Mencari Pemimpin yang Melayani

| dilihat 7967

KEKUASAAN sejatinya bukan sesuatu yang istimewa. Seseorang yang berkuasa memang diberikan hak-hak privilege dan mendapatkan kehormatan. Namun, otoritas memerintah yang diamanahkan padanya bukan untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Dimensi etis kepemimpinan, mendudukkan seorang pemimpin di kursi kekuasaan agar dapat menebar kemaslahatan bagi semua orang yang dipimpinnya. Namun, realitas menunjukan tak sedikit pemimpin yang terlena oleh kekuasaan. Mereka menyalahgunakan amanah, bertindak semena-mena, dan melakukan pelanggaran moral.

Sedikit pula pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan. Mereka yang berkuasa justru lebih banyak menuntut (getting), bukan memberi (giving). Lebih banyak menikmati ketimbang melayani, dan lebih banyak mengumbar janji daripada memberi bukti. Lelaku demikian jelas bertentangan dengan makna dan hakikat kepemimpinan.

Syaikh Al Khathib Al Baghdady dalam kitabnya Tarikhu Baghdad, diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang pemimpin adalah pelayan bagi masyarakat atau orang yang dipimpinnya.”

Pemimpin dan kepemimpinan adalah keteladanan berbuat dan kesantunan dalam melayani. Dalam kajian Fiqih Politik Islam (Al Fiqh As Siyasi), aspek moral yang seharusnya menjadi dasar, sekaligus tujuan dari setiap kebijakan dan tindakan seorang pemimpin.

Tak lain tujuannya adalah kemaslahatan rakyatnya. Hal itu juga menjadi kaidah norma hukum universal yang harus menjadi rujukan bagi seorang pemimpin. Selaras dengan makna kaidah itu, Imam As Syafi’i menyatakan, tanggungjawab seorang pemimpin atas rakyatnya seperti tanggungjawab seseorang yang diberi amanat memelihara anak-anak yatim.

Kaidah tersebut sesungguhnya diturunkan dari moral kepemimpinan Rasulullah SAW. Dalam Al Quran, Surat At Taubah Ayat 128 Allah SWT berfirman, “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian sendiri, begitu berat dirasakan olehnya penderitaan kalian. Dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian dan amat mengasihi dan menyayangi orang-orang mukmin.”

Berdasarkan ayat di atas, ada tiga sikap moral kepemimpinan Rasulullah SAW yang perlu dicermati dan diteladani oleh setiap pemimpin. Pertama, azizun alaihi ma ‘anittum. Artinya, amat berat dirasakan oleh Nabi Muhammad SAW apa yang menjadi beban penderitaan umat yang dipimpinnya. Dalam istilah modern, sikap ini disebut sense of crisis, yaitu rasa peka atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.

Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Rasa empati pada gilirannya akan mendorong lahirnya sikap simpati, yaitu ketulusan memberi bantuan, baik moral maupun material, untuk meringankan penderitaan orang yang mengalami kesulitan.

Kedua, harishun `alaikum yang artinya Nabi Muhammad SAW sangat mendambakan agar umat yang dipimpinnya aman dan sentosa. Dalam istilah saat ini, sikap itu disebut sense of achievement, yaitu semangat dan perjuangan yang sungguh-sungguh agar seluruh masyarakat yang dipimpinannya dapat meraih kemajuan dan kemakmuran.

Ketiga, raufun rahim. Artinya, sikap mengasihi dan menyayangi. Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikian pula Rasulullah SAW, sosok manusi terpercaya yang sangat pengasih dan penyayang. Maka, sudah seharusnya bagi setiap muslim, terutama mereka yang dipercaya menjadi pemimpin, meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul-Nya dengan cara mencintai dan mengasihi orang lain, khususnya masyarakat yang dipimpinnya.

Karena kasih sayang merupakan sumber dari segala kebaikan. Tanpa kasih sayang, sangat sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Dalam hal ini, Imam At Turmudzi, seorang ulama besar ahli hadits, di dalam kitab kumpulan haditsnya yang berjudul Sunan At Turmudzi, ia meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:  “Kasih sayangilah orang-orang yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu.”

Sosok pemimpin impian rakyat adalah mereka yang mampu memberdayakan sikap amanah. Amanah mencakup pengertian jujur dan setia dalam memegang, menjalankan, dan menjaga tugas atau kewajiban, serta memelihara harta benda dan jiwa. Kebalikan dari sikap amanah adalah khianat (khiyanah), yakni tidak jujur, menyelewengkan kepercayaan, tugas serta kewajiban melaksanakan dan memelihara sesuatu yang diamanatkan kepadanya. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW menyatakan, salah satu ciri orang munafik adalah ketika ia diberi amanah, maka dia khianat.

Ahli tafsir terkemuka Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’an Al ’Azhim memperjelas arti amanah dengan menyatakan, amanah adalah keterjagaan (al-yaqzah) kesadaran seseorang untuk menjalankan kewajiban, tanggung jawab, dan tugas yang dipercayakan kepadanya. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki dan melaksanakan keterjagaan itu menjadi orang khianat, yang termasuk ke dalam kriteria manusia paling hina.

Manusia mendapat kehormatan dan martabat yang tinggi ketika menerima tugas memikul amanah dari Allah SWT. Ini terlihat dalam firman Allah SWT pada Surat Al Ahzab Ayat 72: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, semuanya enggan memikul amanat itu dan (karena) mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”

Firman Allah SWT itu menegaskan, manusia menjadi mulia dan bermartabat tinggi di atas makhluk-makhluk lain, tidak hanya karena dipercaya Allah untuk memikul amanah sebagai seorang pemimpin. Tetapi, tidak kurang pentingnya adalah punya potensi kuat untuk mampu menjalankan amanah tersebut sebaik-baiknya.

Seorang mujaddid (ulama pembaharu) abad modern, Muhammad Rasyid Ridha yang juga penulis kitab tafsir Al Manar, bertanya, "Mengapa kaum muslimin begitu terbelakang, sedangkan umat lain sedemikian maju?" Dia lalu menjawab, sikap moral kepemimpinan Rasulullah SAW wajib hukumnya bagi seorang pemimpin melaksanakannya. Dalam konteks ini, Ridha menekankan pentingnya mengaktualisasikan sikap dan perilaku berbasis moral seperti yang diajarkan Rasulullah SAW untuk menjadikan kaum muslimin menjadi lebih maju.  

Karena tanpa sikap moral tersebut, seorang pemimpin tidak akan bekerja untuk kepentingan rakyatnya. Namun, hanya untuk kepentingannya sendiri, keluarga, dan kelompoknya. Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita para pemimpin yang amanah, yang betul-betul memahami hakikat tugas dan kewajibannnya sebagai khaadimul ummah (pelayan masyarakat). Dan, mereka sadar jika kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT di akhirat nanti. | Anwar Rizqi

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 522
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1612
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1393
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 227
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 322
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya