Selamat Jalan Guru

Kang Tjetje, Kitab Kesadaran dengan Narasi Kritis

| dilihat 441

catatan duka Bang Sèm

RABU, 9 Nopember 2022 lepas tengah hari, melintas Jalan Naripan dari arah Cikapundung, menuju Stasiun Bandung, karena akan kembali ke Jakarta.

Di depan kantor Sekretariat Jendral Angkatan Muda Siliwangi (AMS) - dari simpang Braga sampai depan kantor BTPN Cikapundung, nampak berbanjar bunga papan ucapan selamat hari jadi AMS ke 56 tahun.

Seketika melintas di benak saya sejumlah nama, seperti Kang Tjetje Hidayat Padmadinata, Kang Ijan S. Kusumahdinata, Kang Gani Kusuma Subrata, Kang Tatto S Pradjamanggala, Kang Acil Bimbo, Kang Djadja Subagdja Husein, sampai Kang Bachrum, Kang Upa Sapari, dan lain-lain. Terkenang juga sejumlah sahabat, Nanang Wahid dan Bambang Budi Asmara. Termasuk Hani Charida Husein.

Pada awal akhir dekade 1970-an dan awal dekade 1980-an, saya kerap berinteraksi dengan Kang Tjetje, Kang Ijan, Kang Gani, Kang Djadja, dan Kang Upa. Sekali sekala berinteraksi dengan Kang Tatto di Lembang.

AMS berdiri 10 Nopember 1966. Dari Kang Ijan, Kang Tjetje, Kang Gani, dan Kang Djadja saya banyak mendapat informasi tentang berbagai latar belakang kelahiran organisasi bersemboyan Pakusarakan, itu.

AMS tumbuh dan berkembang dari kesadaran kolektif pemuda Jawa Barat di tengah situasi perubahan yang bergelora. Situasi dan kondisi yang dipicu dan dipacu oleh krisis kepemimpinan nasional yang memburuk penyebab terjadinya tirani demokrasi, penghianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui gerakan 30 september (G30S/PKI) 1965, tumbuhnya kesadaran untuk bahu membahu bersatu menegakkan kembali prinsip-prinsip dasar Pancasila dengan bergotong-royong. Juga menghidupkan kembali heroisme dengan memainkan peran sebagai wahana penghimpun dan pengembang potensi semesta angkatan muda mulai dari bumi Siliwangi - Tatar Sunda.

Saya tiba di Stasiun Bandung. Lepas Ashar, saya bergegas masuk stasiun dan langsung menuju gerbong kereta Parahyangan. Baru duduk beberapa menit, masuk pesan whatsapp dari Kang Memet Hamdan, berisi ajakan untuk mendo'akan Kang Tjetje yang sedang dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin dan dalam keadaan kritis.

Kereta bergerak, derak suara rodanya terdengar dalam irama yang monoton. Usai berhenti beberapa saat di Stasiun Cimahi, kereta kembali melaju. Saya terpejam sesaat. Setelah melewati terowongan Sasaksaat dan akan memasuki Purwakarta, terbangun.

Masuk pesan whatsapp dari Prof. Endang Caturwati - guru besar Seni Pertunjukan ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) Bandung dan kemudian pesan dari Kang Memet Hamdan. Kabar duka. Kang Tjetje Hidayat Padmadinata, telah berpulang. Segera saya berdo'a untuk allahyarham yang saya anggap dan perlakukan selama ini sebagai guru dan laiknya orang tua. Terutama karena wajah dan wataknya mirip dengan allahyarham ayah saya.

Antara Jalan Cipaku - Jalan Sagitarius

SELAIN belajar menulis dan ditempa sebagai jurnalis oleh Bunda Aisyah Salamun, Moh Irsyad Sudiro, H. Zaenal Bintang, Mas Subekti, Zulhasril Natsir, Masmimar Mangiang, dan Arthur John Horoni, saya banyak menimba teknik mengungkap gagasan dalam tulisan dari Allahyarham Tjetje Hidayat Padmadinata. Termasuk bagaimana menyerap, menyimpan dan meluahkan berbagai pengetahuan dari berbagai referensi. Tak terkecuali, bagaimana mengeksplorasi titik pandang (point of view) dan cara pandang (perspektif) dalam mencermati isu aktual yang berkembang.

Saya sering mengunjungi atau 'diundang' berbincang dan berdiskusi dengan Kang Tjetje di kediamannya, Jalan Cipaku - tak jauh dari Babakan Siliwangi - dan setelah itu di Jalan Sagitarius 1 - Bandung. Kediaman di Jalan Sagitarius 1 amat  menginspirasi, karena proses pembangunannya mengekspresikan tidak hanya gagasan, melainkan juga effort allahyarham.

Di rumah tersebut kami sering melanjutkan diskusi-diskusi aktual tentang politik yang menjadi salah satu aspek kebudayaan. Lebih mudah saya jangkau, karena saya dan sahabat Elong Suchlan, tinggal bersama Kang Djadja di Jalan Reog Selatan. Di rumah itu juga interaksi dengan Kang Gani kian intens.

Pada masa itu, interaksi dengan Kang Ijan juga intens. Bersama Nanang Wahid dan Bambang Budi Asmara, sering kami bertandang ke kediaman Kang Iyan. Sambil pulangnya, menyempatkan diri bertandang ke Maleer, dan berbincang tentang mitologi sampai gamelan dengan Pak Bardjo Herman, yang puteri keempatnya menjadi bintang di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia), Bandung.

Sebagai tokoh pergerakan yang kritis dan politisi senior di tingkat nasional yang banyak menyoroti berbagai dinamika politik dengan perspektif yang khas, dari Kang Tjetje saya menyerap banyak cara mengalirkan kesadaran budaya dalam keseluruhan aspek praktis politik. Khasnya dalam mencermati dan mengkritisi proses pembangunan nasional, khasnya di Jawa Barat. Termasuk tentang cara bersikap. Kang Tjetje bagi saya adalah 'kitab kesadaran dengan narasi kritis.'

Berbagai pelajaran yang saya peroleh dari allahyarham Kang Tjetje (juga Kang Ijan) menjadi bagian menarik setiap kali saya berinteraksi dengan Kang Endang Saifuddin Anshari dan Bang Muhammad Imaduddin Abdulrahim dengan berbagai pemikiran ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an. Pada masa itu saya beroleh pijakan untuk memahami polemik kecendekiaan antara Soekarno dengan A. Hassan, Moh Natsir, dan lain-lain. Termasuk pemahaman asasi tentang sosialisme Islam yang dikembangkan HOS Tjokroaminoto jauh di awal abad ke 20.

Kang Tjetje dengan berbagai referensi yang tersimpan di benaknya dan gagasan-gagasan pemikiran politiknya tentang demokrasi, nasionalisme, dan spirit budaya yang menggali sangat dalam dimensi filosofi Sunda, sejak era Niskala Wastukancana, Prabu Siliwangi, Prabu Surawisesa, dan keunggulan literasi budaya Kai Raga, serta interaksinya dengan dimensi filosofi Sunan Gunung Jati.

Dari Kang Tjetje saya terpicu untuk melihat dimensi Sunda dalam konteks peradaban, termasuk dalam memahami Tri Tangtu dalam dimensi kontemporer dengan benchmark Trias Politika Montesque. Tak terkecuali bagaimana memahami sistem tata kehidupan sosial dengan segala norma dan nilai yang tersimpan dalam Sanghyang Siksakandas Ing Karesian dan Dharma Siksakandang.

Kasuran - Kadiran - Kuwanen

PADA suatu ketika, sebelum ngalanglang bumi Walanda, Kang Tjetje bicara pada saya, "Pilih jalan menjadi intelektual yang mampu menyeimbangkan pemikiran budaya makro dan politik kenegarawanan. Jangan jadi wartawan dan budayawan ala kadar."

Kang Tjetje juga sering menginspirasi saya untuk menempa diri menjadi manusia berdaulat atas berbagai pandangan dan pemikiran dalam mengkritisi fenomena dan paradigma kehidupan politik kebangsaan yang jernih. Kang Tjetje sering bicara tentang Gemuh Pakuan tentang formula kemakmuran rakyat, yang berhasil diwujudkan Sri Baduga Sili­wangi pada masanya, karena prinsip nilai yang lebih populis, dan tidak terjebak pada Piwulang: "Tentara ada­lah benteng raja, petani adalah (sumber) makanan dari negara, dan pe­dagang adalah busana negara."

Piwulang tersebut membuka ruang terjadinya salah guna kuasa, karena penguasa dan penye­lenggara negara mendapat­kan jatah kemakmuran dari upeti beras dan kerja rodi, dan kekayaan negara diper­oleh dari perdagangan. Dimensi populis modes yang digerakkan Sri Baduga Siliwangi, mengekspresikan semboyannya yang terkenal : Pakena gawe raha­yu, pakeun heubeul jaya di buana, pakeun nan­jeur di juritan. Tegakkanlah kebajikan, agar lama berjaya di buana dan selalu mendapatkan ke­menangan. Semboyan ini, dapat dikatakan se­bagai kata kunci strategi :  bagaimana ke­setaraan dan keadilan (equity dan equality) men­­­­jadi solusi kemakmuran.

Sikap kritis dan perlawanan Kang Tjetje yang tercermin dalam berbagai artikel dan pidatonya, mengekspresikan jiwa Siliwangi-nya, yang menegaskan prinsip: penindasan dan penjajahan harus dihadapi dengan gagah berani. Termasuk bagaimana berfikir, bersikap, dan bertindak mendahulukan cara katimbang alasan. Sesuatu yang dipraktikannya dalam sikap, "taktik tak boleh mengalahkan strategi."  Bagian ini, selalu saya ingat, karena berulang kali Kang Tjetje mengingatkan tentang tindakan defensif prajurit Padjadjaran sebagai bagian dari strategi menghadapi tekanan.

Dalam konteks ini, kadang diskusi kami berkepanjangan. Khasnya, ketika bicara prinsip silih asih, silih asuh, dan silih asah. Interaksi sosial yang bermula dari landasan cinta dan orientasi tanggungjawab mendidik sesama untuk memahami hakekat demokrasi.

Ada tiga nilai asasi dari Sri Baduga Prabu Siliwangi yang sering disebut Kang Tjetje sebagai ciri manusia Sunda sebagai insan yang kompeten dan selalu siap menghadapi kompetisi di segala zaman (sinatria pilih tanding), yakni: kasuran (keperwiraaan), kadiran (keperkasaan), dan kuwanen (keberanian). Kesemuanya diimbangi dengan kecerdasan dan kearifan.

Suatu kali, saat saya kunjungi, kala itu saya memimpin operasional siaran Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Kang Tjetje memberikan berbagai kritik dan catatan atas sinetron serial Kabayan Orang Beken. Kang Tjetje memberikan beberapa gambaran watak tentang Abah, Ambu, Kabayan, Iteung dengan lingkungan sosial dan interaksinya yang lebih demokratis. Esensinya adalah tentang format performa manusia Sunda yang cerdas, terampil, sekaligus bijak. Tidak terjebak dalam bodoran.

Secara gradual saya ubah konsep kreatifnya dengan memberikan bobot pada watak dan dimensi waktu-nya. Ketika jumpa lagi, Kang Tjetje memberi apresiasi dan tetap dengan memberikan kritik atas berbagai hal yang tak terlihat dalam eksekusi kreatifnya.

8 November 2019, usai menghadiri pengukuhan Prof. Zuzy Anna di Grha Sanusi Hardjadinata - Unpad, saya jumpa Kang Tjetje dalam forum diskusi yang digelar Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda yang dipimpin mantan Rektor UNPAD, Prof. Ganjar Kurnia.

Seperti biasa, setiap kali jumpa, selalu hangat dengan sikap apresiatif yang terasa resonansinya. "Syam, mana lagi buku tentang kesundaan? Coba tulis tentang kepemimpinan Sunda di abad ke dua puluh satu," ujarnya. Lebih dalam tahun, saya hanya menulis tentang kesundaan secara parsial melalui beberapa media cetak dan digital.

Kepergian Kang Tjetje mengusik saya untuk memanfaatkan lagi waktu menulis tentang dimensi Sunda dan Kesundaan dalam keseluruhan konteks Indonesia ke depan. Selamat jalan guru yang selalu menjadi daya untuk berpikir kritis. Saya kehilangan.. |      

Editor : delanova
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1158
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 432
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 431
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 401
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya