Menyimak Narasi Menyerap Diksi dalam ILC

| dilihat 1654

Catatan Sem haesy

Selasa malam (19/12/18) saya duduk dengan anak bungsu saya di depan pesawat televisi yang sedang menayangkan programa siaran Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dipandu Karni Ilyas, jurnalis senior, sekaligus pemandu acara gunemcatur televisi terfavorit pilihan pemirsa.

Tiba-tiba anak saya tersenyum, ketika sekilas muncul wajah Rocky Gerung (RG) yang hadir melalui televideotic dari Makassar (baca: Gunemcatur Rocky Gerung dan Content Analysis itu)

Ketika Chusnul Mari'ah bicara saya sempat tekun menyimak. Saya yang sedang menanggapi pernyataan anak bungsu saya itu, menoleh sesaat ke layar televisi.

Anak saya sedang bicara tentang Steve Sabol, seorang seniman visual, produser sekaligus sutradara film, yang bersama ayahnya mendirikan NFL Films.

Selepas Chusnul bicara, "Rocky teman seangkatan saya, dia pantas bicara politik," saya melanjutkan, menyimak pandangan anak saya, sambil sekali sekala mengambil jeda menyimak gunemcatur itu.

Persisnya, ketika Chusnul menyangkal beberapa pernyataan lawan bicaranya, anggota DPR RI dari Partai Nasdem, Akbar Faisal. Selebihnya saya kembali hanyut dalam percakapan dengan anak saya yang mulai mengomentari apa yang tampak dalam gunemcatur itu.

Sabol, kata anak saya, seringkali menyerap sajian visual dalam realitas pertama dan realitas kedua (melalui film maupun televisi). Di mata Sabol, lapangan sepakbola, layar film, layar televisi, adalah panggung lain teater.

Di atas lapangan atau di dalam layar atau panggung, itu bisa saja sepakbola menggabungkan strategi catur. Bisa juga bagian dari liuk laku gerakan balet. Secara fantasi, bisa juga menghadirkan setting medan perang, atau bagian taman bermain.

Sebagai seniman visual, Sabol melakukan prosedur dan cara menghadirkannya sebagai suatu pergelaran. "Kami mengklarifikasi, memperkuat dan memuliakan permainan dengan rekaman kamera, narasi, musik dan sound, dan pada akhirnya menciptakan potongan momen inspiratif," kata Sabol.

Karni Ilyas diposisikan sebagai subyek, pemain sekaligus wasit di bawah panduan director programa siaran gunemcatur ILC, itu. Bisa jadi, dia juga bertindak sebagai produsernya.  

Untuk topik-topik tertentu, berlaku urut-urutan alur: mulakalam - introduce, kemudian para 'aktor' -- pembicara dalam acara itu, dibiarkan mengikuti alur action - rising action - sampai klimaks atau anti klimaks.

RG adalah aktor yang konsisten, taat azas dan lincah memainkan peran, terutama ketika dia dihadirkan pada bagian puncak plot, saat pembicara lain sedang sedang -- tak sadar -- memosisikan diri pada fasa-fasa perkembangan plot.

RG saya bayangkan seperti Peter Cullen, aktor yang selalu menikmati narasi dramatis, sekaligus menyukai hal-hal yang merupakan tantangan. Dia selalu berhasil mengakhiri perannya dengan mentetak narasi dengan diksi yang mengkili-kili siapapun pembicara lain. Terutama ketika dia sedang bicara, diinterupsi oleh pembicara lain.

"Makin sering diinterupsi, RG makin piawai memilih dan memilah lawan bicaranya. RG sebagai (sungguh) intelektual, berhasil memadupadan kelincahan nalar, kepekaan naluri, kematangan mental, dan kelenturan dria," ungkap anak saya.

Pada diri RG, katanya, terlihat paduan seorang jurnalis - narator - intelektual yang narasi, argumen, pilihan birama dan nada suaranya khas. Meminjam istilah Janet Malcom, RG adalah sosok simbol, perwujudan dari gagasan pengamat kehidupan yang tak kenal belas kasihan melihat para aktor berkilah dan berkelit, berusaha keluar dari beban yang membebat minda dan jiwa mereka.

Saya sepakat dengan pandangan anak saya, sampai di layar, RG muncul dan bicara. Perbincangan kami terhenti sesaat, kala Mochtar Ngabalin (Ngabalin) memotong pendapat RG.

Ngabalin bicara 'mengatasnamakan pemerintah.' Anak saya tersenyum. "Hmmm... Om Ngabalin menggali lubang," ujarnya.

Anak-anak saya kenal dengan Ngabalin yang berserban itu. Ketika anak sulung saya menikah, Mochtar Ngabalin yang memberi nasihat pernikahan.

 "Narasimu tidak bagus. Dan... diksimu menyepelekan sebuah sistem yang sedang dibangun ..." ungkap Ngabalin. Pada bagian lain, ketika dia memotong lagi pembicaraan RG, meluncur kalimat, "Narasi dan diksimu tidak menunjukkan Anda seorang intelektual."

Saya tersenyum, ketika RG berkomentar datar tanpa ekspresi merespon Ngabalin yang lagi-lagi menyebut dirinya intelektual (kaum terdidik) dan doktor. "Udah bisa apa setelah doktor?" tanya RG.

"Om Ngabalin terperosok sudah..." cetus anak saya.

Kalimat-kalimat Ngabalin dan Akbar Faisal yang mengomentari sosok RG, meluncur di luar konteks substansi topik perdebatan.

RG seorang yang compétences en littératie matures - matang secara literatif, karena berbasis sastra, berkemul dengan filsafat dan gemar menelisik beragam pengetahuan.

Hakekat narasi sebagai pencapaian interaksional logika yang berjarak dengan substansi masalah yang diangkat sebagai topik debat (percakapan dialogia), beroleh porsinya secara proporsional. Kendati Ngabalin memahami narasi dalam pemahamannya sendiri.

Saya mengajak anak saya menggunakan analyse de conversation Sylvi Patron dalam menyimak perdebatan yang (sering) berubah menjadi 'sentak sengor' itu, fokus pada split dialogia atau percakapan pasalingsingan (dalam istilah Sunda), RG menyatakan 'apa,' diterjemahkan dengan 'bagaimana.'

Anak saya lebih suka menyimaknya dengan pendekatan corpus of interactional thinks, karena dia seorang vérificateur de logique, penyigi logika.

Anak saya lebih suka menyebut bagian-bagian percakapan emosional yang 'meruntuhkan citra' petugas istana, itu sebagai dua arus perspektif yang tak nyambung. Ngabalin dan Akbar Faisal terjebak dalam corpus pragmatik dengan kepentingan 'mengungkap kebenaran' dalam konteks pembenaran, sehingga RG bisa leluasa menempatkannya sebagai obyek morpho-syntactic, dan karenanya RG bisa  tertawa masam.

Ngabalin dan Faisal Akbar tak sabar menunggu momen untuk menghadirkan pandangan pada giliran, karena tak tak tahan menyimak dan mendengar kalimat terang yang diungkap dengan nada ironik (belum sarkastik).

Kami berdua tertawa, karena adegan itu memberi ruang bagi RG, menggunakan passé composé untuk menghubungkan substansi persoalan penggunaan kotak suara dalam Pemilu dan tingkat kepercayaan rakyat. Itulah yang tercermin dalam pernyataan penutup Karni Ilyas: soalnya bukan kotak baja, kotak kardus, dan kantong kresek, tapi kepercayaan khalayak.

Itulah esensi narasi RG dan diksi yang ditawarkannya tak lagi dalam ritme atau birama dalam kata-kata, tapi gesturnya saat dia membetulkan letak duduk dan bicara. RG selalu berhasil menggoda dengan bicara dengan speed normal, desah di setiap ujung huruf hidup. Bersikap ringan untuk tidak menuntut lawan bicara menyimak, dan  beberapa kali mengurai kalimat dengan cara semakan: mengucapkan kata dalam satu kalimat dengan jeda, seperti guru sedang mendikte muridnya.

RG terasa, piawai betul dalam mengatur cutting -rhythm dan Breathing, termasuk mengirimkan pesan dan pesan fisik kepada lawan bicaranya. Lawan debat yang tak rajin melakukan brain defrag, akan mudah emosional, bicara teknis, dan taktis. RG akan terus menarik dengan narasi (berbasis format logikanya), tonik dan ritme dalam frasa yang dipilihnya.

Bagi RG, diksi adalah tanda tangannya, bagi lawan bicaranya diksi menjadi pas foto. Formasinya: serang dan terjang menutup beban minda dan perasaan, dan terpeleset dengan "Savonnée," beberapa suku kata yang membuat performanya tergelincir dalam perdebatan non substantif. Kendati semua faham, narasi dan diksi bukan formula impressi, melainkan cara berekspresi.

Boleh jadi RG tak menikmati gunemcatur itu. Sebagai pemirsa, saya paling menikmati acara itu.|

Penulis seorang imagineer, jurnalis dan brodkaster

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 218
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 430
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 429
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 399
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1156
Rumput Tetangga
Selanjutnya