Iran-Saudi Saling Tuding Soal Haji

| dilihat 2393

AKARPADINEWS.COM | HUBUNGAN Iran dan Arab Saudi memburuk. Sampai-sampai, kedua negara itu saling tuding soal penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Minggu (28/5), Pemerintah Iran tidak mengirimkan warganya menunaikan ibadah haji. Alasannya, otoritas Saudi gagal menjamin keselamatan jamaah haji.

Tahun lalu, Saudi selaku pengawas penyelenggaraan haji menuai kecaman lantaran terjadinya insiden crane milik pemborong Ben Ladin di Mina, tepatnya di sekitar jalan menuju lokasi jamarat (melontar iblis) di luar Kota Mekkah.

Sekitar lebih dari 300 jamaah haji meninggal dunia akibat insiden itu. Insiden itu paling banyak merebut nyawa jamaah haji asal Iran. Sebanyak 122 meninggal dunia dan 60 orang mengalami luka. Total jamaah yang menjadi korban mencapai 860 orang, termasuk yang luka ringan. Selain Iran, korban meninggal dunia juga berasal dari Mesir, India, Turki, Indonesia, dan Kenya.

Jamaah menuju Mina untuk menuntaskan rukun haji setelah menjalankan wukuf di Arafah. Saat berada di Musdhalifah untuk bermalam, jamaah mengumpulkan kerikil yang dipergunakan saat jamarat, baik jamarat aqaba, ula, maupun wustha.

Melontar jamarat adalah episode akhir dari seluruh proses ritual haji, sebelum kembali ke Masjid al-Haram untuk melakukan Tawaf Wada. Pemerintah Saudi sebenarnya telah mengatur jadwal melontar jamarat. Tapi, tak semua jamaah haji bersedia mengikutinya. Tak sedikit jamaah yang mengambil inisiatif sendiri untuk mencapai kesempurnaan ibadah haji.

Terkait penyelenggaraan haji tahun ini, Iran menuding Saudi melakukan sabotase. "Karena sabotase, dengan ini, mengumumkan, jamaah haji Iran menolak menjalankan haji tahun ini, dan itu menjadi tanggungjawab Pemerintah Saudi," demikian pernyataan Organisasi Haji Iran yang disiarkan media pemerintah Iran.

Menteri Kebudayaan Iran, Ali Jannati juga menegaskan, jaminan keselamatan jamaah haji sangat penting menyusul kematian ratusan jamaah asal Iran tahun lalu. Dia juga menganggap, Pemerintah Saudi yang melarang jamaah haji Iran menjalankan ibadah haji. "Pemerintah Arab Saudi sengaja mencegah jamaah haji Iran menyelenggarakan haji tahun ini," katanya kepada televisi di Iran.

Presiden Iran Hassan Rouhani sebelumnya menyebut insiden terjadi akibat kebodohan otoritas Saudi dalam mengorganisir penyelenggaraan haji. Pemerintah Iran menanti jawaban dari Pemerintah Saudi soal insiden itu. Namun, hingga kini laporan seputar insiden itu belum disampaikan. Insiden itu juga memicu kemarahan warga Iran. Ribuan demonstran di Teheran dan kota-kota lainnya di Iran, mencela keluarga al-Saud. Kementerian Luar Negeri Iran juga memanggil utusan Saudi untuk mendengar protes.

Dari pengakuan para jamaah, beberapa petugas Saudi justru memperburuk keadaan, menginjak-injak korban dan menolak untuk membuka gerbang agar jamaah merasa lega dan terhindar dari insiden. Ketidakmampuan Saudi dalam mengorganisir penyelenggaraan haji itu yang kemudian memunculkan desakan agar Saudi berbagi tanggung jawab dengan melibatkan beberapa negara dalam penyelenggaraan haji. Namun, Saudi bergeming.

Saudi justru menyalahkan Pemerintah Iran. "Arab Saudi tidak melarang orang melakukan kewajiban agama (ibadah haji)," kata Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir. Saudi justru menuduh Pemerintah Iran yang merampas hak warganya dalam menjalankan ibadah haji dengan cara menolak menandatangani kesepakatan yang dicapai setelah pembicaraan mengenai haji dengan Saudi. 

"Iran menolak menandatangani memorandum dan menuntut hak berdemonstrasi yang akan menciptakan kekacauan penyelengaraan haji. Itu tidak dapat diterima," tegasnya.

Jubeir menegaskan, Arab Saudi setiap tahun menandatangani nota kesepahaman dengan lebih dari 70 negara untuk menjamin keamanan dan keselamatan jamaah haji. Namun, Iran menolak menandatangani nota kesepahaman, meski Riyadh sepakat memfasilitasi pengaturan perjalanan jemaah Iran. "Sangat negatif jika niat Iran adalah mencari-cari alasan untuk menghalangi jemaahnya melakukan ibadah haji," katanya.

Iran sebelumnya memboikot penyelenggaraan haji setelah 402 jamaah, sebagian besar warga Iran, tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan Saudi saat demonstrasi anti-AS dan anti-Israel di Mekkah tahun 1987 lalu.

Perundingan antara delegasi Saudi dan Iran terkait pengaturan jamaah haji awalnya diharapkan berjalan positif. Kedua delegasi membahas pengaturan dan pelayaan bagi jamaah haji haji. Kesepakatan pun telah dicapai di antaranya terkait penggunaan visa elektronik yang dapat dicetak oleh jamaah haji Iran karena kedutaan Saudi di Iran masih ditutup.

Kebijakan Iran yang tidak mengirim warganya berhaji tidak terlepas dari memburuknya hubungan diplomatik dengan Saudi. Hubungan kedua negara meregang lantaran dipicu eksekusi mati ulama Syiah ternama, Sheikh Nimr al-Nimr, pada 2 Januari lalu. Warga Iran marah atas eksekusi itu, dan menggelar demonstrasi, membakar kantor Kedutaan dan Konsulat Saudi di Taheran.

Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei menyatakan, "Tuhan akan membalas pemimpin Saudi." Di Irak, dua masjid Muslim Sunni dihancurkan. Dua orang dilaporkan tewas dalam insiden tersebut. Eksekusi terhadap ulama vokal yang kerap menyerukan penggulingan rezim Kerajaan Saudi itu juga memicu kecaman internasional.  

Keputusan Pemerintah Saudi mengeksekusi Nimr juga dikhawatirkan memperluas ekskalasi konflik sektarian antara Sunni-Syiah di Timur Tengah. Kemarahan Iran itu disambut Saudi dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, pada 3 Januari lalu. Beberapa sekutu Saudi seperti Bahrain dan Sudan juga melakukan langkah serupa.

Sementara Uni Emirat Arab, tidak memutuskan hubungan diplomatik, namun menurunkan status hubungan diplomatiknya dengan Iran. Pemimpin negara-negara Arab pun kecewa lantaran Amerika Serikat (AS) dan lima negara besar dunia lainnya, mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran. Mereka khawatir, kesepakatan nuklir itu akan menjadikan Iran, rival terkuatnya di kawasan Timur Tengah, menggusur dominasinya. Akar konflik Saudi-Iran tidak terlepas dari rivalitas antara penguasa monarki konservatif Sunni Arab Saudi dan republik revolusioner Iran yang dipimpin Syiah.

Saudi-Iran diketahui mendukung faksi-faksi di Irak, Suriah, Yaman, Lebanon, dan Bahrain sejak Amerika Serikat menginvasi Irak pada tahun 2003. Kekuatan Syiah berpatron ke Iran, sementara Saudi mengendalikan Sunni.

Di Suriah, lebih dari 250.000 tewas akibat pemberontakan melawan rezim Bashar al-Assad sejak Maret 2011 lalu. Perang Suriah juga memicu krisis pengungsi yang paling parah sejak Perang Dunia II. Hampir 4,4 juta warga Suriah terpaksa mencari perlindungan di negara-negara tetangga.

Kekuataan Syiah Iran diketahui berada dibelakang rezim Assad. Dukungan itu tidak terlepas dari peran ayah Bashar, Haffez al-Assad yang berpihak kepada Iran saat perang dengan Irak (1980-1988). Sementara Saudi mendukung oposisi untuk menjatuhkan rezim Assad. Di Irak, Saudi mendukung pemberontak Sunni. Sementara Iran mendukung Pemerintah Syiah yang baru berkuasa.

Akhir Maret lalu, Saudi juga melancarkan perang melawan pemberontak Houthi dan sekutunya di Yaman. Houthi, merupakan sekte Syiah yang disebut Zaydis. Perang yang berlarut-larut itu menyebabkan 2.600 warga sipil tewas.

Karenanya, perang di Suriah dan Yaman, tidak bisa dihentikan tanpa kesepakatan antara Iran dan Saudi. Kekerasan di Suriah dan Yaman pun diperkirakan akan lebih buruk seiring memanasnya perseteruan Iran-Saudi.

Raja Abdul Aziz Al-Saud mengklaim, kepemimpinannya atas umat Muslim. Dinasti Saud dan ulama Wahabi ultrakonservatif, mewajibkan umat Muslim taat kepada pemimpinnya selama menerapkan hukum Islam. Pandangan ini tidak mentolerir perbedaan pendapat. Saud juga ingin mengasosiasikan Islam dengan identitas Arab.

Paham Sunni mendominasi hingga merengkuh 90 persen populasi muslim dunia, terutama karena pergerakan Wahabi yang berpusat di Arab Saudi. Namun, Syiah unjuk kekuatan. Klaim Dinasti Saud itu ditentang, terutama sejak Revolusi Islam pada tahun 1979. Ayatollah Khomeini, menganggap monarki Saudi, bid'ah. Sejak itu, hubungan diplomatik kedua negara terputus selama empat tahun.

Dalam perkembangannya, Saudi mengkhawatirkan perkembangan Syiah. Selama satu dekade terakhir, ulama Syiah ditangkap. Nirm salah satunya, divonis mati pada Oktober 2014 lalu, meski telah membantah tuduhan akan menggulingkan kekuasaan Kerajaan Saudi. Para pendukungnya menyatakan, Nimr hanya menganjurkan demonstrasi damai dan menghindari bentrok dengan pemerintah. Namun, dia tetap dieksekusi mati bersama 46 terpidana terorisme lainnya.

Sejak invasi AS ke Irak, Saudi, Mesir, dan negara-negara Teluk lainnya, mengkhawatirkan pertumbuhan Iran dengan ambisi nuklirnya. Setelah invasi Irak, para pemimpin Sunni cenderung memilih diam karena khawatir dengan Iran.

Mereka juga enggan terlalu dekat dengan Goerge Bush, Presiden AS kala itu yang tidak populer. Tapi, mereka ingin pihak lain memihak padanya untuk mengatasi masalah Iran. Di tahun 2007, mereka berteriak-teriak agar AS dan Israel menyerang instalasi nuklir Iran, tidak peduli konsekuensinya.

Wikileaks pernah merilis adanya serangkaian pertemuan pada April 2008 lalu antara Raja Abdullah dengan dan pejabat tinggi AS saat berada di Riyadh untuk mendiskusikan kebijakan Amerika Serikat di Irak. Para pemimpin Arab diketahui marah atas meningkatnya pengaruh Iran di Irak.

Kemudian, Duta Besar Saudi untuk AS, Adel al-Jubeir, yang sekarang menjadi Menteri Luar Negeri, mendesak AS untuk menyerang Iran dan mengakhiri program senjata nuklirnya.

Saudi pun kini terkesan dingin terhadap AS. Itu terlihat saat Presiden AS Barack Obama mengunjungi Arab Saudi. Obama tidak disambut Raja Saudi, Salman bin Abdulaziz. 

Obama disambut Gubernur Riyadh, Pangeran Faisal bin Bandar Al Saud. Pertemuan itu pun tidak disiarkan secara langsung oleh televisi Pemerintah Saudi, meski Obama melakukan foto bersama dengn Raja Salman di Istana Erga. 

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : AFP/Reuters/BBC
 
Energi & Tambang
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 241
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 340
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya