Refleksi tentang Bantenois

Jalak Rarawe versus Saung Patok

| dilihat 799

Sem Haesy

Salah satu hal paling saya tunggu ketika tiba waktu libur sekolah di masa kanak-kanak, adalah diajak orang tua bertandang ke beberapa famili dan sahabatnya ke Batu Qur'an (lalu lanjut ke Mandalawangi dan Menes) di Pandeglang. Terutama, karena pasti berkunjung ke kediaman Mama' Ujang dan Wak Enok, istrinya.

Karena berjenggot, saya memanggil Mama' Ujang saya selalu menyebutnya Abah Jenggot.  Mama' adalah panggilan lain untuk seorang agamawan. Ketika dewasa, saya lebih melihatnya sebagai seorang spiritualis, sufi, yang mendalami ilmu tasawwuf. Dari Abah Jenggot inilah pertama kali saya beroleh kisah-kisah sufi dan menarik minat saya untuk belajar hal terkait tasawwuf dan falsafah.

Setiap kali berlibur selama beberapa hari di kediamannya atau ketika keduanya datang ke rumah dan menginap, saya bersaudara, selesai menderas Al Qur'an mendapat tambahan ilmu -- yang kemudian saya kenal dengan istilah mahfudzat, pengetahuan yang terkait dengan makna di balik kata bermakna atau petatah petitih. Abah juga seringkali bercerita tentang Banten.

Salah satu kisah atau cerita yang saya suka adalah ihwal friksi ideologis antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun yang tak lain adalah pamannya sendiri. Dua tokoh berbeda diametral dalam hal keyakinan. Setting ceritanya adalah Wahanten Girang atau Banten Girang (kini berada di wilayah Kota Serang). Ketika itu, Maulana Hasanuddin masih dipanggil dengan nama lahirnya, Seda Kingkin -- ketika beranjak dewasa menyandang sebutan Pangeran Sabakingkin.

Penguasa Banten Girang adalah Prabu Surosowan, kakek Sabakingkin. Suatu ketika, sang kakek sakit. Upaya pengobatan sudah dilakukan dengan aneka herbalium dari Gunung Karang, Gunung Pulosari, Gunung Aseupan, bahkan kaki Gunung Halimun diolah dan dibawa para tabib yang mengobatinya. Tapi, Prabu Surosowan tak juga sembuh.

Akhirnya, Prabu Surosowan meminta kepada istrinya untuk menghentikan seluruh proses pengobatan. Lalu,. mangkat. Sebelum nyawa berpisah dari raga, Prabu berwasiat kepada istrinya. Dua hal yang diwasiatkan.

Pertama, rawat dan jaga baik anak-anak; Kedua, sampaikan kepada seluruh anak keturunan dan rakyat untuk melestarikan ritual peribadatan sesuai dengan keyakinan - agama Sunda yang hidup dan berkembang dari akar budaya dan tradisi kerajaan Sunda Pajajaran. Meski Prabu sudah tak bisa mendengar lagi, istrinya mengucapkan janji setia dan berkomitmen melaksanakan wasiat itu.

Setelah masa berkabung usai, kepemimpinan di Banten Girang dilanjutkan oleh puteranya, Arya Surajaya yang dikenal dengan panggilan Prabu Pucuk Umun, sesuai dengan persetujuan Raja Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Surawisesa. Setelah itu, Prabu Pucuk Umun diberitahu wasiat mendiang ayahnya oleh ibunya.

Setelah mendengar wasiat itu dari ibunya, Prabu Pucuk Umun menyatakan sumpah dan janji akan melaksanakan wasiat itu dengan bersungguh-sungguh, penuh seluruh. Sumpah itu diingat oleh ibunya yang juga selalu mengingatkan dirinya untuk tidak meninggalkan sedikitpun tradisi dan agama yang sudah mereka yakini secara turun temurun.

Prabu juga meyakini, wasiat itu disampaikan ayahnya, terkait langsung dengan sikap Pangeran Cakrabuwana yang sudah meninggalkan agama Sunda dan memeluk, bahkan mendalami serta menjadi pemuka agama Islam. Prabu Pucuk Umun juga menduga, bahwa perselisihan antara Sunan Gunung Jati selama lima tahun dengan Prabu Surawisesa, Raja Pakuan Pajajaran karena persoalan keyakinan agama mereka.

Prabu Pucuk Umum tidak mengkonfirmasi, sehingga tak mendapat informasi yang cukup, bahwa perselisihan itu, sesungguhnya lebih disebabkan oleh ketidaksukaan Prabu Surawisesa atas sikap kritis Sunan Gunung Jati yang selalu mengingatkan dengan berbagai cara baik untuk konsisten menjalankan wasiat Prabu Siliwangi, bukan hanya memelihara keyakinan agama Sunda. Sekurang-kurangnya menjalankan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan untuk tidak menjadikan tahta hanya sebagai alat kekuasaan.

Sunan Gunung Jati dan Pangeran Sabakingkin terlambat mendapat kabar mangkatnya Prabu Surasowan. Terutama, karena selama beberapa waktu, Pangeran Sabakingkin sedang berada di Cirebon, sedang mendalami ajaran Islam sebagai cara hidup berkehidupan, dan sering menemani ayahnya berinteraksi dan berkomunikasi dengan Sultan Demak dan para wali, terutama Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Drajat, Sunan Gresik, dan Sunan Ampel.

Pendalaman agama Islam menjadi kepedulian dan prioritas utama Pangeran Sabakingkin yang dalam gerakan dakwahnya selalu dipanggil dengan Maulana Hasanuddin. Murid-muridnya tersebar luas di seantero wilayah Banten Girang. Gerakan dakwah itu dilakukannya untuk melaksanakan wasiat Sunan Gunung Jati yang sangat peduli terhadap kehidupan rakyat yang hidup dalam kemiskinan.

Maulana Hasanuddin pulang ke Banten, dan terus melanjutkan misi dakwah - syiar islamiyahnya, sambil menyatakan, bila suatu saat perlu menyegarkan ilmunya, dia akan menjumpai ayahnya di Cirebon. Misi dakwah dilakukannya ke berbagai wilayah di Banten, antara lain ke kawasan Gunung Lor, Gunung Pulosari, Gunung Karang bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Beberapa dokumen mencatat, misi dakwah itu juga dilakukan sampai ke Bayah, Muara Binuangeun, bahkan ke Sajira - Lebak.

Ketika sedang gencar menjalankan misi dakwah islamiyah itulah, ia didatangi utusan Prabu Pucuk Umun, untuk segera datang menemuinya di Sasaka Domas. Maulana Hasanuddin menyambut baik 'undangan' itu. Singkat cerita, keduanya bertemu. Prabu Pucuk Umun menegurnya, sekaligus menuding Maulana Hasanuddin telah merusak keyakinan rakyat dan mengganggu situasi kehidupan masyarakat Banten Girang  yang semula aman dan damai menjadi terbelah. Prabu Pucuk Umun meminta Maulana Hasanuddin mengikuti perintahnya yang adalah perintah Prabu Surosowan, kakeknya sendiri. |

Artikel Terkait : Ajen Wewesen Ciri Pribadi Tangguh

Editor : eCatri | Sumber : berbagai sumber
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 201
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 376
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 222
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 431
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 430
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 400
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya