Mengintip Mappasitinaja di Munas KAHMI dan FORHATI

| dilihat 1564

Catatan Sem Haesy

Tiba-tiba saya teringat ibu, kala berada di forum Munas X KAHMI yang berlangsung di Medan (17-19/11/17). Menjelang wafat, beliau pandangi wajah kami, anaknya satu-satu. Selepas berbicara tentang banyak hal, suaranya melemah. Dipandangnya wajah saya dan adik perempuan saya, lalu berkata, Alai cedde’e risesena engkai mappedeceng, sampeanngi maegae risesena engkai maega makkasolang.”

Maksud perkataan ibu adalah “dalam memasuki suatu kontestasi yang tak sehat, ambil yang sedikit, apabila yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, tolak yang banyak, apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan.”

Kalimat ibu, saya terima sebagai suatu nasihat: dalam situasi yang pelik, cukuplah mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya jua, termasuk dalam menilai diri terkait mappasitinaja (kepatutan yang di dalamnya termasuk kelayakan). Ukurannya adalah kepatutan, kepantasan, dan kelayakan.

Ukuran ini selalu saya pilih selama bertahun-tahun, ketika memimpin perusahaan, baik di tanah air maupun di jiran. Perkataan ibu yang berasal dari pepatah dengan bahasa ibunya, itu seketika mencuat, kala seorang anggota Panitia Seleksi Presidium Korps Alumni Humpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) saya ajak diskusi ihwal kepantasan dan kepatutan itu.

Parameternya adalah tantangan yang akan dihadapi oleh itu, lima tahun ke depan secara multidimensional. Tak hanya terkait dengan politik praktis reguler limatahunan – yang akan mulai berlangsung pada 2018 dan 2019. Melainkan lebih kompleks dari itu, terkait berbagai persoalan asasi yang akan dihadapi umat.

Dari aspek politik dan ekonomi, kita akan mengalami perubahan trend yang disebabkan oleh pergesera pola pertarungan politik global kawasan dari Amerika – Eropa ke Asia Pasifik. Kita juga akan berhadapan dengan perubahan minda bisnis – yang akan berhadapan dengan globalisasi di satu sisi, dan glokalisasi di sisi lain.

Globalisasi dalam pandangan George Soros merupakan pengembangan keuangan global, pertumbuhan korporasi transnasional dan peningkatan dominasi mereka atas ekonomi nasional. Akan halnya glokalisasi dalam pandangan Philip Kotler adalah strategi memperkenalkan dan sekaligus penetrasi brand internasional ke negara lain dengan adaptasi lokal yang sesuai.

Dampaknya adalah penetrasi berat yang dialami oleh rakyat kebanyakan atau umat. Khasnya, ketika umat islam Indonesia merupakan kaum dengan populasi terbanyak yang belum cukup kuat menghadapi perubahan dramatik yang akan dialaminya.

Dari sisi sosial, umat juga akan menghadapi tekanan kuat percepatan sains dan teknologi, khasnya teknologi informasi yang memungkinkan terjadinya singularitas secara penetratif hipodermis.

Dalam satu tarikan nafas, juga akan berhadapan dengan transhumanisme di awal abad ke 21 yang sungguh berdampak kultural.  Terutama ketika kaum beruang dan menguasai beragam sumberdaya menggunakan nanotechnology untuk memainkan aksinya dalam menguasai seluruh aspek sumberdaya.

Saya membayangkan, lima tahun ke depan KAHMI memainkan peluang strategisnya sebagai representasi umat Islam terdidik dalam mengembangkan berbagai pemikiran asasi terkait keislaman dan kebangsaan, yang tak berhenti hanya pada persoalan-persoalan praktikal dan operasional politik, apalagi sekadar pragmatisme politik. 

KAHMI – yang saya bayangkan merupakan representasi masyarakat berkualitas insan cita – menjadi energizer di seluruh lini, sesuai dengan keragaman kompetensi perkaumannya. Paling tidak menjadi garda depan yang mampu menyuarakan tak kurang dari 15 tantangan Abad 21 yang akan cepat tiba.

Mulai dari penyelamatan bumi dan penaik-tarafan kemampuan umat Islam Indonesia mengendalikan data – sistem komputer yang mendorong pembelajaran hidup dan meningkatkan pengawasan intensif terhadap eksploitasi alam yang dilakukan secara berlebihan.

Lantas membalikkan kemiskinan melalui komitmen komunitas dan menyuarakan aspirasi kaum miskin (sekaligus membentang sinergitas global) sembari ikut mempromosikan aktualisasi pembangunan berkelanjutan. Kemudian, mempromosikan secara proporsional pengendalian populasi penduduk terkait dengan perubahan struktur demografi, dengan pemikiran-pemikiran khas yang berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan secara berkeadilan.

Saya juga membayangkan KAHMI lima tahun ke depan mempunyai prioritas program untuk mempromosikan high life data-style – gaya hidup lestari – yang tak menyulitkan lingkungan, termasuk mengembangkan energi baru terbarukan sebagai cara mencapai hidup layak dan makmur. Tak terkecuali, juga merespon secara aktif dan terencana dampak yang timbul dari meningkatnya penggunaan bandwidth dengan pengembangan kearifan dan kecerdasan lokal.

Seiring dengan itu juga menumbuhkembangkan kreativitas dan inovasi dengan berbagai invensi sebagai respon terhadap penerapan teknologi dalam layanan publik (seperti e-tol, e-ktp, e-budgeting, dan lain-lain) yang berdampak pada menyempitnya lapangan kerja dan purchasing policy. Antara lain dengan mendorong entrepreneurial yang mampu menambah populasi entrepreneur di kalangan umat Islam.

Tentu, sebagai organisasi umat islam terdidik, KAHMI juga perlu  memperluas pengembangan modal insan (human capital dan human investment) melalui program talent scout guna menggali lebih dalam kompetensi kompetitif (terutama alumni HMI). Termasuk berkontribusi pada pengembangan metode dan ruang pembelajaran (serta literasi) berbasis teknologi informasi. Tak terkecuali juga merespon bakal terjadinya transhumanisme secara radikal dengan nanoteknologi, yang akan berdampak langsung pada menurunnya sikap manusia dalam interaksi sosial, sekaligus merespon berkembangnya nilai-nilai baru yang secara etika sangat kontroversial. Khasnya dalam konteks keislaman dan keindonesiaan.

Dengan perspektif inilah saya datang dan melihat langsung Munas X KAHMI di Medan yang meriah dan meruah itu. Tapi begitu masuk ke lokasi Munas dan melihat situasi yang terjadi, saya kemas kembali seluruh perspektif itu ke dalam backpack saya.

Tiga orang sahabat lama, alumni HMI - guru besar dari Makassar, Medan, dan Bandung – ketika sempat intens diskusi, menyadarkan saya untuk melihat Munas yang dibuka oleh Presiden Republik Indonesia dan ditutup oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, itu cukup dengan mata biasa saja. Tak perlu menggunakan akalbudi. Orientasi pemikiran dan pragmatisme politik lebih mendominasi.

Satu-satunya yang saya syukuri ketika berada di lokasi Munas KAHMI tersebut adalah spirit para senior FORHATI – alumni HMI-wati yang berhasil membentengi musyawarah mereka dari laku pragmatisme politik.

Bahkan, saya terharu, menyaksikan dua orang senior FORHATI yang sudah sepuh: Umi Chia dan Eyang Baedah – sempat membuka koceknya (selepas Munas berakhir) berkontribusi (meski tak besar bilangannya) untuk memulai aksi koleksi dana abadi bagi kemandirian kegiatan FORHATI itu. 

Dan saya paham, mengapa Prof. Nurhayati Djamas – begitu antusias dan gembira mengatakan kepada saya, mempunyai hope yang besar untuk kelanjutan peran FORHATI lima tahun ke depan. Terutama karena berhasil mendapatkan orang yang tepat sebagai presidium untuk memimpin dan menggerakkan FORHATI ke depan. Dan.. kembali saya teringat ucapan ibu saya, yang saya kutip di awal tulisan ini.. | 

Editor : sem haesy
 
Energi & Tambang
Humaniora
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 355
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 449
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 403
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
21 Feb 24, 22:40 WIB | Dilihat : 236
Bapak Modernitas Sarawak Tun Taib Wafat
Selanjutnya