Hati Bungah Melihat Betawi Mesra

| dilihat 2375

Catatan Bang Sém

Terus terang, hati saya bungah. Senang tak alang kepalang menyaksikan para tetua Betawi: H. Eddy M. Nalapraya, H. M. Nuri Thahir, H. Nachrowi Ramli, H. Abdul Syukur, H. Effendy Yusuf, H. Rusdi Saleh dan beberapa lainnya mesra dalam silaturrahim yang santai di Al Jazeera Signature, Selasa - 9 Juli 2019.

Silaturrahim yang diprakarsai H. Nachrowi Ramli, itu penuh makna bagi saya dan beberapa teman yang hadir, sebagai bagian dari generasi yang lebih muda.

H. Margani Mustar mewakili pemrakarsa silaturrahmi, itu bersyukur dan berterima kasih kepada semua kalangan kaum Betawi yang hadir.

"Kite dengerin musik Melayu sambil makan nasi mandi," cetus Margani sambil digoda H. Toton.

Pertemuan itu memang murni silaturrahmi, lantaran lama tak jumpa. Sejumlah lagu karya almarhum Mashabi, putera Betawi dari Tenabang diperdengarkan oleh kelompok musik Serojacoustic yang biasa menjadi homeband live music Melayu di Al Jazeera.

Nampak juga di situ H. Beky Mardani - Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, H. Bambang Syukur yang selama ini dikenal sebagai salah satu aktivis kaum Betawi. Juga, Geisz Chalifah yang setiap Selasa malam memang selalu ada dalam gelaran musik Melayu itu.

Dalam perbincangan ringan dengan saya, H. Rusdi Saleh bicara ihwal performa kaum Betawi yang sejak masa lampau berkontribusi pada bangsa ini. Bahkan sampai era kini. Dia memantik ingatan tentang sosok tokoh Betawi dr. H. Azis Saleh yang memompa integritas kaum Betawi di masanya. Bangga sebagai kaum Betawi.

Khasnya, kata Margani, kala itu memang ada upaya untuk menstigma kaum Betawi sebagai warga yang termarginalkan.

Saya lebih suka bicara ke depan. Bagaimana menyiapkan kalangan generasi baru kaum Betawi merespon tantangan karena akan mengalami begitu banyak perubahan dramatik, baik skala dunia, regional, nasional, dan domestik.

Kini, ketika kalangan terdidik dan intelektual Betawi bergerak di berbagai lapangan profesi dengan beragam posisi dan konstelasi, memang harus ada upaya menghadirkan Betawi, tak hanya dalam konteks etnis. Jauh dari itu, dalam konteks nilai. Mulai dari kosmopolitanitas, egalietrianisma, reorientasi baru sebagai masyarakat metropolis tanpa kehilangan identitas diri sebagai masyarakat religius.

Di sisi lain, juga tentang kemandirian kaum Betawi dalam makna tidak lagi sebagai masyarakat dengan peranserta pasif di tengah perubahan negara bangsa, terutama pergerakan Jakarta yang kini menampakkan sosoknya dengan wajah baru, yang menuntut dimensi peradaban baru.

Benar apa yang dikatakan Margani Mustar, peranserta kaum Betawi, sekurang-kurangnya di tengah dinamika perubahan Jakarta, mesti peranserta aktif. Bahkan sebagai pelopor dengan orientasi populis modes seperti yang pernah dicontohkan Mohammad Husni Thamrin.

Seirama dengan hal itu, dari aspek budaya -- dalam makna yang luas --, perlu upaya rethinking Betawi.   Antara lain melalui pendidikan, baik formal, informal, maupun non formal. Tak hanya sebatas seni dan performa keseniannya, melainkan performa budaya dengan orientasi peradaban, civilisasi.

Egaliterianisma dan kosmopolitanisma kaum Betawi, memungkinan terjadinya dialektika budaya untuk memainkan peran-peran strategis secara fungsional, proporsional, dan profesional di berbagai lapangan dan aspek kehidupan.

Dalam konteks itu, memang perlu digelar dialog sceenario plan Betawi dengan focal concern yang lebih jelas dan terang benderang, sekaligus menemukan driving forces - kekuatan pendorong, guna merumuskan Visi Betawi 2050.

Dialog Sceenario Plan, sekurang-kurangnya dapat merumuskan atau mendeskripsikan empat skenario: terburuk, sedang, baik, dan terbaik dengan visi yang sesungguh visi, bukan jebakan fantasi. Apalagi hanya sebatas deskripsi tentang ambisi dan senarai angan-angan.

Pandangan itulah, yang bikin hati bungah menyaksikan para orang tua, tokoh Betawi dalam kemesraan. Tinggal lagi, generasi yang lebih muda dan generasi baru yang -- melalui dialog sceenario plan, itu -- merumuskan dimensi peran dan nilai Betawi dalam transformasi di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, sehingga mampu berinteraksi dengan dinamika perubahan masyarakat, negara, dan bangsa. Termasuk perubahan di tingkat domestik, nasional, regional dan internasional.

Saya teringat dengan titik berangkat transformasi yang ditawarkan Hermawan Kertajaya terkait dengan brand Betawi -- dalam Raker Lembaga Kebudayaan Betawi beberapa waktu lalu. Kita mesti membalik logika dan pendekatan, tidak lagi mengikuti alur strenght - weakness - opportunity dan threat. Tapi, sebaliknya: threat - opportunity - weakness dan strenght.

Dengan begitu, kaum Betawi akan tahu, tantangan dan peluang peran dirinya di masa depan, dengan melihat kelemahan dan keunggulannya. Sangat banyak kalangan cendekiawan, profesional, dan praktisi dari kaum Betawi dengan pengalaman yang luar biasa. Bila semuanya berkontribusi pemikiran -- secara setara dan adil --  tentu akan berbuah kebaikan dan kebajikan, kemajuan kolektif.

Himpun segala persamaan, hargai perbedaan, karena persamaan dan perbedaan, termasuk pembaruan adalah keniscayaan. Perbedaan yang terpahami secara arif akan berbuah rahmat. Kata kuncinya adalah bersekutu untuk kebaikan dan kebajikan yang membawa manfaat, bukan persekongkolan yang hanya menghasilkan kemudaratan.

Saatnya menunjukkan integritas kaum Betawi yang berani hidup dan maju dengan menggerakkan paradigma berfikir - bersikap dan bertindak; Egaliterian dan kosmopolit yang tak kehilangan integritas diri; Tangkas karena terampil dalam mengelola sains dan teknologi; Agamis dalam pemahaman yang paling esensial: jelas dalam akidah - taat syariah - bernilai dalam muamalah, dan unggul dalam akhlak; Wara' - mampu mengendalikan diri dari perilaku yang tidak pantas dan tidak patut (seperti korupsi dan sejenisnya); dan mempunyai Integritas diri yang kuat, berbasis kualitas insaniah dan nilai budayanya.

Ahhh.. terbayang keindahan di balik senyum para tetua dan panutan kaum Betawi yang malam itu, sebagai para 'penghulu kaum' dalam mengikat kuat kaum Betawi dengan kerahman-rahiman, cinta dan kasih sayang, ruhama' bainahum.

Saya membayangkan itu, ketika menikmati nasi mandi kambing, kelompok musik Serojacoustic melantunkan lagu allahyarham M. Mashabi, Renungkanlah: rasa cinta / pasti ada / pada makhluk / yang bernyawa // sejak lama / sampai kini / tetap suci dan abadi // tak kan hilang / selamanya / sampai datang / akhir masa / renungkanlah...// perasaan insan sama / ingin cinta dan dicinta / bukan ciptaan manusia / tapi takdir Yang Kuasa / janganlah engkau pungkiri / semua yang Tuhan beri / Renungkanlah..//

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya