Kabar dari Jakarta

Luka Hati Korban Penggusuran Rawajati

| dilihat 2148

AKARPADINEWS.COM | Ekspresi duka dan bingung menyelimuti warga pemukiman tepian rel di Rawajati - Kalibata, yang lantak digusur petugas Satpol PP – Pemerintah Kota Jakarta Selatan – Pemprov DKI Jakarta, Senin (1/9/16).

Seorang ibu berjilbab merah menggendong Rani, anak balitanya. Ibu itu berjalan mendekati puing -puing bekas rumahnya.

“Rumah Rani hilang. Nanti Rani tidur di mana?,” ujarnya pada sang anak.  

“Tidur di situ saja bu,” jawabnya polos sembari menunjuk pelataran trotoar.

Perempuan berjilbab itu dan Rani anaknya, adalah korban penggusuran yang menjadi pilihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membenahi kota. Pemukiman yang digusur itu, berbeda dengan apartemen Kalibata City dan pemukiman kaum berpunya di sekitar Mal Kalibata.

Tak satupun rumah warga warga Rawajati, Kalibata, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan yang selamat dari gusuran barisan Satpol PP Pemerintah Kota Administratif Jakarta Selatan - Provinsi DKI Jakarta, pagi itu.  Bahkan, sebuah rumah yatim piatu yayasan Ashohibul Istiqomah pun ikut rata dengan tanah. Yang tersisa, hanya Musala Al Yaqin dan pos salah satu ormas (organisasi masyarakat) lokal, yang masih berdiri kokoh di antara puing-puing bangunan di sekitarnya.

Musalah Al Yakin bercat hijau, dan pos ormas, itu seolah menjadi saksi penggusuran yang gaduh dan memakan korban tak kurang dari empat orang anggota Satpol PP terluka dan beberapa warga yang tampak cedera. Seorang warga terkena serangan jantung, dan dilarikan ke rumah sakit bersama korban lain.

Penggusuran pemukiman di Jalan Rawajati Barat, itu sejatinya telah diupayakan sejak tahun 2014, tetapi penggusuran urung terjadi. Tahun 2015, Pemerintah Kota Adminsitratif  Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Peringatan (SP) 1 kepada warga Rawajati untuk mengosongkan lahan tempat tinggal mereka yang diklaim Pemkot sebagai ruang terbuka hijau (RTH).

Warga menolak digusur untuk dan atas nama penertiban, lantaran mereka sudah tinggal di situ cukup lama, bahkan ada yang sudah lebih dari 30 tahun, seperti terlihat dari bukti kepemilikan berupa surat verponding. Selain itu, menurut warga Rawajati, seharusnya eksekusi penertiban pemukiman mereka tidak bisa dilakukan sebelum terbitnya surat perintah penertiban.

Apa boleh buat. Eksekusi penertiban pemukiman Rawajati pun berlangsung riuh dan gaduh. 500 personel Satpol PP dibantu petugas Kepolisian dan TNI, berhasil menggusur pemukiman, itu meski tidak berjalan mulus. Terutama, karena tindakan mereka mendapat perlawanan dan penolakan warga sambil mengacungkan merah putih di ujung bambu yang mereka pegang. Orasi penolakan dan perlawanan juga disampaikan Warga Rawajati.

Selepas itu, warga tak berkutik. Mereka hanya bisa pasrah menyaksikan aksi penggusuran atas pemukiman mereka, dan berusaha menyelamatkan harta benda mereka yang tersisa. Sembari mengamankan harta bendanya, warga mendirikan tenda darurat di trotoar depan bekas rumah mereka. Trotoar itulah yang menjadi tempat sementara warga, karena belum tahu lagi ke mana akan tinggal  selanjutnya. Terutama karena mereka menolak arahan Pemprov DKI Jakarta untuk pindah bermukim ke Rumah Susun Marunda di Jakarta Utara.

Lokasi Rumah Susun Marunda sangat jauh dari lokasi mereka tinggal semula. Ketika terjadi penggusuran di Kampung Akuarium – Pasar Ikan, ke Rumah Susun Marunda itu juga warga yang menjadi korban diarahkan, sampai kini hanya segelintir warga saja yang mau pindah ke situ.

Banyak alasan yang dikemukakan warga menolak penggusuran itu. Salah satunya adalah kelanjutan sekolah anak-anak mereka yang kepindahan sekolahnya memerlukan proses yang tidak bisa seketika.

Tercatat, sekitar 60 kepala keluarga telah kehilangan tempat tinggalnya. Salah satunya adalah keluarga veteran Letkol (Purn) Ilyas Karim.

Nasib Veteran

LELAKI tua berusia 88 tahun itu sudah lemas dan tak tahu harus berbuat apa pasca rumahnya terkenda gusur Satpol PP. Dia sempat pingsan ketika alat berat menghancurkan rumahnya di Jalan Rawajati No. 7, RT 09 RW 04, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran tersebut.  Di rumah itu, kakek Ilyas sudah bermukim selama 33 tahun. Lelaki tua itu, ringkih sudah. Kondisi fisiknya sudah tak sehat lagi. Apalagi, untuk dapat melihat, Ilyas harus menggunakan plester untuk menahan kelopak matanya agar tidak terpejam.

Bagi Ilyas, pemerintah saat ini sangat tidak memperhatikan nasib veteran pejuang seperti dirinya. “Perasaan saya sedih sekali. Pemerintah sudah tidak perhatikan orang seperti saya (veteran pejuang kemerdekaan). Kalau bapak kita pejuang, seharusnya kita balas jasa kepadanya. Bukan mengusir (seperti yang dialaminya),” keluhnya.

Ilyas mengaku, dirinya adalah seorang yang mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih saat Proklamasi dibacakan Bung Karno – 17 Agustus 1945 di Penggangsaan Timur Nomor 56. Dia mengaku sebagai pria bercelana pendek dalam foto sejarah peristiwa itu.

Berbagai kalangan, melalui media sosial menilai, perlakuan penggusuran yang menimpa Kakek Ilyas, sama dengan penghinaan kepada sebagai pelaku sejarah. Ada juga kalangan yang mengungkap di media sosial, yang menyebut bukan kakek Ilyas sang pengibar bendera merah putih.

Wartawan Senior Peter A. Rohi, yang lama menjadi wartawan Sinar Harapan – yang berkantor di Jalan Dewi Sartika – Cawang, tak begitu jauh dari lokasi penggusuran, itu menurunkan status berisi cerita versi lain di akun Facebook-nya. “Maaf, Kakek Iljas bukan pengerek bendera saat proklamasi,”tulis Peter.

“Sebagai wartawan senior yang selalu membuka dan membaca artikel-artikel sejarah, nama Iljas Karim tidak tercatat sebagai pengerek bendera saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Pengerek bendera adalah Latief Hendraningrat dan Soejoedi,”tulis Peter lagi.

Dalam tulisannya, Peter juga menyebut, “Beberapa tahun lalu keluarga Soejoedi juga telah menyanggah pengakuan kakek Iljas, tapi TV tetap saja mengangkat beliau sebagai pengerek bendera.”

Kendati begitu, Peter menulis, “Saya prihatin akan nasib Pak Iljas karena bagaimana pun ia rakyat dan juga seorang veteran. Tapi untuk pembenaran sejarah, saya tetap tidak toleransi pada apa pun yang menyimpang.”

Berdasarkan beberapa tulisan dan penelitian yang dilakukan Prof. Dr. H. Dadan Wildan, pria bercelana pendek dalam foto bersejarah itu bukanlah Ilyas. Dalam tulisannya yang bertajuk Membuka Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945, lelaki bercelana pendek pengibar bendera itu ialah Soehoed.

Hal senada disuarakan oleh Fadli Zon, pada tahun 2011. Dia mengemukakan bahwa Ilyas bukanlah sang pengibar bendera. Kesimpulan itu didapatkannya setelah meneliti berbagai buku sejarah dan dokumen sejarah di Museum Joang 45 dan pusat dokumentasi Sekretariat Negara.

Ketika dikonfirmasi mengenai hal itu, Ilyas berujar, dirinya tidak ambil pusing dengan kesangsian beberapa orang mengenai klaimnya itu. “Terserah saja mau bilang apa. (Lelaki bercelana pendek di foto pengibaran) itu saya, jelas itu saya! Ada data gak dia, (pasti) tak ada data. Saya ada datanya!,” tegasnya sembari menunjukkan berkas-berkas yang diklaimnya sebagai data miliknya.

Lepas dari soal itu, sebagai rakyat, Ilyas mengatakan, selama tinggal di Rawajati, setiap tahunnya rajin membayar Pajak Bumi dan Bangunan. “ Saya bayar PBB tiap tahun. Baru pada tahun 2001pembayaran PBB saya tidak diterima. Saya tidak tahu, kenapa?”ceritanya.

Kakek 30 cucu itu mengaku, dia juga memiliki Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) secara sah di alamat tinggalnya itu. “KK sejak berdiri tahun 1983 telah terdaftar di Rawajati. (Begitupula) KTP sudah terdaftar di Rawajati,” ungkapnya.

Tentang relokasi Pemprov DKI Jakarta ke rusun Marunda, mantan anggota Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi itu enggan pindah ke sana. Alasannya, untuk dapat pindah ke Marunda, dia dan warga diharuskan membayar uang sewa rusun sedangkan dari penggusuran itu tidak ada uang penggantinya.

Menurut Kakek Ilyas, proses kepindahan ke Marunda itu harus mendaftar dulu dan belum tahu kapan bisa pindah. Alasan lainnya yang diungkapkan Kakek Ilyas ialah lokasi rusun Marunda itu cukup jauh.

“Warga di sini belum ada yang pindah ke Marunda. Kalau baru mendaftar ada, sekitar lima orang,” ujarnya.

Informasi lain mengabarkan, sebenarnya Ilyas sempat mendapat hadiah sebuah apartemen di Kalibata City pada 17 Agustus 2011 dari Prijanto, Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu. Tapi, hadiah yang merupakan bentuk kepedulian Corporate Social Responsibility (CSR) Kalibata City itu tidak pernah diterimanya hingga saat ini.

Kakek Ilyas mengaku, hadiah yang sering diterimanya hanyalah uang pensiunan TNI AD dan undangan ke Istana Presiden pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. “Dulu waktu zaman SBY, tiap tahun saya diundang ke istana. Sekarang tidak pernah lagi,” ujar lelaki kelahiran 31 Desember 1927 itu.

Kakek Ilyas mengatakan pasrah atas nasibnya kini. Adapun, untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya dia akan mengungsi ke rumah anaknya di Cakung, Jakarta Timur. Begitulah nasib veteran pejuang kemerdekaan di hari tua.

Penggusuran Rawajati, lagi menambah luka warga. Dan warga yang tergusur terhadang bingung mesti menjalani nasibnya kemudian. Termasuk bingung memikirkan kelanjutan sekolah anak-anak mereka. Tak terkecuali, nasib anak-anak yatim piatu yang rumahnya tergusur.

Musala kecil dan pos ormas yang masih berdiri, tak kan sanggup menampung mereka. |  Muhammad Khairil

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1156
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Energi & Tambang