kecuali padu-padan harmonis integrasi ilmu agama dan ilmu umum, serta pengembangan potensi modal insan dalam keseimbangan ruhani - jasmani. 

Orientasi pendidikan yang diajarkan KH Ahmad Dahlan berorientasi pada pemampuan individu yang berilmu, beramal kebajikan (berbudi luhur) dan berkontribusi positif bagi masyarakat. 

KH Ahmad Dahlan pun menegaskan hakikat pendidikan yang mesti berorientasi pada kemajuan dengan menempatkan manusia merdeka sebagai penggerak dan pengembang modal insan, sehingga dapat berkontribusi bagi pembangunan untuk kemajuan khalayak dan bangsa.

Itulah konsepsi pendidikan yang membentuk tanggung jawab manusia sebagai rahmat atas semesta. Yakni manusia berintegritas (individu yang berakhlak mulia, jujur, adil, bertanggung jawab, dan egaliter dan kosmopolit).

Engku Muhammad Syafei melalui INS Kayu Tanam, menekankan empat prinsip dasar pendidikan berdimensi kebangsaan, yakni nasionalisme (narrow and global nationalism), aktif berpikir rasional, peka terhadap keperluan sosial masyarakat dan memiliki jiwa mandiri.

Mendidik Penggerak Perubahan

Konsepsi pendidikan Engku Muhammad Syafei yang dirawat-tumbuhkan di INS Kayu Tanam, sekurang-kurangnya mendidik rakyat sebagai manusia merdeka, pendidikan yang terhubung dengan keperluan asasi khalayak, memberikan pendidikan vokasi dan pelatihan bagi kaum muda sebagai penggerak perubahan, dan menanamkan keyakinan terhadap kemandirian (kemampuan diri) peserta didik, sekaligus berani bertanggung jawab.

Soedjatmoko yang sempat menjadi salah seorang anggota AJ generasi awal, dan pernah menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo, menempatkan pendidikan sebagai perangkat negara untuk membimbing perubahan yang luas dan mendalam. Menurutnya, di dalam sekolah-sekolah rakyat sudah harus diusahakan menanam dan memupuk suatu tanggapan jiwa yang baru.

Suatu tanggapan jiwa yang akan mendorong si anak (peserta didik)  itu untuk melihat lingkungannya sendiri sebagai suatu susunan yang bukan tetap dan tidak langgeng sebagai sesuatu yang dapat diatur secara lebih bermanfaat.

Peserta didik, sebagaimana diuraikan dalam bukunya Dimensi Manusia dalam Pembangunan (terbitan LP3ES, 1983) mesti dibimbing sampai yakin bahwa ia dapat mengubah dan memperbaiki lingkungan hidupnya itu dengan mencapai suatu tingkat produksi yang lebih tinggi.

Peserta didik harus dibiasakan menggunakan teknologi yang serba sederhana, tetapi moderen. Mereka harus mengetahui bahwa lingkungan hidup baginya tidak terbatas pada batas-batas yang dikenalnya sekarang.

Menurutnya, peserta didik harus diusahakan sesuai dengan pilihan bidang kerjanya (beroepskeuze) selaras dengan kepentingan pembangunan. Pada kemungkinan untuk memilih -- yang diperluas -- dalam proses pendidikan, akan membentuk manusia berjiwa merdeka. Pendidikan mesti menjadi cara manusia menjawab dan mengatasi persoalan-persoalan kehidupan sesuai dengan perkembangan zamannya.

Walhal, peserta didik, dengan demikian, harus dibebaskan dari kungkungan pikiran agar mampu dan berani menempuh jalan baru dalam konteks pemeranan dirinya di tengah kehidupan khalayak, negara dan bangsa.

Berani Menempuh Jalan Baru

Pandangan dan pemikiran para pendiri dan pencerah bangsa ini, tanpa kecuali konsepsi pendidikan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Bung Hatta, Mohammad Natsir, Sjahrir, Hamka, Syafrudin Prawiranegara, pun Soemitro Djojohadikusumo, masih sangat relevan dengan perkembangan situasi dan kondisi global saat ini. Apalagi bila hendak dikaitkan dengan pemikiran STA tentang 'dimensi kedalaman manusia.'

Petaka nanomonster Covid 19 mestinya membuka mata kita tentang kapitalisme global dan sosialisme mondial yang hilang daya, bukan merupakan cara terbaik untuk mewujudkan cita-cita dalam Pembukaan UUD 1945 (18 Agustus 1945).

Pandangan Soedjatmoko dan para pejuang pendiri bangsa tersebut -- khasnya tentang relasi pendidikan dengan ekonomi, sosial, dan politik -- telah disimak dan dikaji dengan tekun, lantas diserap oleh berbagai pemimpin pemerintahan di berbagai negara lain.  Paling tidak di negeri jiran, Malaysia.

Perdana Menteri Malaysia X Anwar Ibrahim di hadapan khalayak program Leadership Lecture di Jakarta (9/1/23) bahkan 'berjelas-jelas dalam terang' menyatakan, bagaimana pemikiran dari para pendiri dan pejuang bangsa itu menjadi rujukannya dalam mendesain fokus pembangunan Malaysia Madani di bawah kepemimpinannya.

Beranjak dari semua pandangan dan pemikiran pendidikan yang dinukilkan dalam tulisan ini, sudah saatnya para pengemban amanah sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan di bidang pendidikan dan kebudayan, menjejak di jalan sejarah peradaban dan keadaban bangsa ini, bahwa orientasi Pendidikan Nasional mesti mengacu pada pencapaian kualitas manusia merdeka. Menempatkan para peserta didik sebagai subyek.

Pemilahan lembaga kementerian di bidang pendidikan dan budaya yang diputuskan Presiden Prabowo, merupakan pintu masuk untuk lebih fokus dan jernih melayani khalayak. Sekaligus menempatkan orientasi paradigma baru dari policy and programme centric ke peoples centric sebagai pilihan untuk merancang peradaban baru, dengan cara elegan: menegaskan pembangunan sebagai gerakan kebudayaan.

Sasaran pragmatisnya adalah menghidupkan gaya hidup kreatif, inovatif, dan inventif berbasis sains dan teknologi untuk menjawab tantangan Abad XXI. Mulai dari kesadaran dan antusiasme mencerdaskan bangsa, membalik kemiskinan, mengendalikan singularitas, merawat dan mengembangkan potensi manusia, menaklukan penyakit, menyeimbangkan kecerdasan dan keterampilan dengan kearifan, menggali dan mengembangkan kecerdasan budaya ( dialektika nilai lokal dan global) guna melayari transhumanisma menuju era konseptual untuk bersanding dan bertanding dalam percaturan khalayak Society 5.0. |

Padu Bonjer 2/5/25

***

artikel ini merupakan pandangan pribadi

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Polhukam
Ekonomi & Bisnis
05 Apr 25, 17:48 WIB | Dilihat : 648
China Serang Balik Kebijakan Tarif Trump
05 Apr 25, 09:03 WIB | Dilihat : 698
Pemodal Asing Dunia Bakal Melawan Keputusan Tarif Trump
04 Apr 25, 09:54 WIB | Dilihat : 662
Tarif Trump Menekan Ekonomi ASEAN
27 Okt 24, 17:53 WIB | Dilihat : 1709
Pencapaian Industri Halal Malaysia
Selanjutnya