Catatan Bang Sèm
Silaturrahmi antara Wakil Grand Syekh Universitas Al Azhar Kairo - Mesir, Muhammad Adh-Duwaini dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan anasir pimpinan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam Indonesia yang berlangsung di Aula Buya Hamka, Senin (24/6/2024) lepas tengah hari, patut diapresiasi.
Berbagai pandangannya (yang sekaligus mencerminkan sikap dan pandangan Al Azhar) menjadi memberikan aksentuasi yang (mestinya) lebih meneguhkan komitmen MUI dan Ormas Islam Indonesia tentang persatuan umat, moderasi islam, pendidikan, dakwah, dan bagaimana umat Islam mesti merespen dinamika perkembangan dunia global. Khasnya tantangan Abad ke-21.
Meski dalam banyak hal apa yang dikemukakannya pada kesempatan itu nyaris tak berbeda dengan pandangannya ketika mengunjungi Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Universitas Al Azhar Indonesia (UIA) kunjungan kehormatan kepada Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin, Adh-Dhuwaini mengingatkan berbagai hal asasi terkait tugas dan tanggung jawab ormas dan umat Islam dalam memainkan peran di tengah dinamika dan perkembangan dunia.
Apalagi Universitas Al Azhar - Kairo merupakan institusi pendidikan Islam tertua dan bergengsi, yang usianya berbilang abad, sekaligus menjadi rujukan ribuan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir dan di seluruh dunia.
Bagi umat Islam Indonesia, Universitas Al Azhar - Kairo yang berdiri sejak era Fathimiyah merupakan universitas tujuan utama dalam pembelajaran Islam. Ribuan mahasiswa asal Indonesia sejak masa lampau, menjalani proses pembelajaran di universitas ini.
Tahun lalu (Agustus 2023) tak kurang dari 2000 mahasiswa Indonesia di universitas Al Azhar telah menyelesaikan studinya dan membawa pulang gelar Lc (Licentiate) dari berbagai cabang keilmuan dan kembali ke Indonesia dengan berbagai profesi, termasuk ulama populer, pensyarah, pimpinan MUI, politisi dan petinggi pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah..
Dari masa lalu kita mengenal putera puteri terbaik bangsa yang sohor dan terkait dengan Universitas Al Azhar. Antara lain, Syekh Taher Jalaluddin -- yang mengembangkan pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir --, pula srikandi muslimah dari daerah yang sama, Rahmah el Yunusiah (Padang Panjang), Kahar Muzakkir - Rektor Sekolah Tinggi Islam (kini dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia) - Yogyakarta, dan lainnya. Di masa kini, kita mengenal antara lain (yang populer) TBG Muhammad Zainul Majdi (Gubernur NTB 2008-2018), Ustadz Abdul Somad (UAS), dan lain-lain.
Ketika Wakil Grand Syekh Al Azhar, Muhammad Adh-Dhuwaini menguraikan pemikirannya tentang moderasi Islam, dakwah islamiyah, dan pendidikan saya perhatikan potret Buya Hamka - Ketua Umum MUI pertama, di dinding aula itu.
Selintas terulang ingat orasi Buya Hamka ketika menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Al Azhar ( 21 Januari 1958) -- tentang pengaruh ulama Mesir Muhammad Abduh -- dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia -- yang saya baca kala masih SMA. Buya mengemukakan pemikiran progresif Islam pemikiran Islam dari Mesir tersebut.
Persatuan Umat
Menjadi menarik apa yang disampaikan Adh-Dhuwaini dalam konteks peran Al Azhar - Kairo tentang moderasi Islam, dalam dimensi kekinian dan masa depan dunia. Apresiasinya atas sikap pemerintah Indonesia yang konsisten terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina, untuk mengakhiri kekejaman Israel di Gaza (termasuk Rafah) relevan dengan seruan Al Azhar - Kairo kepada masyarakat Arab dan muslim se dunia untuk bersatu melawan kejahatan zionis Israel.
Khasnya, seruan tersebut menggugah kesadaran kolektif bangsa Arab dan umat Islam untuk mengambil sikap dalam menghadapi dukungan Barat yang tidak manusiawi terhadap pelanggaran hak-hak Palestina yang dilakukan negara pendudukan Israel.
Seruan Al-Azhar tersebut menyatakan, harus ada penyelidikan internasional terhadap kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel terhadap anak-anak, perempuan dan orang tua di Jalur Gaza yang terkepung dan terisolasi (Memo, 12.10.23)
Tegas, sebagai institusi peradaban Islam, Al Azhar - Kairo menyatakan, bahwa mendukung warga sipil Palestina yang tidak bersalah melalui jalur resmi merupakan kewajiban agama dan hukum, serta kewajiban moral dan kemanusiaan, dan bahwa sejarah tidak akan baik terhadap mereka yang mengabaikan tugas ini.
Al-Azhar mengkritik dukungan Barat yang tidak terbatas dan tidak perlu dipertanyakan lagi terhadap pendudukan Israel dan lampu hijau yang diberikan begitu saja atas kejahatannya. Tanpa kecuali mengecam liputan media Barat yang bias terhadap Palestina dan rakyatnya sebagai “kebohongan” yang mengungkap klaim kebebasan dan standar ganda Barat. Dalam pandangan Al-Azhar, semua itu menyesatkan masyarakat dan membuka jalan bagi Israel untuk bertindak impunitas dalam meneror rakyat Palestina yang diduduki.
Dalam pernyataan media yang dikeluarkannya kala itu, Al Azhar menegaskan, “Menargetkan warga sipil, termasuk perempuan, anak-anak dan orang lanjut usia yang tidak berdaya; mengebom rumah sakit, pasar, ambulans, masjid dan sekolah tempat warga sipil berlindung; dan pengepungan yang menyesakkan di Jalur Gaza semuanya ilegal menurut hukum internasional.”
Demikian pula penggunaan senjata berat, pemadaman listrik dan air, serta mencegah pasokan makanan dan bantuan kemanusiaan mencapai Jalur Gaza, terutama rumah sakit dan pusat kesehatan. Ini adalah tindakan genosida, sebuah kejahatan perang besar-besaran, dan sebuah aib yang akan dicatat oleh sejarah dalam bentuk rasa malu terhadap Israel, para pendukungnya, dan mereka yang berdiri di belakang mereka.
Selaras Pemikiran HOS Tjokroaminoto dan Yusuf Al Qardhawi
Dalam kunjungan dan dialognya dengan Ormas Islam di MUI, Al Duwaini membuka ruang bagaimana lembaga dakwah masing-masing ormas, termasuk dalam konteks pendidikan dan budaya. Dalam hal mengawal moderasi Islam (Washatiyah) Adh-Duweiny menyampaikan bagai peran Al-Azhar - Kairo;
Mengemukakan pandangannya dalam bahasa Arab, ia mengemukakan, wasathiyah berasas firman Allah dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Maknanya, wasathiyah bukan sekadar moderasi dalam makna harafiah, melainkan keseimbangan dalam menjalani kehidupan duniawi dan ukhrawi, sehingga jangan sampai terlalu sibuk dengan kehidupan dunia dan terlalu sibuk dengan akhirat saja.
Wasathiyah dalam Islam itu, menurutnya, memposisikan manusia sungguh sebagai insan (saya pahami sebagai insan kamil), tak melampaui posisi ketuhanan Allah SWT dan tidak meluruh di bawah makhluk-makhluk yang lain. Moderasi islam yang dimaksud juga jauh dari sikap ta’asub atau fanatisme atas salah satu mazhab, namun tak pula sama sekali tidak bermazhab. Wasathiyah atau moderasi yang memang diperlukan manusia agar mampu memainkan peran sebagai solusi atas problematika kehidupan yang dihadapi. Bukan suatu kelemahan.
Menurutnya, Rasulullah Muhammad SAW merupakan teladan yang utama dalam hal menjalani kehidupan wasathiyah. Tanpa kecuali dalam konteks rahmat atas semesta yang mengajak seluruh umat manusia mewujudkan perdamaian dan ketentraman sebagai format kehidupan. Bukan hidup dengan kekerasan. Wastahiyah merupakan esensi Islam.
Apa yang dikemukakannya secara subyektif saya pahami sekaligus sebagai gambaran aktual bagaimana manifestasi dimensi budaya (nilai-nilai dan norma-norma) Islam menjadi cara melayari transformasi global yang dinamis dan fenomenal.
Termasuk dalam memaknai praktik demokrasi sebagai cara mencapai keseimbangan dan damai. Apalagi dalam menghadapi transformasi tersebut, apa yang dihadapi Mesir dan Indonesia relatif tak jauh berbeda. Kendati demikian, persatuan umat menjadi sesuatu yang penting.
Dalam konteks pemahaman keagamaan, tak bisa diabaikan peran Al Azhar - Kairo sebagai sentrum Sunni. Basisnya, adalah syahadat dan syariat. Di Indonesia, pandangan seirama mengemuka dalam sikap Tjokroaminoto dalam menegaskan syariat wal ibadat sebagai salah satu butir program tandhim.
Al-Azhar dengan demikian, tak pernah memaksakan ideologi dan amalan ibadah tertentu bagi mahasiswanya, karena yang dikembangkannya adalah membangun dan mengembangkan minda yang moderat. Termasuk melalui pengembangan persaudaraan Islam. Karena, sebagaimana halnya dikembangkan dalam lingkungan Syarikat Islam, Al-Azhar menempatkan persaudaraan (persatuan) umat Islam, merupakan suatu kewajiban.
Landasannya pun relatif sama, seiap mukmin adalah bersaudara. Atau seperti hadits Rasulullah SAW, “Mukmin bagi mukmin lainnya laksana bangunan yang saling menopang.” Keseimbangan dengan sendirinya, tak berarti mengintegrasikan ideologi berbagai kalangan pejuang menjadi satu, namun menurutnya lebih ke arah menghindari fanatisme buta. Melainkan, menghidupkan sikap inklusif dan toleran atas sesama dan meminimalkan pertentangan atas perbedaan. Apa yang dikemukakan Adh Duweini dalam banyak hal selaras dengan konsepsi wasathiyah dalam pemikiran ulama besar Mesir lulusan Al Azhar, Yusuf Al-Qardhawi. |