Istiqomah Menjaga Kesucian

| dilihat 5129

GEMA takbir, tahlil, dan tahmid berkumandang. Puja pujian kepada Allah SWT itu bergema, menyambut Idul Fitri. Umat Islam di segala penjuru negeri bersuka cita. Merayakan kemenangan atas hawa nafsu dengan berpuasa di bulan suci Ramadhan.

Namun, Idul Fitri sejatinya tidak sekadar dirayakan secara seremonial. Diperlukan ikhtiar secara berkelanjutan untuk menjaga kesucian dengan pikiran, sikap, dan perilaku sebagai seorang muslim sejati yang dipupuk selama Ramadhan. Karena, seorang hamba dituntut untuk selalu istiqamah meningkatkan kesucian lahir batin dalam kehidupannya.

Pada dasarnya, seorang muslim harus menjadikan bulan suci Ramadhan sebagai momentum pembelajaran untuk membentuk pribadi muslim yang senantiasa suci lahir batinnya dan menjadi pemenang dalam melawan hawa nafsunya.

Istiqamah merupakan totalitas ketaatan kepada Allah SWT secara lahir dan batin, serta terus menerus menempuh jalan kehidupan dalam beragama secara baik dan benar sesuai Al Qur’an dan Al Hadits. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku dalam agama Islam ini, ucapan yang aku tidak perlu lagi bertanya tentang hal itu kepada orang lain selain padamu.” Kemudian, Rasulullah bersabda, "Katakanlah, Aku beriman kepada Allah SWT, kemudian istiqamah-lah dalam ucapan itu.”

Istiqamah dalam kesucian beribadah menjadi kunci penghubung seorang hamba kepada Allah SWT. Hubungan itu akan terjalin erat jika seorang hamba menjalankan perintah Allah SWT, yang salah satunya dengan berpuasa di bulan Ramadhan, melawan segala bentuk hawa nafsu dan menahan diri dari berbagai godaan serta bisikan setan yang dapat merusak nilai kesucian lahir dan batin serta menghancurkan derajat kemanusiaan.

Ibadah puasa Ramadhan merupakan pembelajaran bagi seorang hamba dalam memaknai hidup. Selama Ramadhan, setiap muslim dituntut menunda kenikmatan sesaat demi tujuan kenikmatan yang lebih besar di masa mendatang.

Karenanya, Ramadhan seyogyanya tidak diakhiri dengan eforia setelah sebulan berpuasa. Namun, perayaan Idul Fitri diharapkan dapat memperkuat ketetapan hati untuk senantiasa mempertahankan kesucian lahir dan batin dengan cara meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW bersabda, “Bahwa Idul Fitri itu bukan dengan pakaian yang serba baru, tetapi bagaimana ketakwaan dan keimanan itu bertambah.” Hadist itu menekankan bahwa setelah Ramadhan, harus ada peningkatan kesalehan individu maupun kesalehan sosial.

Dengan peningkatan kadar spritualitas yang baik setelah menempuh pembelajaran selama Ramadhan, maka kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial seorang muslim harus meningkat dan menjadi lebih baik. Bulan suci Ramadhan pada dasarnya tidak saja mengajarkan untuk menumbuhkan jiwa dan spritualitas seseorang muslim. Ramadhan sebagai taman sekolah juga mendidik muslim untuk memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Ramadhan tidak hanya melahirkan individu yang saleh secara pribadi, tetapi juga melahirkan individu yang peka terhadap kondisi sosial.

Istiqamah dalam menjaga dan meningkatkan kesucian lahir batin pada hakikatnya diaktualisasikan dengan menunaikan amal kebaikan dan kebajikan, kapan pun dan di mana pun. Seorang Muslim yang istiqamah dalam kesucian lahir batin adalah manusia pilihan Allah SWT yang berhak mendapat predikat taqwa. Hal itu ditegaskan Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 183, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.”

Puasa Ramadhan dan Idul Fitri merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan. Bagi muslim dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial, Idul Fitri adalah momen yang tepat untuk bersilaturrahmi dengan keluarga, tetangga, dan kerabat, untuk saling memaafkan. Hal itu penting karena berpuasa selama Ramadhan dengan memperbanyak meminta ampun kepada Allah SWT, tidak akan sempurna kalau tidak diteruskan dengan saling memaafkan sesama manusia, khususnya dengan keluarga, tetangga, dan kerabat. Maka, setelah shalat Idul Fitri, umat Islam dianjurkan untuk saling silaturrahmi, minta maaf, dimulai dari permohonan maaf dan do’a dari anak kepada orang tua, dilanjutkan pada sanak saudara, tetangga, dan kerabat.

Islam menekankan bahwa berbuat baik kepada Allah SWT saja tidak cukup jika tidak diikuti dengan berbuat baik dengan sesama manusia. Inilah pentingnya silaturrahmi yang juga menjadi kunci terbukanya rahmat dan pertolongan dari Allah SWT.

Dalam hadits Muttafaqun ‘Alaih, Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak ada satu kebaikan pun yang pahalanya lebih cepat diperoleh daripada silaturrahmi, dan tidak ada satu dosa pun yang azabnya lebih cepat diperoleh di dunia, di samping akan diperoleh di akhirat, melebihi kedzaliman dan memutuskan tali silaturrahmi.”

Hadits lain juga berbunyi, “Barangsiapa yang suka di lapangkan rezekinya dan dilamakan bekas telapak kakinya (dipanjangkan umurnya), hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi.”

Karenanya, segeralah meminta maaf kepada mereka, khususnya orang tua, saudara, kerabat, dan sahabat. Namun, banyak orang yang salah persepsi bila orang tua sudah tiada, maka daya magnet silaturrahmi mereka melemah. Padahal, menyambung tali silaturrahmi adalah bentuk kebaktian yang paling tinggi nilainya di sisi Allah SWT. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, “Bentuk kebaktian kepada orang tua yang paling tinggi yaitu menyambung hubungan tali silaturrahmi dengan orang yang dicintai bapaknya, setelah bapaknya meninggal dunia.”

Berkunjung ke rumah orang tua, meski sudah meninggal dunia adalah wujud silaturrahmi dengan melihat dan menilai sejarah peninggalan orang tua yang telah berjuang dalam mendidik dan telah membesarkan anaknya. Kemudian, diteruskan dengan berkunjung silaturrahmi kepada orang-orang yang dahulu dekat dengan orang tua untuk mendengar cerita tentang kebaikan orang tua yang sudah tiada. Dengan mengenang kebaikan orang tua itu, maka mengalirlah do’a kepada Allah SWT agar mengampuni dosa-dosa orang tua yang telah tiada. Do’a anak saleh untuk orang tuanya yang telah meninggal dunia akan sangat mudah diterima oleh Allah SWT.

Ramadhan tahun ini telah pergi. Dan, tidak ada jaminan apakah ibadah puasa Ramadhan tahun ini diterima oleh Allah SWT. Tidak ada jaminan pula apakah Allah SWT mempertemukan kembali seorang hamba dengan bulan suci Ramadhan yang akan datang. Semua itu sepenuhnya hak Allah SWT.

Karenanya, mari bermuhasabah diri di hari yang suci dengan berharap dapat berjumpa kembali dengan bulan suci Ramadhan yang akan datang. Semoga pula kita dapat kembali kepada kesucian lahir batin dan menjadi seorang pemenang yang mampu menjinakkan hawa nafsu dengan penuh istiqamah. “Taqabbalallaahu minnaa wa minkum shiyaamanaa wa shiyaamakum, ja’alanallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidiin wal faaidziin.”

Semoga Allah SWT menerima amal ibadah puasa Ramadhan, semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada kesucian lahir batin dan menang melawan hawa nafsu. Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

Anwar Rizqi

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya