Merespons Kabar Burung dengan Rasionalitas

| dilihat 1962

AKARPADINEWS.COM | KARLINA Leksono Supelli mengawali ceramahnya dengan berkisah tentang bidadari yang jatuh dari langit di perairan sekitar Pulau Banggai, Sulawesi Tengah. Beruntung, bidadari itu ditemukan seorang nelayan yang lalu membawa ke rumahnya. Nelayan itu pun merawatnya.

Desas desus itu pun beredar menjadi berita di media sosial dan situs online. Pada awal Mei, mencuat berita yang dirilis media berjudul Sex Toy Mistaken For Fallen Angel (Boneka intim dikira bidadari jatuh).

Lalu, Karlina mengingatkan kembali fenomena astronomi ketika beredar pesan pendek sensasional tentang Planet Mars yang akan kelihatan sama besar dengan Bulan pada tengah malam 27 Agustus 2016. Pesan itu berjuluk “Sungguh suatu peristiwa Langka yang baru terulang lagi tahun 2078!” 

Karlina tak habis pikir jika kabar burung yang beredar sejak tahun 2003 itu sudah dibantah kebohongannya. Namun, terus direplikasi dan muncul lagi pada tahun 2015 dan 2016. “Fenomena ini juga tidak mungkin karena Mars cukup jauh dari Bumi. Pada jarak terdekat ukurannya sekitar 140 kali lebih kecil daripada Bumi” ungkapnya.

Tersebarnya kabar burung itu tidak terlepas dari perkembangan media sosial. Dengan media sosial, seseorang dapat dengan mudah mengedarkan segala kabar, baik yang isinya serius, faktual, objektif, sampai kabar yang tak jelas, hanya desas-desus, takhayul, cerita gaib, perang ideologi, dan sebagainya.

Menurutnya, teknologi dunia maya adalah teknologi yang luar biasa, yang membuat demokratisasi pengetahuan berjalan cepat dan tidak terbatas. Namun, teknologi itu juga yang dengan cepat melahirkan budaya komentar. Siapa saja bisa dan boleh komentar, tak peduli apakah komentar itu melukai, bahkan menyingkirkan orang lain. “Teknologi itu telah melahirkan setan gundul yang membuat kita saling membenci, saling memakan dan saling membuat orang lain menjadi korban” jelasnya.

Teknologi mememang mempunyai dua wajah. Teknologi dapat bermanfaat memudahkan aktivitas kehidupan manusia. Namun, teknologi juga dapat menjadi alat untuk menebar kemudharatan. Karenanya, Karlina pun mengingatkan jika keberadaan teknologi itu menekankan sanggup atau tidaknya manusia hidup dalam tegangan dunia baru yang bernama dunia maya, tanpa terpengarui setan gundul dan ikut menjadi setan gundul yang menyebar kebencian.

Penjelasan itu disampaikan Karlina pada malam anugerah penghargaan Diversity Award yang digelar Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK), Rabu 31 Agustus 2016 di Goethe Haus, Jakarta. Karlina memberikan ceramah kebudayaan, merespon isu keberagaman dan toleransi dengan tema, “Masyarakat Ilmiah vs Masyarakat Takhayul". Karlina mengembangkan pemikirannya dengan judul, “Berpikir, Bersikap, dan Bertindak Masuk Akal.”

Menurut Karlina, takhayul muncul karena ketidaktahuan atau rasa takut maupun takjub pada yang tidak diketahui. "Takhayul menghubungkan suatu kejadian dengan kejadian lain, tanpa alasan yang dapat ditelusuri, kecuali konsep khayal,” jelas filsuf yang juga dosen di program pascasarjana Filsafat STF Driyakara tersebut.

Memaknai masyarakat ilmiah versus masyarakat takhayul merupakan tema yang luas dan cenderung bias secara ilmiah. Karenanya, Karlina lebih memaknai tentang cara pandang masyarakat melingkupi individu untuk lebih berpikir, bersikap, dan bertindak yang masuk akal.

Sesuatu kabar yang masuk akal dipahami jika isi kabar itu sejalan dengan pemahaman hal-hal yang umum. Misalnya, kabar gempa bumi, gunung meletus atau orang yang dikasihi meninggal dunia. Sebaliknya, sesuatu yang masuk akal tidak langsung dapat dipercayai begitu saja seperti berita bidadari jatuh dari langit yang ternyata boneka intim, Planet Mars yang sama besar dengan bulan dan hantu di lift lantai 13, termasuk desas-desus politik dan kekerasan untuk menghakimi seseorang.

Dengan kata lain, berita bohong (hoax) yang bertebaran di sosial media dapat disebut dengan takhayul. Dalam kondisi demikian, Karlina menekankan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai suatu cara untuk mengetahui kebenarannya, dengan berpikir secara sistematis dan bertopang ke pernyataan-pernyataan yang dapat diuji.

Di abad ke-17, Galileo Galilei menerapkan proses pengujian intersubjektif ketika banyak filsuf alam yang menjadi lawannya meragukan penemuannya atas benda-benda langit baru yang dia saksikan melalui teleskopnya.

Galileo lalu mengambil langkah cerdik. Dia mengajak pihak yang meragukan penemuannya untuk mengamati dengan teropongnya. Namun, dia arahkan dulu teropongnya ke pemandangan sekitar yang pasti ada dan terlihat dengan mata telanjang. Baru kemudian, dia arahkan ke benda-benda langit.

Pengetahuan itu benar sebelum ada data-data kokoh yang dapat menggugurkannya dan belum ada teori lain yang dapat menjelaskan dengan lebih baik. Lugasnya, kebenaran ilmiah itu tidak bersifat multak. Selain itu, ilmu pengetahuan juga melatih akal-budi dan indera agar manusia berani mengakui ada sisi lain di dunia. “Kita tidak mencari-cari dan melempar tanggung jawab ke kawasan yang melampaui dunia, kawasan supranatural,” jelas Karlina.

Karlina dan para pendidik di kampusnya menilai kurikulum dan sistem pendidikan gagal dalam melatih implikasi etis dari cara berpikir yang masuk akal tersebut. Dengan begitu, implikasinya terwujud pada pola pikir seorang warga negara. “Warga negara dilatih untuk tidak melihat kebenaran berdasarkan apa yang diyakininya sendiri maupun apa yang menguntungkan golongannya sendiri.”  

Karena pada dasarnya, campur aduk dalam ranah subjektif dan objektif bisa sangat berbahaya. Tanpa melatih kesanggupan berpikir secara objektif, membedakan mana urusan dunia dan urusan surga, kehidupan publik dapat menjadi semrawut. Apa yang menyangkut agama diklaim sebagai urusan Tuhan.

Karena itu, orang pun boleh melakukan apa saja. Misalnya, kalau untuk Tuhan, orang boleh membakar tempat ibadah orang yang tidak seiman. Kalau untuk Tuhan, orang yang orientasi hidupnya berbeda, boleh dinista dan disiksa. “Seolah-olah kita ini ada pada taraf yang setara dengan Tuhan dan tahu apa yang Tuhan mau,” tegas Karlina.

Lantas, adakah cara untuk melatih kebiasaan berpikir yang masuk akal? Menurut Karlina, caranya melatih diri untuk memilah dan memilih, memeriksa pikiran, hasrat, motivasi, dan implikasinya pada perilaku dan sikap. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih peka melihat. Apa yang tampak saleh, boleh jadi sebetulnya adalah jahat, iblis dengan rupa kesalehan. 

Selanjutnya, apakah mitos, legenda, dan cerita rakyat harus dijauhi? Karlina menegaskan, tentu saja tidak. Semua itu adalah kekayaan budaya. Mitos adalah cara simbolik untuk menyampaikan pesan. Misalnya, mitos gerhana dengan Kala Rahu yang dapat diterima sebagai kiasan bagi sifat rakus dan jahat.

Indonesia luar biasa kaya dengan mitos dan metafora yang berisi pesan leluhur itu. Namun, takhayul pun muncul lantaran tidak berani atau malas membongkar pesan dari kepercayaan dan praktik yang tampak tidak masuk akal. “Jadi, berpikir masuk akal dan bukan semata-mata kata orang, takhayul, kabar burung atau setan gundul dunia maya?”

Sederhananya, masyarakat mencari ruang dalam realitas tempat menemukan adanya kebenaran di luar diri sendiri. Dan, dalam keadaan bingung menentukan keputusan, tetap setia dan mencari pengetahuan yang sudah teruji melalui proses komunikasi yang sehat dan intersubjektif. 

Dalam kesempatan itu, Karlina juga mengingatkan bahwa wartawan bukan alat untuk memuaskan selera masyarakat. Wartawan, melalui medianya, adalah trendsetter. Berada di garda depan untuk penyebaran informasi. Dan, informasi bukan pengetahuan, tetapi menjadi dasar untuk membangun peradaban dan memperluas pemahaman manusia pada dunia.

Dalam acara itu, SEJUK menganugerahkan penghargaan keberagaman (Diversity Award) 2016 kepada empat jurnalis yang membuat karya terbaik di bidang toleransi beragama dan berkeyakinan. Karya-karya terbaik itu merupakan hasil seleksi dari ratusan karya yang dipublikasikan sejak Mei 2015 hingga Juli 2016.

Untuk kategori media cetak, penghargaan diberikan kepada Furqon Ulya Himawan dari Media Indonesia atas karyanya berjudul Toleransi Memudar di Kota Pelajar. Untuk kategori media online, Diversity Award 2016 diraih Heyder Affan dari BBC Indonesia. Heyder menulis Aliran Wahabi dan Wajah Islam Moderat di Indonesia.

Sementara Jessica Helena Wuysang, jurnalis foto dari LKBN Antara, meraih penghargaan terbaik kategori foto jurnalistik. Jessica menghadirkan jepretan-jepretan kasus pengusiran warga eks Gafatar di Kalimantan Barat. Terakhir, jurnalis radio Elshinta Semarang, Margi Ernawati yang memenangkan penghargaan untuk kategori radio.  

Tahun ini, SEJUK tidak menemukan tayangan berita atau liputan televisi yang memenuhi kriteria Diversity Award sehingga kategori televisi tidak ada pemenang. 

Selain memberikan Diversity Award, SEJUK juga menyelenggarakan program fellowship liputan keberagaman untuk mengembangkan liputan dan pemberitaan mengenai keberagaman. Tahun ini, fellowship dimenangkan delapan jurnalis mewakili empat jenis media berdasarkan tema-tema proposal yang sebelumnya sudah diajukan.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 921
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1153
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1412
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1559
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya