Belajar dari Masyarakat Aceh

Menerima Musibah sebagai Takdir

| dilihat 1593

Abeh nyawong Tuhan tung, abeh hareuta hukom pajoh.

RABU, 7 Desember 2016 pagi, usai melakukan terapi quranic healing dengan tadarus, mengisi waktu senggang rehat yang dinasehatkan dokter, sesaat saya menonton siaran televisi. Aceh kembali diguncang gempa bumi berkekuatan 6.5 SR. Pusat gempa berada di darat. (Baca: Aceh Darurat Bencana)

Kabupaten Pidie Jaya (pemekaran Kabupaten Pidie), Pidie, dan Bireun paling banyak menderita. Ratusan korban jatuh sesuai perkembangan informasi yang disiarkan sepanjang hari Rabu itu. Dengan gambar yang terbatas dan diulang-ulang secara hipodermis, benak saya terpenetrasi oleh informasi robohnya Sekolah Tinggi Agama Islam Al Aziziah, Masjid, rumah kedai, dan lain-lain.

Mulanya saya membayangkan bagaimana masyarakat di ketiga kabupaten ini, khasnya Kabupaten Pidie Jaya akan panik menghadapi guncangan yang bertepatan dengan waktu salat subuh. Namun melihat informasi visual yang ditayangkan televisi, saya justru melihat ketenangan yang luar biasa. Bahkan, ketika terjadi gempa susulan beberapa kali dengan lepasan energi sekira 6.4 SR.

Banyak hal yang memungkinkan masyarakat bersikap sedemikian tenang, agaknya. Selain karena gempa terjadi di daratan, sehingga kecil kemungkinan gempa tersebut berpotensi tsunami. Hal ini mengisyaratkan, kecemasan warga dapat dikendalikan.

Faktor lain yang menciptakan keadaan tenang itu, bisa jadi, disebabkan juga oleh sosialisasi tentang bencana kepada masyarakat (yang mungkin) dilakukan berulang-ulang. Selebihnya adalah : masyarakat di tiga kabupaten ini, secara alamiah sudah tertempa oleh alam dan lingkungan untuk menghadapi setiap fenomena dalam keadaan tenang.

Sepanjang era Orde Baru dan Reformasi (yang melenceng menjadi era Deformasi) dan bahkan sampai entah bila, masyarakat di tiga kabupaten ini (dan beberapa kabupaten lainnya) mempunyai ‘jarak’ terhadap berbagai feniomena kehidupan sehari-hari, baik sosial, ekonomi, politik, maupun budaya.

Masyarakat terkesan, mampu menyikapi fenomena (termasuk fenomena alam) karena sejak muda ditempa oleh pandangan berbasis trilogi: aqidah, pengetahuan, dan cara hidup menghadapi bencana. Sejarah kehidupan mereka, menunjukkan setiap fenomena kehidupan yang mereka alami, bukan sesuatu yang harus disikapi melulu hanya dengan perasaan (sense), melainkan harus pula disikapi dengan harmonitas nalar (think), naluri (instink), dan indria (feel).

Bagi masyarakat Aceh, bencana adalah keniscayaan, sebagai risiko hidup di sebuah gugusan ring of fire. Secara aqidah, bencana atau musibah alam adalah takdir yang harus diterima, sebagai pelajaran agar ke depan mampu mengatasinya dengan lebih baik.

Bencana alam adalah bagian dari hukum Allah, sunnatullah. Hukum Alam, nyata, meski kadang berada di luar empirisma manusia, yang berujung takdir. Beda dengan adat – tata krama dengan alam lingkungan dan sesama manusia sebagai bagian dari akhlak kepada Allah, yang berujung nasib.

Sunnatullah adalah takdir yang tak bisa dihindari, akan halnya adat berkehidupan adalah nasib, bisa diubah. Adat meukoh reumbong, hukom meukoh pareh. Adat jeut beurangkaho takong, hukom hanjeut talanggeuh. Hukum Allah (sunnatullah, natural law) tak bisa dikelola manusia karena ketentuannya mutlak.

Alhasil, takdir tak bisa dihindari, karena segala yang dimiliki manusia adalah milik Allah. Semua harta yang kini sirna, dicari lagi, yang utama adalah beribadah kepada Allah jangan berkurang.

Abeh nyawong Tuhan tung, abeh hareuta hukom pajoh. Yoh na teuga ta ibadat, tahareukat yoh goh matee (selagi kuat, beribadahlah, cari rezeki – halal -- sebelum mati). Karenanya, apapun jua – termasuk bencana, musibah, harus disyukuri. Inilah realitas takdir hidup menjadi bagian dari gugusan kepulauan Indonesia, yang setiap tanah dan airnya, menyimpan potensi bencana, karena di sana Allah telah tebarkan kekayaan alam (terutama energi – sumberdaya mineral).

Tugas manusia adalah ikhtiar untuk tidak selalu menjadi korban bencana terus menerus. Kita berguru kepada saudara-saudara di Aceh, bagaimana menerima musibah sebagai takdir. | 

Renungan Bang Sem dari Bilik Rehat

Editor : sem haesy
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 518
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1606
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1391
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 937
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1168
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1429
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1577
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya