Refleksi

Lagu Soldier of Fortune Terdengar Lamat Lamat

| dilihat 2587

Catatan Sèm Haèsy

Lagu itu terdengar lagi lamat-lamat. Dikirim politisi negarawan yang awet muda, Ferry Mursidan Baldan. Sabtu malam (5/10/19) menjadi lebih bermakna. Soldier of Fortune, judulnya. Dipopulerkan oleh Deep Purple.

Pada masanya, lagu yang ditulis Ritchie Blackmore bersama David Coverdale, ini menjadi lagu dengan sentuhan heavy slow rock, yang membuat Deep Purple terasa lebih humanis di tengah karya-karyanya yang menghentak dan menyayat. Mengekspresikan sisi lain cara hidup kaum ribellion.

Lagu ini mengingatkan saya pada dua sahabat. Yakni, Afni Achmad dan Endang Caturwati.

Afni Achmad, aktivis yang kemudian menjadi politisi dan sempat menjadi anggota parlemen lewat Partai Amanat Nasional (PAN), namun sampai kini terbilang sosok aktivis yang cermat mengamati perkembangan politik Indonesia yang sedang melewati era sungsang.

Endang Caturwati - penari klasik Sunda yang kemudian tumbuh sebagai koreografer, kreator seni yang terus berinovasi, meski kemudian menempuh jalur akademik sebagai intelektual. Kini salah satu guru besar bidang budaya. Endang juga sempat menjabat Rektor/Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) - Bandung dan Direktur Kesenian - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kala dipimpin Anies Baswedan.

Lagu ini berkisah ihwal seorang lelaki yang membayangkan dirinya seperti seorang prajurit yang beruntung. Sekaligus refleksi batin seorang manusia dengan perenungan hidup yang dalam tentang perjalanan hidup dan cinta.

Seorang lelaki yang mengamsalkan dirinya sebagai seorang dirfter yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain, memainkan peran sebagai 'pander' bagi seorang jenderal.

Lelaki yang menanti waktu paling pas, untuk menyambut dan menggenggam seseorang yang dikasihinya, menyanyikan lagu sang kekasih, dan beroleh peluang dan mengajuk, "mari berbaring bersamaku dan mencintaiku.."

Lelaki yang melintas ruang dan waktu dan berkisah tentang cara hidup yang unik. "I have often told you stories about the way / I lived the life of a drifter / Waiting for the day / When I'd take your hand and sing you songs / Then maybe you would say / "Come lay with me and love me"

Seorang lelaki, yang menemukan dimensi insaniahnya dan lirih menyatakan, pada suatu masa dia hanya akan singgah di satu 'tempat,' hati sang kekasih, walaupun dia merasa semakin tua.. Dia berkomitmen akan terus menyanyikan tembang sang kekasih yang menggema di kejauhan, seolah suara dari kincir angin yang terus berputar.. dia menduga dirinya adalah prajurit yang beruntung.

"And I would surely stay / But I feel I'm growing older / And the songs that I have sung / Echo in the distance / Like the sound / Of a windmill going round / Guess I'll always be a soldier of fortune."

Lelaki itu mendefiniskan keberuntungan yang hanya mampu dipahaminya sendiri. Sudah berulang kali dia menjadi pengembara, mencari sesuatu yang baru dalam hidupnya. Dan.. di hari tua, di malam yang dingin, dia sungguh merasakan menjalani hidupnya sendiri.. tanpa sang kekasih yang selalu ada dalam imajinya.

Lelaki itu tak menyadari, pandangan matanya perlahan pudar, dan karenanya dia selalu merasa memandang sang kekasih selalu ada dan berdiri di dekatnya..

Ritchie menggunakan metafora yang 'luar biasa dalam dan impressif' dalam lirik lagu ini, metafora tentang kebutaan yang membingungkan, yang akhirnya menyadarkan diri, bahwa sang kekasih tak pernah ada bersamanya.

Simaklah syair di kuplet lagu ini, "Many times I've been a traveller / I looked for something new / In days of old when nights were cold / I wandered without you / But those days I thought my eyes had seen you standing near / Though blindness is confusing / It shows that you're not here."

Ritchie Blackmore / David Coverdale mengulang (repeated) bait yang saya tasa paling paling pas, setiap kali saya merefleksi tentang perjalanan hidup.. Bayangan hidup masa muda, kala bergerak dari Lelylaan - Amsterdam, ke Utrech, Breda, Antwerp, Leuven, Brussel, Péronne, Paris, Nantes, dan Bourdeux. Lalu melanglang ke berbagai belahan dunia.

Lalu lewat pertemuan sangat berkesan di Monas saya berjumpa dan berkarib lagi dengan Afni Achmad. Dan tak jauh dari situ, di di Aula Gedung Lemhannas - Jakarta, saya berjumpa dan berkarib lagi dengan Endang Caturwati, sang professor.

Soldier of Fortune, dikirim Ferry pada Sabtu (5/10/19) tepat di Hari Jadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ke 74 tahun. Di hari itu, Afni Achmad menghabiskan pagi di lapangan Monas tempatnya bergiat jalan sehat setiap pekan. Di hari itu juga, berlangsung Dies Natalis ke 51 Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, salah satu kampus pengabdian Prof. Endang.

Saya masih menikmati lagu yang amat berkesan ini, saat bercermin sebelum pergi mengunjungi resepsi pernikahan anak seorang teman. Saya pandangi wajah saya, lalu diam-diam bergumam: "Kau kah Aku?" Lagu itu.. terus terdengar, lamat-lamat.. dan saya membaca puisi mutakhir yang ditulis Endang Caturwati (Jum'at, 4/10/19):

Biarkan semut beriring saling menyapa, sekalipun orang tidak mau belajar bersilaturahmi / Biarkan bunga Mekar indah, mewarnai kehidupan, meski tidak semua orang menginginkannya // Biarkan air mengalir membasahi bumi, meski tidak semua orang menghargainya / Biarkan sinar mentari menerangi alam, meski tidak semua orang mau berbagi cahaya // Alam dengan keindahannya mengajarkan manusia nilai- nilai kearifan, mengapa manusia tidak peduli, bahkan ingin merusak nilai - nilai hakiki |

Editor : Web Administrator | Sumber : foto-foto dokumentasi
 
Polhukam
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 226
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 230
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 428
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
Selanjutnya
Energi & Tambang