Korban Penggusuran Rawajati

Mereka Kian Termarginal

| dilihat 2087

AKARPADINEWS.COM | PULUHAN tenda darurat berdiri di pinggir Jalan Rawajati Barat III RT 09 RW 04, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Di sanalah, warga yang rumahnya digusur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Kamis (1/9) lalu, berteduh. Tenda-tenda didirikan warga seadanya.

Ada yang menggunakan terpal butut, triplek dan spanduk bekas. Kondisi warga cukup memprihatinkan. Mereka tidur dengan alas seadanya, bercampur himpitan sisa harta benda yang berhasil diselamatkannya.

Kesedihan, bercampur kemarahan dan kebingungan, tersirat di wajah warga. Tatapan mereka pun kosong tatkala melihat puing-puing bangunan. Di antara para korban penggusuran, khususnya ibu-ibu, terlihat matanya membengkak. Mungkin, karena lelah menangis, tak kuasa menerima kenyataan.

Seakan tak percaya. Rumah yang dibangun dengan peluh yang tercurah sekian lama, kini rata dengan tanah. Hancur oleh keganasan buldozer. Atas nama pembangunan, mereka disingkirkan.

Keceriaan pun meredup di raut wajah anak-anak di sana. Sesekali, terdengar pula tangisan bocah-bocah di sana. Orang tuanya hanya bisa memeluk, mencoba menenangkan anaknya. Dan, sudah empat hari ini, anak-anak di sana tak ada yang sekolah. Semuanya enggan ke sekolah karena masih dirundung kesedihan yang bercampur trauma.

******

Belum hilang rasa sakit hati, Senin (5/9), warga kembali didatangi petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang tergabung dalam 120 aparat gabungan bersama polisi di bawah komando Pemerintah Kota Jakarta Selatan. Bersama Camat Pancoran, Herry Gunara, petugas keamanan memberesi tenda darurat yang didirikan warga.

Keberadaan tenda-tenda itu "ditertibkan" karena menurut Herry, warga lain dan penghuni apartemen Kalibata City pada mengeluh. Pasalnya, akses masuk terganggu oleh pemblokiran jalan yang dilakukan korban penggusuran.

Tak kuasa menghadapi arogansi petugas keamanan yang dikerahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu, korban penggusuran harus kembali tergusur. Mereka hanya bisa pasrah tatkala petugas melakukan penertiban kali kedua. Terpal-terpal butut dan bahan lainnya yang menjadi atap yang melindungi warga selama empat hari, dilipat dan diangkut petugas. Bahkan, posko darurat korban penggusuran pun dibabat petugas.

Selain menerjunkan aparat gabungan, dikerahkan pula dua buldozer dan lima truk pengangkut untuk memberesi sisa bangunan warga yang tergusur. Warga yang mencoba bertahan, terlihat haru dan sesekali menyoraki para petugas alat berat yang mengangkut paksa puing-puing bangunan.

Aparat tak hanya membereskan tenda darurat dan puing-puing bangunan rumah. Kali ini, aparat juga mengeksekusi Mushola Al Yaqin, yang sempat dibiarkan berdiri saat penggusuran Rawajati Barat III. Proses eksekusi mushola yang bercat hijau itu, petugas Satpol PP sangat berhati-hati. Salah sedikit, runtuhnya mushola itu akan menambah geram warga. Mushola yang didirikan veteran perang, Ilyas Karim itu, rencananya akan dipindah lokasinya. Diselingi suara adzan Dzuhur, eksekusi dilakukan secara perlahan. Suara mesin traktor beradu dengan suara kereta menambah duka warga Rawajati Barat III siang itu.

******

Di antara warga, terlihat seorang ibu berjilbab biru berusaha tegar. Ian Rukmini namanya. Perempuan itu memandangi puing-puing bekas rumahnya dengan ratapan pilu. Dia tidak menyangka, rumah yang dihuninya sejak lahir itu, kini luluh lantak. Sesekali, dia tutupi bibirnya yang bergetar dengan jilbab yang dikenakannya agar air mata tak kembali turun.

Seorang bocah perempuan dengan baju dekil berwarna merah jambu lalu menghampiri dan memeluknya erat. Sisilia Zahra namanya, anak Rukmini. Bocah itu seakan tahu derita ibunya dan berusaha menghiburnya. Sambil menahan pilu, ibu dan anak itu memandang traktor yang mengangkut puing-puing rumahnya dengan pilu.

Di rumah yang telah rata dengan tanah itu, Rukmini tinggal bersama Zahra, ibunya yang telah lanjut usia, dan seorang saudaranya. Seluruh anggota keluarganya itu ditanggung kehidupannya oleh Rukmini. Pendapatan harian yang diperolehnya berasal dari jualan makanan dan minuman di depan rumahnya.

Rukmini sedih. Bukan sekedar kehilangan rumahnya. Namun, dia kehilangan segala kenangan di sana. Rumah sederhana itu menjadi saksi bisu yang merekam perjalanan hidup Rukmini dan keluarganya.

Kala itu, Rukmini sepertinya tak ingin menangis lagi. Air matanya sudah habis kala eksekusi penggusuran kemarin. Perempuan kelahiran 4 Juli 1986 itu telah mengeluarkan seluruh daya upayanya untuk menghentikan penggusuran.

Dialah sosok perempuan yang berupaya menghadang petugas Satpol PP saat kericuhan penggusuran Rawajati Barat dalam foto yang disebarluaskan di sosial media oleh akun Twitter @DPP_FPI. Di foto itu, Rukmini yang berbekal bendera Merah Putih, tampak gagah menghadang ratusan Satpol PP yang berupaya mengeksekusi rumahnya. Kericuhan pun tak bisa dihindarkan.

Kini, Rukmini dan warga lainnya tetap berikhtiar mempertahankan hidup. Mereka memberdayakan apapun yang bisa diberdayakan. Untuk mandi dan buang air, mereka menggunakan toilet portabel yang ada di kawasan tersebut. Entah nanti selanjutnya.

Mengabaikan Dialog

Soal kericuhan kala penggusuran pertama dilakukan kemarin, Rukmini mengatakan, sebenarnya warga dan aparat gabungan Satpol PP, Polisi, dan TNI, sudah sepakat tidak ada tindakan yang memicu kericuhan. “Kami sudah sepakat untuk tidak terjadi kericuhan. Tapi, dari mereka sendiri yang dorong-dorong,” ujarnya.

Rukmini menuturkan, kericuhan baru terjadi ketika ada seorang oknum tak dikenal, melempar aparat dengan batu. Oknum tersebut, Rukmini meyakini, bukan warga Rawajati Barat III.

“Kita tidak tahu siapa yang melempar batu itu. Tapi, saya yakin itu bukan warga sini. Sebab, saya (saat itu) ada di tengah-tengah. Jadi, saya tahu itu bukan warga sini. Saya hafal muka-mukanya anak-anak sini,” tegas Rukmini dengan suara bergetar.

Dia pun menganggap aparat tidak memiliki hati nurani menggusur rumah warga. Apalagi, saat eksekusi dilakukan, kata dia, Satpol PP bertindak brutal. “Mereka (aparat Satpol PP) tuh bener-bener. Mereka tidak pandang bulu. Mau ibu-ibu, anak-anak, bahkan orang tua. Anak saya saja kemarin jatuh itu sama Satpol PP, malah diinjek-injek! Memang mereka tidak punya hati nurani. Saya juga dipukul mereka di sebelah sini (menunjukkan leher belakangnya),” geramnya ketika menceritakan kronologi bentrokan saat penggusuran. Zahra mengamini cerita sang ibu. Bocah kelas 5 SDN Rawajati 06 Pagi itu, hingga kini masih merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya.

Rukmini juga menyesalkan jika korban dari warga tidak diberitakan media cukup banyak. Padahal, kebanyakan korban adalah ibu-ibu dan anak-anak. Bentrokan antara warga dan aparat sangat disayangkan. Tindakan anarkis tidak akan terjadi bila dialog antara warga dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berjalan dengan baik. Dialog dengan warga perlu dilakukan, agar tuntutan dan dukungan warga, menjadi masukan bagi Pemprov DKI sehingga menghasilkan solusi yang tepat dan menghindari resistensi. Dengan begitu, proses eksekusi dapat berjalan dengan baik.

Walau bagaimana pun, mereka yang rumahnya digusur adalah warga negara Indonesia yang juga berhak atas kerugian yang diterima akibat implementasi kebijakan pembangunan.

Praktik penggusuran paksa merupakan cara-cara yang melanggar ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang telah diratifikasi melalui UU No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Larangan penggusuran paksa juga ditegaskan dalam Pendapat Umum PBB Nomor 4 Tahun 1991 tentang Hak Atas Perumahan yang Layak. Lalu, berdasarkan Pendapat Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa, ditekankan pentingnya musyawarah dengan warga yang terkena dampak, pemberitahuan kepada warga sampai jadwal penggusuran akan dilakukan, kejelasan informasi tentang kegunaan lahan pasca penggusuran, kehadiran pemerintah saat penggusuran, penyediaan sarana pemulihan berdasarkan hukum.

Selain itu, diberikan pendampingan atau bantuan hukum bagi mereka yang akan menuntut ganti rugi. Penggusuran tidak boleh mengakibatkan seseorang berada dalam keadaan tidak memiliki rumah sama sekali atau kualitas hidup dan martabatnya menurun di lokasi yang baru. Penggusuran paksa juga melanggar UUD 1945, Pasal 28H ayat 1 yang menegaskan hak setiap warga negara atas tempat tinggal. Dan, umumnya, penggusuran paksa memicu bentrokan antara aparat penegak hukum terhadap warga.

Selain itu, Rukmini menilai, anak-anak warga korban penggusuran masih trauma, termasuk anaknya. Zahra sendiri belum masuk sekolah lantaran takut. “Tetangga saya saja di sebelah sini (menunjuk ke tenda di belakangnya), anaknya sampai sekarang masih menangis. Itu saking mereka trauma dan depresi,” sesal Rukmini.

Minim Sosialisasi

Dia juga membantah klaim Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menyatakan sudah melakukan sosialisasi sejak lama. Nyatanya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru memberitahu informasi pastinya jika Marunda menjadi tempat relokasi sebulan sebelum penggusuran. Selain dadakan, informasi itu juga tidak diterima secara menyeluruh oleh warga.

“Perlu digarisbawahi, mereka (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta) gembar-gembor (di media) sudah sosialisasi dengan kita.  Sedangkan Pak Camat yang baru itu saja (Herry), kita belom lihat mukanya. Hal yang mereka kasih tahu hanya akan direlokasi ke Marunda, tiga bulan gratis. Kita tidak dikasih tahu biaya sewa (di Rusun Marunda) per bulannya. Silahkan tanya dari ujung ke ujung, kita tidak ada pemberitahuannya,” ungkapnya.

Informasi yang diterima warga sangat minim. Bahkan, menurut Rukmini, biaya sewa rusun Marunda didapatkan warga hanya dari internet, karena tidak adanya pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mendatangi warga.

Perihal wacana Pemprov DKI Jakarta yang akan memberikan kios PD Pasar Jaya kepada warga gusuran yang memiliki usaha, Rukmini mengatakan, wacana itu sudah didengarnya sejak lama. Namun, tidak terlihat realisasinya. Dia pun merasa, wacana itu bohong belaka.

“Waktu itu sudah ada sosialisasi dari PSPT Pasar Tebet. Infonya, kalau mau ngambil Pasar Tebet itu gak boleh ngambil rusun (Marunda). Kan kita gak mungkin milih salah satu. Ya masa kita harus tidur di pasar sih!” ujarnya.

Informasi yang tak menyeluruh itu menyebabkan warga Rawajati Barat III enggan untuk meninggalkan rumahnya. Menurut Rukmini, seharusnya pemerintah melakukan sosialisasi secara rutin, menyeluruh, dan tidak dadakan.

Rukmini juga menolak tudingan jika warga Rawajati Barat III disebut warga ilegal. Karena, dia dan warga lainnya memiliki surat-surat kependudukan yang lengkap, mulai dari KTP (Kartu Tanda Penduduk) hingga KK (Kartu Keluarga).

“Kalau kami dikatakan warga ilegal, seharusnya kelurahan (Rawajati) juga ilegal dong. Kan mereka yang mengeluarkan KTP dan KK kami. Warga sini juga banyak yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun,” tegasnya.

Rukmini juga menegaskan, warga sebenarnya bukan tidak ingin direlokasi. Hanya saja, tempat relokasi yang disiapkan jauh dari harapan warga. Selain itu, seharusnya informasi yang sampai kepada warga jelas dan pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membantu mengurusi perpindahan warga, termasuk perpindahan sekolah anak-anak yang pastinya membutuhkan waktu.

Dia pun berharap, pemerintah memperlakukan mereka secara manusia. “Harapan saya, pemerintah memberikan yang terbaik buat kita. Kalau kayak gini kan justru membuat gembel menjadi tambah banyak di Jakarta. Orang yang punya rumah dibuat jadi seperti ini. Jangan buta hati, buta mata, dan buta telinga. Jangan sekedar gembar-gembor, tapi berikan buktinya,” harapnya.

Harapan Rukmini merepresentasikan harapan warga Rawajati Barat III lainnya. Tentu, tidak ada manusia yang ingin terusir dari rumahnya. Apalagi, dengan cara-cara paksa. Penggusuran atau relokasi memang merupakan alternatif yang biasa dipilih oleh pemerintah dalam merealisasikan kebijakan pembangunan. Namun, penggusuran tidak bisa makin memarginalisasikan warga Rawajati yang sudah termarginal (terpinggirkan). Pendekatan humanis harus dikedepankan sebelum eksekusi dilakukan.

Meski penggusuran bertujuan menciptakan ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta, hak-hak warga tetap harus diperhatikan. Penyediaan RTH memang sangat penting. Jakarta sendiri dihadapi persoalan minimnya RTH akibat padatnya penduduk yang memicu peningkatan kebutuhan akan ruang.

Akibatnya, daya dukung lingkungan berkurang. RTH memiliki multifungsi. RTH meningkatkan daya dukung lingkungan perkotaan, berfungsi sebagai area konservasi dan penyangga bagi lingkungan di perkotaan. RTH juga memperkuat identitas kota dengan menambah nilai estetika kota, yang berdampak bagi perkembangan mental penghuninya.

Namun, perlu ada dialog antara Pemprov DKI Jakarta dengan warga. Bukan kali ini saja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melakukan penggusuran. Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menunjukkan, selama tahun 2015, terjadi 113 kasus penggusuran paksa oleh Pemprov DKI Jakarta.

Total jumlah korban sebanyak 8.145 kepala keluarga (KK) dan 6.283 unit usaha. Sebanyak 67 persen di antaranya dibiarkan tanpa solusi. Forum Kampung Kota yang terdiri lintas elemen, mulai dari akademisi, aktivis organisasi non pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, dan sebagainya, menilai Ahok tidak mau mendengar dan berempati pada warga miskin. 

Forum Kampung Kota juga mengkritik keterlibatan militer saat melakukan penggusuran karena bertentangan dengan UU No 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). UU tersebut menyatakan, TNI hanya berwenang mengurusi pertahanan, bukan ketertiban umum yang menjadi tugas kepolisian dan Satpol PP. Karena itu, Forum Kampung Kota melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, 19 Agustus 2017 lalu. Isinya, menentang Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.

Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 220
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 436
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 432
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 403
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 123
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 255
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 276
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya