Menggugat Penyimpangan Frekuensi Publik

| dilihat 1809

AKARPADINEWS.COM | STASIUN televisi yang diberikan amanat untuk memanfaatkan frekuensi publik dituntut untuk menyajikan tayangan yang bermutu kepada publik. Frekuensi yang merupakan ranah publik tidak boleh dimanfaatkan oleh pengelolanya hanya untuk mengeruk pundi-pundi iklan dengan lebih menayangkan tontonan yang tidak mendidik.

Fakta menunjukan hampir sebagian besar tayangan televisi lebih menonjolkan hiburan semata demi meraih rating tinggi. Ironisnya, seringkali tayangan yang disuguhkan dibumbui adegan-adegan maupun lelucon yang tidak seronok sehingga mengusik emosi publik. Tak hanya itu, stasiun televisi yang dikuasai segelintir pengusaha yang menyambi sebagai politisi, seringkali memanfaatkan televisi untuk kepentingan politiknya.

Meski seringkali menuai kritikan publik, termasuk peringatan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), para pengelola stasiun televisi masih saja sering melakukan pengabaian. Buktinya, sejumlah persoalan masih ditemui di industri penyiaran, mulai dari program siaran yang kurang mendidik, keberagaman tayangan, dan keberimbangan pada siaran televisi berita.

Publik agaknya sulit mengharap stasiun televisi serius melakukan pembenahan.  Karenanya, persoalan itu tentu menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dua hari sebelum peringatan Hari Televisi Nasional, tepatnya Jumat siang (22/8), Jokowi mengumpulkan para direktur program stasiun televisi swasta dan nasional di Istana Merdeka, Jakarta.

Pada kesempatan itu, Kepala Negara yang didampingi Ketua KPI Judhariksawan, menyampaikan keresahan masyarakat terhadap program-program televisi yang lebih mengutamakan rating ketimbang memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif.

Dari pengalaman saat blusukan, bertemu dengan sejumlah pimpinan organisasi keagamaan, tokoh masyarakat, bapak dan ibu guru, Presiden menangkap pesan jika ada keresahan masyarakat terhadap tayangan di layar kaca. “Pak, saya ini pagi mendidik anak-anak saya, hal-hal yang berkaitan dengan budi pekerti dan lain-lain. Tetapi, malamnya nonton sinetron, nonton TV hiburan yang berbanding terbalik dengan yang saya sampaikan,” ungkap Jokowi di hadapan para direktur program.

Program televisi, diakui Jokowi, memang mencari rating yang tinggi. Namun, pencapaian rating tidak boleh mengabaikan peran televisi dalam mendidik masyarakat. Karenanya, Jokowi menekankan perlunya menyuguhkan siaran yang mengedepankan sisi-sisi moralitas, rohani, dan hal-hal yang bersifat nasionalisme. “Jadi kreativitas dan pembuat-pembuat acara diharapkan berkonten positif dalam mendorong menghibur juga ada unsur pendidikan,” tuturnya.

Keresahan publik yang disampaikan oleh presiden bukannya tanpa alasan. Hasil Survei Indeks Kualitas Program Televisi yang dilakukan KPI dengan sembilan perguruan tinggi di sembilan kota dan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) menunjukan, tayangan televisi masih sangat mengkhawatirkan. Pada survei yang dilakukan pada Maret-April 2015, memperlihatkan indeks kualitas program acara secara keseluruhan hanya mencapai 3,25, masih di bawah ambang indeks standar minimal KPI untuk program berkualitas 4,0.

KPI mendasarkan standar penilaiannya pada kesesuaian program siaran dengan tujuan, fungsi, dan arah penyelenggaraan penyiaran sebagaimana ketetapan amanat Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Sebanyak sembilan jenis program acara dalam survei ini, dinilai oleh para responden yang merupakan panel ahli di masing-masing kota. Hasilnya, tiga program siaran yang mendapat nilai indeks jauh di bawah standar KPI: program infotainment, sinetron, dan variety show.

Infotainment, sinetron, dan variety show yang mendapat indeks kualitas rendah, justru berada di waktu-waktu utama (prime time),” papar Judhariksawan dalam jumpa pers Expose Hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2015, (9/6) silam.

Sebaliknya, program siaran budaya dan religi yang berkualitas, justru kuantitas tayangan tidak terlalu banyak. Patut pula dicatat jika program yang berbasis pendidikan bagi anak sepi tayangan.

Apakah pelaku industri televisi tanah air akan cepat merespon ajuran Presiden? Muhammad Heychael, Direktur Remotivi, lembaga pemantau dan peneliti tayangan televisi, menjelaskan, Presiden sebagai orang yang diberi kuasa oleh publik untuk menjalankan pemerintahan, mestinya tidak hanya meminta. Presiden, menurut Heychael, wajib memastikan tayangan televisi yang menggunakan frekuensi publik benar-benar mendidik publik. Apalagi perbaikan di bidang penyiaran merupakan janji Jokowi yang tertuang dalam Nawacita.

Dalam membuat perbaikan di bidang penyiaran, Jokowi mesti serius mendukung revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang berjalan. “Setidaknya ada enam isu besar yang menjadi pembahasan revisi UU penyiaran dan membutuhkan dukungan pemerintahan Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat agar dapat direalisasikan,” ungkap Heychael dalam rilis siaran persnya.

Tayangan penuh kekerasan, eksploitasi tubuh perempuan, horor, dan mistik yang mencederai akal sehat publik, nyatanya dapat melenggang muncul di layar kaca. Hal itu bisa terjadi karena KPI sebagai regulator hanya bisa menjatuhkan sanksi administratif. Sementara kewenangan izin siar berada di tangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Sedangkan KPI hanya bisa memberi rekomendasi. Bila KPI memiliki kewenangan atas izin siar, mungkin dapat menjadi suatu instrumen berarti bagi jernihnya industri penyiaran.

Sengkarut lain yang masih membayangi industri penyiaran adalah pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran. Penyelewengan frekuensi publik terjadi saat sang pemilik menggunakan lembaga siarannya untuk kepentingan politiknya. Pembatasan kepemilikan media penyiaran sebenarnya telah diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun, penyiaran itu hanya berlaku bagi lembaga penyiaran baru yang muncul setelah peraturan itu ditetapkan dan tak berlaku surut.

Menimang hiruk pikuk siaran televisi dewasa ini, rasanya sangat menyimpang dari semangat awal ide perintisan siaran televisi di Indonesia. Ide berawal dari seorang kepala Radio Republik Indonesia (1946-1959), Maladi yang mengajukan gagasan mengenai perlunya memiliki lembaga siaran televisi untuk membentuk persatuan nasional. Ide yang dilontarkan kali pertama pada tahun 1952 itu dan mendapat dukungan Presiden Soekarno, nyatanya dimentahkan oleh kabinet dengan alasan televisi terlalu mahal.

Gagasan Maladi baru disetujui pada tahun 1959. “Televisi bisa memainkan peran penting dalam membentuk persatuan nasional melalui program pendidikan nasional,” ujar Maladi dikutip dalam Philip Kitley dalam Television, Nation, and Culture in Indonesia. Maladi mengungkapkan bila radio dapat memperkuat nasionalisme, begitu juga televisi. Selain itu, secara teknis peran dan fungsi televisi dirasa penting untuk agenda kegiatan Asian Games ke-IV, 24 Agustus-4 September 1962.

Percobaan siaran perdana dilaksanakan pada peringatan 17 Agustus tahun 1962, seminggu sebelum pembukaan Asian Games ke-IV, atas saran Presiden Soekarno. Walaupun hanya siaran percobaan, menurut Philip Kitley, siaran tiga setengah jam pada 17 Agustus 1962 adalah sebuah inisiasi yang dilapisi simbol kelahiran republik.

Namun sebagai momentum Hari Televisi Nasional justru diambil dari peristiwa tayangan pada hari perdana pelaksanaan Asian Games ke-IV, 24 Agustus 1962. Hal itu menjadi wajar sebab tak mungkin memadukan peringatan Hari Televisi Nasional bersamaan dengan peringatan hari kemerdekaan. Sebab, “Soekarno ingin kita ingat baik-baik bahwa televisi hanyalah satu instrumen untuk bangsa dan bukan sebaliknya,” tulis Holy Rahfika, dalam artikelnya di laman Remotivi yang berjudul: Agustus dan Kekalahan Publik.

Pesan Soekarno ternyata tak berbekas bila kita memandang tiap-tiap program acara televisi dewasa ini. Ironinya, kini televisi justru menjadi satu instrumen untuk industri, dan rating semata, tanpa pernah melihat kepentingan publik. Dengan kondisi tayangan layar kaca yang seakan hilang arah, publik pastinya mendamba kualitas siaran televisi tanah air.

I Dirga Adinata 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 749
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 903
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 858
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Energi & Tambang