Kala Uti Merajut Kasih Menyulam Cinta

| dilihat 704

Délanova

Merajut Kasih, Menyulam Cinta adalah tajuk buku pumpunan puisi dan syair lagu karya Endang Caturwati. Guru Besar ilmu Seni Pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), Bandung kreatif sejak belia - ketika masih menjadi siswa Konservatori Karawitan (Kokar, kini SMK 10) Bandung.

Ia memulai debutnya di kancah seni Sunda, tahun 1973, lewat dua lagu berlaras sorog dan madenda (Kanyaah Indung Bapa dan Katineung) yang dia harmonisasikan dengan laras karawitan Jawa.

Kedua lagu itu digubahnya sebagai tugas dari gurunya, maestro lagu Sunda, Nano S, yang mengapresiasi dan lalu memotivasinya untuk terus berkarya. Termasuk lagu-lagu dengan musik diatonis beragam genre : pop, jazz, bossanova, bahkan keroncong,

"Kedua lagu itu merupakan karya awal saya yang menjadi titik awal untuk melangkah membuat karya-karya lain berikutnya. Motivasi dan apresiasi Pak Nano S sangat besar bagi pengembangan bakat saya," ungkap ibu dua anak dan lima cucu yang biasa dipanggil Uti oleh para cucunya ini.

Sebagai siswa Kokar, Endang melayari laras pelog, salendro, sorog, mataraman, degung, tetapi berlabuh di laras madenda, yang mempengaruhi karya-karyanya, seperti Mojang Midang, Neundeun Haté, Dayang Sumbi, Alam éndah, dan Wijaya Kusuma.

Karya-karya kreatifnya dalam bentuk lagu Sunda memberi isyarat, Endang juga lincah menggunakan racikan nada salendro dan pelog, termasuk dengan menggunakan surupan. Termasuk memberikan aksentuasi swarantara atau interval dalam susunan nada -- secara partitural -- dari satuan gembyangan.

Endang melanjutkan studinya di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) dan mendalami dunia tari dengan tekun, yang semakin meluaskan ruang kiprah dan kreativitasnya. Dunia Tari yang dipilihnya sebagai ajang aktualisasi diri. Secara akademik, Endang memperdalam ilmu dan memperluas pengetahuan seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

ASTI yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Tinggi, menjadi tempatnya mengabdi, dalam konteks lain, seni sebagai ruang sekaligus rumah kehidupan ditempuhnya dengan mendirikan Rumah Seni & Kreatif Hapsari, seirama dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya yang menggeluti dunia arsitektur, hukum, dan teknologi informasi. Hidupnya menjadi 'berwarna.' Suaminya (allahyarham) seorang vulkanolog.

Dunia riuh dan dunia senyap menyatu. Dia melangkah di jalan yang tepat, pendidikan seni. Endang meyakini, pembelajaran seni mampu menjadi medium nilai-nilai kehidupan, yang dapat membantu perkembangan kepribadian manusia secara kontekstual.

Dunia seni dan ilmu pengetahuan seni dan budaya, menurutnya, menghidupkan kepekaan rasa, memberikan keseimbangan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan kultural.

Di situ hidup menjadi dimensional, mengharmonisasi nalar, naluri, rasa, dan dria. Mempertemukan dunia ilusi dan fantasi dengan obsesi yang jauh berada di luar empirisma, menggerakkan imajinasi sebagai suatu cita yang mampu berinteraksi dengan karsa, cipta, dan karya. Sekaligus melatih manusia untuk tidak berhenti hanya pada intuitive reason, melainkan bergerak dinamis menemukan cara hidup (way of life) mewujudkan realitas pertama kehidupan (yang nyata).

Dalam konteks ini, seni tidak hanya untuk seni itu sendiri, melainkan untuk kehidupan.

Seni mendorong penciptaan nilai (value creating), agar manusia, seperti yang dikehendaki Allah Mahakreator, yang menegaskan, "Sebaik-baiknya manusia adalah yang eksistensinya bermanfaat bagi manusia lain seluas-luasnya."

Untuk itu dia menempuh studi lanjutan tingkat magister dan doktoral sebagai cara untuk melakukan value creating. Dia melakukan sejumlah penelitian mendalam tentang dunia ronggeng, yang mengusiknya sejak mahasiswa. Penelitian yang menjadi titik berangkat perluasan wawasan seni dan korelasinya manusia. Menghidupkan pengetahuan tekstual dan konstekstual dengan realita kehidupan manusia.

Dengan bekal keilmuan dan kepemimpiunan, dia memimpin Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung -- yang kemudian menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung -- dan kemudian menerima amanah sebagai Direktur Kesenian - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Setarikan nafas, dia memusatkan perhatian pada peningkatan kualitas seni dan seniman pertunjukan tradisional, melakukan pelatihan seni tari dan karawitan pada guru-guru seni budaya, menciptakan beberapa karya tari dan lagu dalam repertoar yang khas Hapsari. Khasnya, sesuai dengan sikap dan pandangannya yang kritis, bahwa setiap pertunjukan  dan presentasi seni otentik, tumbuh dan berkembang sebagai ekspresi masyarakat pendukungnya. Karenanya, seni menjadi cara mengaktualisasi fungsi sosial. Menyeimbangkan kecerdasan, keterampilan, dan kearifan sebagai satu kesatuan utuh.

Ruh dari semua gagasan, pemikiran, keyakinan, dan sikap keseniannya adalah kasih sayang dan cinta dalam konteks yang luas, terkait dengan hubungan manusia dengan sesama, manusia dengan semesta, dan manusia dengan Tuhan.

Kala Uti merajut kasih dan menyulam cinta kepada Tuhan, Semesta dan Insan sesama, dia ibarat perahu yang melakukan pelayaran jauh dari dermaga creativity kick off melintasi samodera beserta segala anomalinya (cabaran dan pusaran perubahan) dengan innovation breakthrough untuk mencapai pantai kemanusiaan dan peradaban. Menghasilkan berbagai invensi yang menjadikan seni pertunjukan sebagai cermin kehidupan yang memperlihatkan bagaimana manusia mengelola kecerdasan dan kearifan budaya sebagai wujud manifestasi ibadah, sekaligus dedikasi kemanusiaan.

Amsal manusia sebagai 'kembara dalam kebudayaan dan peradaban,' terekam dalam pertemuan kembali dirinya dengan seorang karib - sekaligus mitra kolaboratornya pada 10 November 2019, saat lustrum pertama komunitas seni Haikuku Indonesia, di Cipaku - Bandung. Kembara kreatif dengan daya kasih dan cinta.

Karya-karya puisi, lagu, dan tariannya, baik mandiri maupun kolaborasi menegaskan dimensi kasih dan cinta - manifestasi rahman dan rahim - sebagai daya hidup kemanusiaan yang adil dan beradab.

Semua itu tercermin dalam karya-karyanya, antara lain: Diksi Cinta (1978 & 2019), Menggapai Cita dan Cinta (1992), Sayap Cinta (1992), Muhibah Cinta (2014), Setitik Debu (2015), Onak dan Duri (2016), Embun Malam (2019), Munajat Cinta (2019) - dalam bentuk puisi; Kasih Tak Bertepi, Mentari, Di Ambang Biru, Do'a dan Cinta, Hanyalah Dia, Swara Insani, Sekuntum Senyum, Ibu Bangsa, Kias Bidadari, Rahmat Cinta, Tiupan Angin, Gerak Sukma, Pualam Rindu - dalam bentuk lagu.

Dalam ekspresi tari, mewujud dalam berbagai karya, antara lain: Nyi Ronggeng, Ronggeng Blantek, Ronggeng Midang, Kembang Ligar, Cahya Sumirat, Balebat, Kelangan, Astungkara, Munajat Bumi, dan Parisukma.

Kedalaman dimensi kasih dan cinta, yang juga hadir dalam realitas kehidupannya sehari-hari sebagai sesosok insan, ibu dan nenek (uti) sering dihampiri dengan sikap salah tampa, sehingga banyak yang terhuyung (kapengpeyongan) dengan dirinya. Termasuk yang cenderung memposisikan dirinya sebagai 'primadona' yang 'harus ada' dan menjadi nilai tambah dalam peristiwa seni. Sedangkan dirinya menjalani proses kreatif dalam keikhlasan cintanya kepada Allah, Mahadaya Cinta. Potensio Endang, karena keikhlasannya, mengalir pada cucunya, Dita yang mampu mempertemukan kecerdasan dan kreativitas seni di usia belia.

Karya-karyanya dalam bentuk puisi dan syair lagu, baru saja terbit (Januari 2021), bertajuk Merajut Kasih, Menyulam Cinta. Berbagai ekspresi cintanya kerap disampaikannya dalam kuliah umum, orasi ilmiah, pergelaran, seminar dan diskusi virtual, dan lainnya. Selintas perjalanan kreatifnya yang tersirat dan tersurat dalam Merajut Kasih, Menyulam Cinta, akan disampaikannya juga dalam presentasi virtual "Kembara Nusantara" yang digelar Galeri 10 Bandung, Jum'at, 8 Januari 2021. |

Editor : Sem Haesy | Sumber : foto-foto dok hapsari n pribadi ecw
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 82
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 239
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 270
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya
Energi & Tambang