Sosok

Jejak Seni, Kreatografi Johan Jaaffar

| dilihat 2408

N. Syamsuddin Ch. HAESY

SEBUAH buku kreatografi yang bercerita tentang proses dan produk kreatif, sekaligus perjalanan karir seorang seniman Malaysia, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia + Balang Rimbun Sdn. Bhd, terbit beberapa bulan lalu.

Buku tersebut bertajuk Jejak Seni Johan Jaaffar (Dari Pentas Bangsawan ke Media Prima Berhad), ditulis oleh Tan Sri Johan Jaaffar, sosok penting dunia seni, sastra, teater, media di Malaysia. Terakhir, sampai Agustus 2016, Johan Jaaffar adalah chairman Media Prima Bhd, perusahaan industri media (meliputi percetakan, surat kabar, radio, periklanan, televisi, dan konten media) terbesar di Malaysia.

Johan Jaaffar juga seorang wartawan senior yang pernah menjabat Pemimpin Redaksi Utusan Melayu (kini Utusan Malaysia) dan Pimpinan Dewan Bahasa Pusataka Malaysia - yang sempat mengalami pasang surut karir sesuai perkembangn politik Malaysia. Yang pasti, Johan Jaaffar adalah sosok insan multitalenta, yang tak pernah kering gagasan. Pun tak pernah berhenti menulis.

Dalam buku setebal 340+xvi halaman ini, Johan Jaaffar (JJ), menyajikan dengan menarik, tidak hanya pengalaman pribadi dan interaksi kreatifnya dengan dunia seni. Melainkan jauh dari itu, ia juga mengungkap dimensi sosio budaya dan kemanusiaan di balik perkembangan seni, sastra, budaya dan media Malaysia.

Kreatografi yang berisi 76 sub judul yang terkait satu dengan lainnya ini, membuka cakrawala kita tentang perkembangan seni pertunjukan, teater, sampai tv play Malaysia secara komprehensif dan berirama.

Ibarat sebuah rumah, buku ini merupakan jendela utama untuk mengenali sisi khas perkembangan seni pertunjukan (tradisional dan modern) dan media Malaysia, langsung dari pelakunya.

“Inilah perjalanan seni saya... daripada penarik tirai kumpulan Bangsawan Bintang Timur Opera sewaktu kanak-kanak hinggalah menjadi pengerusi syarikat media yang terbesar di negara ini,”tulis JJ, membuka buku ini (Pembuka Gelanggang, xiii)

Lantas, JJ memulai dengan tulisan ringan berisi tentang sosok kampung Sungai Balang Besar di Negeri Johor, kampung kelahirannya (Bukan Sembarangan Kampung, 1)

Meski sekilas lintas, JJ berhasil menggambarkan proses asimiliasi dan akulturasi menarik antara masyarakat Jawa (berasal dari Ponorogo), masyarakat Bugis, masyarakat Melayu, dan Cina, yang kelak tampil sebagai realitas pertama kehidupan masyarakat di sana.

Nilai-nilai tradisi Jawa terasakan konteksnya, meski secara tekstual tak ditulis mendalam oleh JJ. Nilai itu memberi deskripsi tentang sinkretisme yang kuat (Kejawen, Perkahwinan dan Adat – 9; Antara Ancak dan Adat, 13).

JJ yang keturunan Bugis, diangkat anak oleh Pak Jaaffar dan Jaliah, sepasang penyadap di kebun karet, yang hanya mempunyai anak tunggal (Ismail). Pak Jaaffar juga dikenal sebagai tukang pangkas rambut di pasar. Jaliah adalah kakak ibu kandung JJ. Kelak, Ismail wafat, karena kecelakaan ketika bersilaturahmi lebaran (hari raya Idul Fithri) mengendarai Vespa milik JJ yang diperbaikinya (Membersihkan Tandas di Bangunan NSTP, 114).

JJ yang selalu tampil sederhana, meski telah menjadi bos besar (chairman Media Prima), adalah lelaki yang berani hidup meniti puncaknya.

Bukan karena dia ‘dendam terhadap kemiskinan,’ melainkan karena kemiskinan telah membentuk dirinya menjadi pembelajar keras, pekerja cerdas, dan kreator tangkas yang tak henti mengubah nasib dan menghasilkan karya kreatif terbaik (Kemiskinan Mencorakkan Saya, 111).

“Saya akan berada di universiti ini (Universiti Malaya) selama tiga tahun, maka saya harus berani mengharungnya seorang. Saya tidak akan membenarkan kemiskinan menjadi halangan untuk mencapai cita-cita saya. Lagipun saya anak kampung pertama yang masuk universiti – saya tidak boleh menghampakan kawan-kawan saya di kampung seperti Mahbob, Nan, Aro, Katiam dan lain-lain,”tulis JJ.

Interaksinya dengan seni pertunjukan dituliskan JJ dalam beberapa tulisan menarik (Menyusu di Pentas Joget – 5; Sidah, Wak Ular dan TV – 17; Kumpulan Bangsawan Datang, 21; Menjadi Penarik Tirai Bangsawan, 25; Wayang Lampu “Minyak Gas” – 33; dan Sandiwara Kampung Ganti Bangsawan – 53).

Pada tulisan-tulisan itu JJ menempatkan dirinya di tengah dinamika seni pertunjukan Tonil Bangsawan yang di masa itu (dekade 60-an), merupakan wahana hiburan menarik bagi rakyat – masyarakat awam.

Kemanusiaan yang Menggugah

BERBAGAI sisi kemanusiaan dituliskan JJ dengan menarik, terutama tentang Sidah, perempuan belia yang putus sekolah karena harus bercengkerama dengan ular dalam pertunjukan funfair keliling kampung.

JJ juga ‘menyeret’ pembaca bukunya masuk ke dalam realitas kedua kehidupan primadona cantik Tonil Bangsawan Bintang Timur Opera, yang buta huruf, Rohani Bakar.

Pembaca bisa merasakan relasi JJ dengan Rohani Bakar, karena perannya sebagai pembaca dan penulis surat menyurat dari dan untuk penggemarnya yang penuh rayuan, tak terkecuali puisi. Termasuk bagaimana JJ dan Rohani mesti berbagi bingkisan: kue disantap JJ dan bingkisan lain untuk Rohani (Rohani B, Seri Panggung Jelita, 37; Usman Awang, Rohani B, Majid; 41).

Salah seorang penggemar Rohani B yang kerap mengirimkan puisi adalah Usman Awang – seorang sastrawan, yang kelak karib dengan JJ di Dewan Bahasa Pustaka. Dan Majid adalah seorang polisi di Johor, yang juga JJ kenal.

Kreatografi ini sedemikian dramatis dan romantis, sekaligus menggambarkan humanity side JJ, ketika dia melukiskan sentuhan pribadinya dengan produk seni pertunjukan modern, khasnya teater dan film (Bintang Timur Opera Gulung Tikar,45; Di Atas Runtuhan Bangsawan, 49; Seksanya Mempersembahkan Sandiwara, 61; Belajar di “Sekolah Orang Putih,” 65; Mengenal Shakeaspeare di Sekolah, 69; Panggung Kandar Penuh Peristiwa, 73; Cinema Paradiso Saya di Semerah, 77, Berdrama di Sekolah, 89; “Kalau Dah Gila Wayang,” 93; Pengalaman di Panggung Wayang Cina, 101; Berteater di Universiti Malaya, 121; dan Mendampingi Anak Alam, 137 ).

Korelasi proses transformasi kreatif (termasuk perkembangan karir) JJ yang dramatik dan melodius terungkap dalam beberapa tulisannya yang menggugah sekaligus mengharukan dan mengagumkan. Kesemua itu diungkap tanpa beban dalam tulisannya:  Universiti Malaya yang Hangat, 105; Menjadi “Ku Xiao Zi,” 117; Melahirkan “Kotaku Oh Kotaku!,” 125; Menanti Lahirnya “Salina”di Pentas,  249; Apabila “Asy Syura” Meletup, 285; dan  Menjadi Penulis Skrip Paling Mahal, 305.

Selebihnya, buku ini bagai potret diri JJ yang menukilkan proses interaksi dan transformasi kreatifnya dengan berbagai karya film, termasuk karyanya sendiri. Tak kurang dari 200 artikel yang menarik dibaca dan boleh menjadi pelajaran bagi para kreator seni teater dan film.

JJ menutup buku kreatografinya ini dengan pandangan visioner tentang kreativitas dan inovasi yang berkaitan dengan seni dan industri kreatif (Seni, Kreativiti dan Industri Masa Depan, 325).

Saya meyakini, buku ini merupakan Buku Kreatografi seniman, wartawan dan budayawan pertama di Malaysia. Menarik dibaca, banyak manfaat, dan menggugah. JJ menulis buku ini dengan keindahan bahasa.

JJ berhasil menghadirkan retorika khas dirinya, yang seolah memadukan gaya retorika Cicero dan Aristopanes dalam setiap artikel di dalamnya. Menghentak, merasuk, dan membawa pembacanya ikut berjalan bersamanya meniti proses transformasi kreatif yang sudah dilaluinya. | 

Editor : sem haesy
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1505
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya