Membaca Tantangan Abad 21 dan Hegemoni Pendidikan Global

| dilihat 786

Bang Sém

Pandemi Covid-19, agaknya belum membuka mata semua cendekiawan dan kalangan akademisi untuk menerima realita, bahwa globalisme telah menghadapkan kita di ujung kuldesak.

Wabah global ini secara gamblang mengisyaratkan, betapa globalisme telah menyeret manusia dalam jebakan fantasi modernitas dan post modernitas, dan menyerah kalah, lalu bersembunyi dalam kilah disrupsi global.

 Kuatnya hegemoni Barat, kian menyeret masuk sebagian terbesar bangsa-bangsa di dunia ke dalam jebakan fantasi, dan sulit untuk menyelamatkan diri.

Sebagian besar cendekian, akademisi, dan petinggi lebih banyak didorong untuk memilih jalan intuitive reason, era disrupsi, kala begitu banyak saintis Barat tak mampu dengan cepat menaklukan nanomonster yang mempermainkan dunia dengan perubahan yang tak terprediksi.

Ironisnya, di negeri ini, saintis dengan kecerdasan nasional, yang gigih menemukan cara (way) melawan wabah dan keluar dari kegamangan, ketidakpastian, keribetan, dan keterbelahan, misalnya di dunia kedokteran, tak memperoleh dukungan yang semestinya.

Hegemoni global, telah memaksa sebagian terbesar kita untuk menjadi 'katak dalam tempurung kaca.' Melihat realitas coronastrope dengan kasad mata, namun tak mampu berbuat apa-apa.

Dalam situasi demikian, tak banyak yang menyadari, masa depan bangsa ini sedang dipertaruhkan dengan peta jalan sistem pendidikan yang takluk dengan hegemoni Barat. Suatu sistem pendidikan yang hanya memproduksi kecerdasan berorientasi keterampilan (skill).

Sistem pendidikan (termasuk pendidikan tinggi) yang takluk pada hegemoni Barat, akan sulit menghadapi tantangan Abad 21 -- yang masih akan berlangsung delapan dekade lagi -- tak akan menghasilkan manusia yang mampu menjawab tantangan abad ini. Khasnya krisis pangan, air, dan energi yang disebabkan oleh pemanasan global dan kerusakan planet bumi yang tak dapat diperbarui akibat eksploitasi sumberdaya alam secara ekstrim.

Dunia, melalui Majelis Umum Persyarikatan Bangsa Bangsa (PBB) 2013, baru menyadari tantangan ini, dan pada 2015 melansir konsepsi internasional tentang SDG's (Sustainable Development Goals) - tujuan pembangunan berkelanjutan.

James Martin, pendiri Martin School -- tokoh revolusioner --  di Universitas Oxford, lewat "The Meaning of the 21st Century: A Vital Blueprint to Ensure Our Future" (2007), mengisyaratkan, proses pendidikan di dunia, setidaknya mesti menyiapkan modal; insan (human capital) untuk menjawab 16 tantangan abad ini.

Tantangan itu, yang paling mengemuka, antara lain: Menaklukkan pandemi global (biowarfare) -- yang kini terbukti dengan sebaran Covid-19; Mengendalikan migrasi global yang dinamis; Mengendalikan populasi penduduk dan menjaga keseimbangan ruang, serta daya dukung ekologis; Membalik kemiskinan; Mengatasi hegemoni pendidikan dan pengendalian artificial intelligent berkeadilan;  Penjinakan aktor non negara dengan senjata ekstrim; dan akhirnya Mencegah Perang Dunia Ketiga.

Martin mengisyaratkan berbagai hal spesifik kemajuan teknologi dan dampaknya pada perkembangan kemanusiaan. Mulai dari  technologies of sorcery, yang terbentang dari Modifikasi Genetik Manusia, Implan Otak Manusia dan Transhumanisme melalui nanoteknologi dan evolusi otomatis - melalui kecepatan sintetik komputer yang kian 'berkuasa,' hingga Singularitas - integrasi teknologi terpadu manusia dengan komputer, semacam kecerdasan tak terbayangkan dari koneksi manusia melalui web - internet on think.

Martin mengingatkan, manusia akan menuju ke zaman ironik, jahiliyah (kegelapan - kepandiran) baru, hilangnya akal budi karena ketidak-seimbangan nalar - nurani - naluri - rasa, bersamaan dengan terjadinya sejumlah bencana besar yang memusnahkan manusia.

Dunia akan bergerak menuju ke era ketika artistika - estetika - etika diabaikan, kemanusiaan dipinggirkan, dan keadilan diabaikan, akibat mengalami disorientasi tentang dimensi dan hakikat hidup, menempatkan sains dan teknologi sebagai tuhan baru.

Masyarakat manusia akan mengalami disharmoni  dan hanyut dalam ketidak-seimbangan akibat terkikisnya religiusitas dan spiritualisma.

Untuk itu, Martin mewanti-wanti sejak dini, anak-anak mesti dididik memelihara keseimbangan antara keterampilan (skill) dengan kecerdasan budaya, yang memungkinkan manusia melayari transhumanisme dan merancang peradaban baru. Suatu peradaban yang menghidupkan kembali keseimbangan hubungan manusia, alam dan Tuhan sebagai Supercreator.

Dalam konteks inilah pendidikan menjadi salah satu pondasi penting yang mengharmonisasi kecederdasan budaya manusia (yang mampu melahirkan dan mengendalikan kecerdasan buatan - super komputer), untuk mengimbangi proses penghancuran nalar, akibat konsentrasi memproduksi gadget secara tidak terkendali.

Pendidikan ( termasuk pendidikan seni budaya dan agama) dipandang sebagai cara asasi dalam menghadapi penghancuran nalar publik, karena di negara dunia ketiga dan keempat, tidak sedikit memanfaatkan perangkat gadget untuk kepentingan politik pragmatis - transaksional, yang hanya berorientasi pada 'bagaimana berkuasa,' bukan 'untuk apa berkuasa.' Termasuk, pemanfaatan perangkat gadget untuk memelihara kerakusan kapitalisme.

Terkait juga dengan pandangan Jared Diamond yang melihat korelasi langsung eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan dengan konflik manusia berkepanjangan sampai ke tingkat dunia (perang dagang), perang asimetris, dan lainnya, kemauan dan kemampuan keluar dari hegemoni global dalam pendidikan, adalah cara utama yang harus ditempuh. Khasnya oleh negara-negara berkembang.

Simon Marginson, guru besar pendidikan tinggi internasional di Institute of Education - Universitas Oxford , London - Inggris, ketika berpidato di Forum Pendidikan Tinggi Internasional 2014 yang diadakan di Departemen Bisnis, Inovasi, dan Keterampilan Inggris (20.03.2014) mengemukakan, sejak Perang Dunia II pendidikan tinggi internasional dipimpin oleh negara-negara berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat.

Hegemoni di sektor pendidikan tinggi, telah melampaui peran mereka dalam ekonomi bisnis dan keuangan, meskipun tak akan abadi. Namun, menurut Marginson, ketika kita melihat dunia pendidikan tinggi, kita dapat melihat tiga tren utama: Perluasan partisipasi pendidikan yang tiada henti di seluruh dunia; Penyebaran kapasitas pribumi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi ke banyak negara; dan Munculnya lebih banyak sistem pendidikan tinggi dengan pengaruh otonom.

Kesemua itu berbarengan dengan lanskap dunia yang sedang dibangun ulang oleh perkembangan global yang sistemik. Misalnya, perluasan dan intensifikasi komunikasi. Selain transfer data yang kompleks dan berbagi proyek, rapat lintas batas tersinkronisasi (berbiaya rendah secara real time, kini menjadi hal yang biasa. Ini memfasilitasi semua fungsi internasional lainnya.

Marginson juga mengemukakan, evolusi sistem sains satu dunia berdasarkan jurnal ilmiah berbahasa Inggris, menyerap percakapan penelitian yang sebelumnya terpisah.  Hal ini terkait dengan peningkatan pesat dalam kepenulisan penelitian lintas batas, dalam bentuk makalah jurnal dan berbagai makalah seminar.

Demikian juga halnya dengan pemeringkatan (rating) memperlihatkan perbandingan dan peringkat global, dengan mengabaikan keunggulan tempatan (local/national excellence). Pula, penyebaran segala bentuk kemitraan lintas batas, termasuk kembaran dan gelar bersama.

Kesemua itu, menurut Marginson, terjadi peningkatan mobilitas mahasiswa secara terus-menerus di setiap tingkatan dari tingkat pertama hingga doktor, difasilitasi oleh pengakuan kredit, standarisasi derajat parsial, dan mekanisme jaminan formal -- yang tak sepenuhnya menjamin -- kualitas.

Meski coronastrope telah mengubah banyak hal dan secara nyata membuktikan rapuhnya kapitalisme global, pandangan Marginson masih sangat relevan. Yakni, proses homogenisasi belum selesai - walaupun perbedaan nasional yang penting tetap ada.

Proses perkembangan dan perubahan pendidikan tinggi, menjadi paket reformasi hibrida dari model global dan budaya lokal. Ironisnya, Marginson menegaskan, pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi di seluruh dunia semakin mendapati diri mereka -- seolah-olah -- merespons perubahan peradaban dengan cara (lama) yang sama. Tak sedikit perangkat aturan informal baru yang terlalu kuat untuk diabaikan.

Membaca dengan seksama pandangan Martin, Diamond, dan Marginson, perlu melihat realitas perkembangan dunia mutakhir, dengan cerdas dan cermat. Terutama dalam melihat produktivitas lembaga pendidikan tinggi, korelasinya dengan perkembangan khalayak menengah baru, dan mobilitas siswa - mahasiswa di dunia, terutama berkaitan dengan percepatan ekonomi China, India, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Meskipun selama berlangsung coronastrope, terjadi perlambatan mobilitas.

Akankah pendidikan -- khasnya pendidikan tinggi -- Indonesia terhanyut dalam pusaran global, mengikuti alur upaya keras orientasi Barat untuk mempertahankan hegemoninya. Lantas terus alpa dan abai merespon perubahan peradaban besar dunia dengan keunggulan peradabannya sendiri?

Masihkah Indonesia menjadi bagian dari khalayak kelas menengah Asia -- yang hidup dengan US$100 atau lebih per hari - yang diperkirakan akan meningkat dari 600 juta (2010) menjadi lebih dari tiga miliar (2030). Jumlah ini akan berlipat lima kali dalam 20 tahun. Khalayak yang  menginginkan pendidikan tinggi bagi anak-anaknya untuk memburu status sosial dan status simbol, bukan untuk menguasai ilmu pengetahuan? Terlepas dari kualitas lembaga pendidikan dalam negeri.

Akankah Indonesia memilih jalan, mengambil momentum coronastrope untuk melakukan penyempurnaan sistem dan strategi pendidikan -- melalui transformasi -- yang relevan dengan rekacita menghadapi tantangan Abad 21? Menegaskan kembali prinsip dan sikap untuk menyelenggarakan pendidikan (termasuk pendidikan tinggi) sebagai ajak membentuk kepribadian manusia merdeka, berbasis kejernihan nilai budaya, spiritual, agama, sains, teknologi, dan cara manusia - bangsa bermarwah? Suatu sistem pendidikan yang sungguh berorientasi manusia merdeka yang mampu mengelola dan memimpin industri dan bisnis di negerinya sendiri?

Ketika orientasi dunia berubah dari Amerika - Eropa ke Asia - Pasifik, upaya yang ditempuh China, India, Singapura, dan Taiwan untuk melihat proporsi pengetahuan ilmiah dunia dari Asia Timur (dengan basis budaya tempatannya) menarik untuk dikaji secara mendalam. Khasnya dalam konteks mencapai kesetaraan bermarwah dengan sistem pendidikan (terutama pendidikan tinggi Barat).

Menghadapi hegemoni pendidikan Barat, salah satu cara yang mesti ditempuh, merujuk pandanga Marginson adalah mengesampingkan gagasan superioritas budaya yang masih mendarah daging di Barat.

Bangsa-bangsa di kawasan Asia Timur perlu mengulang pergerakan peradabannya ke Barat, seperti yang berlangsung sampai Abad ke 12. Justru, ketika sebagian negara-negara Barat -- melalui beragam penelitian akademik -- sedang merasa perlu menghormati dan memahami pendidikan tinggi kesetaraan Eropa dan Asia Timur secara proporsional.

Marginson melontarkan gagasan, Barat perlu mempelajari bahasa-bahasa utama Asia Timur, yang akan digunakan di universitas-universitas, untuk belajar tentang bangsa-bangsa Asia Timur, sebagaimana bangsa-bangsa Timur telah berhasil mempelajari Barat. Walaupun tak sedikit yang hanyut dengan 'gegar budaya Barat.'

Guru besar ilmu pendidikan ini, juga menyerukan, Barat perlu belajar tentang sejarah dan budaya daerah berbagai bangsa Asia Timur, sampai budaya pendidikan dalam keluarga, sebagai sesuatu yang khas dan akan semakin berpengaruh di seluruh dunia.

Dalam konteks itu, Indonesia juga perlu belajar dengan seksama untuk melihat konteks dan koneksi sistem pendidikan dengan perencanaan modal manusia (human investment plan) untuk lapangan sains dan teknologi, sosial humaniora, seni budaya, dan agama. Sekaligus meninjau ulang minda lama dan melakukan perubahan asasi orientasi pendidikan, dari product centris ke peoples centric. Hal ini diperlukan, antara lain dengan melihat realitas di negara lain, yang produktif menghasilkan doktor, tapi tak berdampak pada kualitas bangsanya.

Kata kuncinya adalah perancangan peradaban baru yang dikehendaki (neck to neck dengan Society 5.0) yang menjamin keseimbangan keterampilan dengan kecerdasan budaya. Antara lain dengan peningkatan kemampuan modal manusia Indonesia memberikan tawaran baru pengganti sistem kapitalisme global yang rapuh.

China, terbukti mampu melakukannya di berbagai aspek kehidupan. India, terbukti mampu melakukannya di bidang sains dan teknologi substantif. Singapura mampu melakukannya di bidang bisnis dan industri keuangan dan budaya urban. Taiwan mampu melakukannya di bidang trading dan industri non substantif.

Indonesia mempunyai prinsip dasar pendidikan yang mengemuka sejak awal abad 20, entrepreneurship berbasis budaya dan agama.

Celakanya, semenjak kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan, sistem pendidikan selalu berubah-ubah, karena kita terus 'meraba dalam gelap,' apa sungguh yang kita mau. Imajinasi tentang Indonesia masih tersimpan dalam kotak pandora, sehingga sampai kini kita belum tahu, akan menjadi bangsa apa dan bagaimana?

Di tengah momentum coronostrope inilah, para akademisi dan cendekiawan perlu duduk bareng merumuskan imajinasi Indonesia. |

Editor : eCatri | Sumber : berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 527
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1620
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1400
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya